Mohon tunggu...
Ai Maryati Solihah
Ai Maryati Solihah Mohon Tunggu... Human Resources - seorang Ibu dengan dua orang anak

Mengaji, mendidik, berdiskusi dan memasak indahnya dunia bila ada hamparan bunga tulip dan anak-anak bermain dengan riang gembira mari kita isi hidup ini dengan dzikir, fikir dan amal soleh

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Mengukir Moralitas Politik Pada Pilkada DKI

11 Februari 2017   22:12 Diperbarui: 11 Februari 2017   22:30 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Memasuki masa tenang sebelum hari pencoblosan, ada baiknya semangat yang dipelihara dalam jiwa kita adalah semangat yang lurus untuk membangun bangsa ini lebih baik. Tidaklah mudah menetapkan pilihan atas manusia rasional yang mengedepankan akal sehat. Bukan hanya kebutuhan untuk menemukan pemimpin, namun benarkah pemimpin yang kita pilih akan mampu melaksanakan visi misinya dengan benar ke depan.

Teringat khasanah klasik Islam tatkala kematian Utsman Bin Affan sebagai khalifah ke-3. Madinah berduka yang mendalam dan suasana kacau balau melanda negeri ini. Sebagian mengatakan Usman dibunuh oleh kaum munafik yang menginginkan terpecah belahnya umat Islam oleh kepentingan politik, dan ada juga yang mengatakan bahwa Usman dibunuh oleh dendam masa lalu ketika Ali Bin Abi Thalib gagal menjadi khalifah.

Di tengah carut marutnya keamanan, Ali bin Abi Thalib diminta rakyatnya untuk siap memimpin negeri. Tanpa pemimpin suatu negeri akan kehilangan wibawa dan kehormatan. Rakyat kehilangan panutan dan  yang terjadi adalah chaostanpa hukum dan aturan. Bagaimana sikap Ali?

Ali menolaknya dengan mengatakan bahwa negara dalam keadaan berduka. Kematian Usman harus diusut tuntas dan dalam beberapa saat negara harus bertanggungjawab dalam mengusutnya. Pilihan ini sepintas benar dan memenuhi keadilan di mata keluarga Usman. Namun apa yang terjadi? negara Madinah terus dilanda kekacauan dan perang saudara yang berlarut-larut terutama saling tuding dan fitnah yang meraja lela.

Sosok Ali Bin Abi Thalib terus didesak oleh rakyat untuk mengambil alih sebagai khalifah sebab kekacauan sudah sedemikian hebat dan negara terancam akan runtuh. Hujjah (argumentasi)itulah yang kemudian dipegang Ali ketika menyanggupi maju sebagai khalifah meski masih banyak PR tentang pengusutan kematian Usman. Apakah ini pilihan terbaik?tentu disatu pihak, meski dipihak lain menyalakan perlawanan besar dari keluarga Usman bin Affan yang menganggap bahwa pengusutan kematian Usman belum maksimal. Munculnya tokoh Muawiyah Bin Abu Sufyan dalam kepemimpinan Ali mengharuskan Ali berperan ganda; disatu sisi tetap meneruskan pengusutan di sisi lain harus tetap maju sebagai khalifah untuk mengatur negara.

Pilihan yang sulit dan tidak semua orang dapat menjalankannya. Sebab seorang Muawiyah bukanlah tokoh Islam yang kurang pengaruh. Ia merupakan seorang alim dan ulama besar, yang fasih bacaan qurannya serta memahami seluruh isi al-quran dan dikenal sebagai penulis wahyu ketika Nabi Muhammad masih hidup. Ia keturunan tokoh Bani Qurais yang sangat disegani dan masuk Islam tatkala peristiwa Fathul Mekah yang dipimpin langsung oleh Nabiyullah Muhammad SAW. Ia juga tercatat sebagai sebagai panglima perang yang handal dalam perluasan Islam dan menjabat Gubernur di Damaskus.

Namun dinamika tersebut mampu diatasi. Islam berjaya selama hampir 7 abad sejak masa bani Umayyah selama 92 tahun yang diawali oleh kepemimpinan Muawiyah dan berlanjut pada Bani Abbasiyah yang diawali oleh Abu Abbas as-Soffah, masa kejayaan Islam hampir 505 tahun lamanya.

Apa yang harus kita teladani? Politik tidak untuk membangun kemenangan di atas kekalahan semata, Ali bin Abi Thalib sudah diminta rakyat pun tetap memiliki rangkaian etika dan moralitas politik yang dipegang. Sehingga menjadi kunci dalam menunjukkan sikap kepemimpinan dalam menjalankan roda pemerintahan.

Bahwa pilkada sebagai kepanjangan tangan dari perjuangan Indonesia, menegakkan kewibawaan dan kehormatan bangsa dalam memilih kepemimpinan, sudah saatnya kita menegakkan moralitas politik karena hidup kita dibangun oleh dasar-dasar kehidupan baik dari agama (bukanlah mengagungkan sekularisme) nilai moral dan nilai sosial yang dibangun oleh kearifan lokal.

Menurut ulama Syafi'iyah, tutur Kyai Sahal Mahfudz (alm. Rais Aam PBNU) politik harus sesuai dengan syari'at Islam, yaitu setiap upaya, sikap dan kebijakan untuk mencapai tujuan umum prinsip syari'at. Tujuan itu ialah: (1) Memelihara, mengembangkan dan mengamalkan agama Islam. (2) Memelihara rasio dan mengembangkan cakrawalanya untuk kepentingan ummat. (3) Memelihara jiwa raga dari bahaya dan memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang primer, sekunder mau pun suplementer. (4) Memelihara harta kekayaan dengan pengembangan usaha komoditasnya dan menggunakannya tanpa melampaui batas maksimal dan mengurangi batas minimal. (5) Memelihara keturunan dengan memenuhi kebutuhan fisik mau pun rohani.

Dari pengertian itu, Islam memahami politik bukan hanya soal yang berurusan dengan pemerintahan saja, terbatas pada politik struktural formal belaka, namun menyangkut juga kulturisasi politik secara luas. Politik bukan berarti perjuangan menduduki posisi eksekutif, legislatif mau pun yudikatif. Lebih dari itu, ia meliputi serangkaian kegiatan yang menyangkut kemaslahatan umat dalam kehidupan jasmani mau pun rohani, dalam hubungan kemasyarakatan secara umum dan hubungan masyarakat sipil dengan lembaga kekuasaan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun