Mohon tunggu...
Ai Maryati Solihah
Ai Maryati Solihah Mohon Tunggu... Human Resources - seorang Ibu dengan dua orang anak

Mengaji, mendidik, berdiskusi dan memasak indahnya dunia bila ada hamparan bunga tulip dan anak-anak bermain dengan riang gembira mari kita isi hidup ini dengan dzikir, fikir dan amal soleh

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Berani Katakan "Tidak" Pada Perkawinan Usia Anak

14 Januari 2017   14:49 Diperbarui: 14 Januari 2017   15:08 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beragam cara memutus mata rantai pernikahan anak, terutama menyingkirkan setumpuk asumsi kalau pernikahan anak itu wajib dilakukan karena terlanjur dekat pacaran, karena taat dan patuh pada orang tua, takut dipecat karena bos, bahkan kuatir dilaknat karena harus mengikuti seseorang yang terpandang. Tanpa ia sadari ia masuk dalam perangkap bahaya luar biasa yang mengancam fisiknya hingga kematian. 

Hal tersebut bisa dikarenakan ketidakmatangan organ reproduksinya ketika ia berhubungan seks aktif, hamil dan melahirkan, ancaman keselamatan mentalnya  dengan labilnya emosi mereka, bahkan rentannya kesejahteraan dan kurang mampu pengasuhan pada keturunannya kelak.

Hasil-hasil penelitian menghantar remaja perempuan yang mengalami masalah di atas memilih bercerai dan kemudian menitipkan anaknya kepada keluarga kedua, yakni kakek nenek anak tersebut atau pada kakak atau keluarga lainnya. Seraya ia mencari nafkah bahkan mengamankan diri secara ekonomi. Yayasan Rumah Kita Bersama dalam catatan Lies Marcoes mengatakan angka kematian Ibu di Indonesia meningkat tajam. Terjadi pada ibu berusia kurang dari 15 tahun dan dalam rentang 15-20 tahun. Angka kematian ibu/AKI tahun 2012 menurut SDKI dari 228/100.000 kelahiran hidup menjadi 359/100.000 kelahiran hidup.

Angka tersebut berbanding lurus dengan angka Kematian Bayi di Indonesia 25.5/1000 kelahiran hidup di tahun 2010 dan diangka statistikkan tahun 2012. Nilai tersebut berbanding pula dengan angka perceraian nasional tahun 2010 adalah 251.000 sedangkan tahun 2014 meningkat menjadi 382.000. Data BKKBN menunjukkan 7.9 juta kepala keluarga adalah perempuan yang sebagian besar dikarenakan perceraian.

Bagaimana nasib generasi bangsa ini jika terus berada dalam kondisi seperti itu?sedangkan problematika di masyarakat semakin hari malah semakin menunjukkan kekhawatiran. Sebagai bangsa yang berdaulat seharusnya terus melakukan pemberdayaan anak pada level remaja untuk memahami diri dan tubuhnya untuk ia miliki dan ia lindungi. Sebab asumsi yang menjadi penyebab maraknya perkawinan anak sudah begitu lekat dan dekat di masyarakat. Kasus-kasus yang ada hanya berhenti pada tataran kekeluargaan dan kembali pada individu masing-masing tanpa disadari kerapuhan bangsa begitu merajalela.

Pengorganisasian remaja untuk mengenal diri dan melindungi diri dapat menjadi gerakan pencegahan yang efefktif dalam membangun kesadaran massif ditingkat mereka, terlebih jika diikut oleh para penyintas yang memiliki cara-cara pemulihah traumatic dan membantu sesame. Para perempuan muda yang berusia anak ini memiliki kebebasan dalam menyampaikan harapan-harapan di masa mendatang, agar mereka memahami dengan sepenuhnya bahwa pilihan menikah sesungguhnya ada ditangan mereka dan bukan dikuasai oleh orang lain.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun