Mohon tunggu...
Alvi Anugerah
Alvi Anugerah Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis jika sedang menggebu-gebu

Humaniora Universal.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Faisal Oddang dan Mitos Klasik Anak Sastra

12 Juni 2015   13:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:05 2180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Faisal Oddang berdiri gagah jadi pemenang. Cerpennya mengalahkan pemain-pemain lama di jagad susastra yang berdiri di belakangnya. Epic!

Dalam perjalanan kaki menuju Bentara Budaya Jakarta untuk ikut meriuhkan Malam Penganugerahan Cerpen Kompas, saya beserta dua kawan lain bersungut-sungut canda setelah kami bertiga membaca kultweet dari twitter @hariankompas yang memuat 24 nominator penulis beserta cerpennya. Dari merekalah, akan dipilih satu orang yang judul ceritanya akan menjadi judul buku antologi cerpen pilihan Kompas tahun 2014. Maka, kami bersepakat taruhan untuk itu: menentukan judul cerpen siapa yang akan jadi pemenangnya.

Alhasil, perjalanan tak sampai lima menit ke BBJ itu jadi perjalanan yang penuh spekulasi. Saya menjagokan Triyanto Triwikromo dengan judul cerpennya “Dongeng Newyork Miring untuk Aimee Roux”. Selain karena kedekatan normatif antara mahasiswa dan dosennya beberapa tahun silam, cerpen Triyanto yang telah langganan masuk antologi Kompas itu belum pernah jadi jawara. Teman lelaki saya, Harry, punya pilihan lain. Ia menjagokan idolanya, Agus Noor, dengan judul cerpen “Matinya Seorang Demonstran”. Beda lagi dengan kawan saya satunya, Widha. Ia Nampak “rakus” begitu tahu kedua idolanya, Radhar Panca Dahana dan Joko Pinurbo dengan masing-masing judul “Jalan Sunyi Kota Mati” serta “Jalan Asu” masuk menjadi nominasi cerpen.

Sungut-sungut canda penuh spekulasi itu luntur begitu saja ketika tahu bahwa pemenangnya bukan salah satu di antara sederet nama yang kami pilih. Dia adalah Faisal Oddang dengan judul cerpennya yang tergolong panjang dan tidak berima apik: “Di tubuh Tarra, dalam Rahim Pohon”. Cerpenis berperawakan gempal itu tidak banyak berkata ketika dirinya didaulat untuk bicara sesaat jadi jawara. Dia hanya menyampaikan dua hal: cerpennya yang juara itu adalah cerpen perdana yang ia kirim ke Kompas, serta kali pertama ia berada di antara deretan orang-orang keren di jagad kesusastraan Indonesia.

Saya makin heran. Selain karena tak tahu orangnya dan belum pernah baca cerpennya, interpretasi cerpen yang disajikan dalam citraan puppet Show/Papermoon karya Puppet Teater itu semakin membuat saya penasaran: seperti apa cerpennya dan bagaimana kepegarangan Oddang?

Pada pagi setelah malam penganugerahan itu rampung, judul bercetak miring di halaman utama harian Kompas membuat saya sedikit tersentak: “Karya Faisal Oddang Raih Cerpen Terbaik Kompas”  Biasanya, berita terkait penganugerahan cerpen Kompas hanya menjadi berita utama di rubrik pendidikan dan kebudayaan. Nampaknya jarang sekali (atau bahkan belum pernah?) subrubrik sastra jadi berita utama sebuah koran nasional, sekelas Kompas pula. Tak hanya itu, foto utama harian Kompas (Kamis 11 Juni 2015) juga memuat Faisal Oddang yang sedang menerima piala tanda jawara dari wakil pemimpin umum harian Kompas, Rikard Bagun. Foto Faisal Oddang yang tengah menerima piala itu terlihat epik karena di belakangnya, dengan tatapan dan ekspresi berbeda-beda, berdiri para cepenis yang kebanyakan adalah pemain lama di dunia kesusastraan. Sebut saja penyair hebat Sapardi Djoko Damono, Djenar Maesa Ayu, Agus Noor, sampai pada Kuncen Kebudayaan, Radhar Panca Dahana, semua “bertekuk lutut” di malam anugerah itu. “Hebat benar si Faisal,” begitu ucap saya saat itu.

Perlahan, saya baca caption fotonya. Wah, Faisal Oddang baru berumur 20 tahun! Saya langsung saja berpikir, jangan-jangan usia Oddang paling muda di antara ke-23 penulis yang cerpennya masuk antologi? Atau juga, mungkinkah Faisal Oddang adalah jawara cerpen pilihan Kompas paling belia semenjak kejuaraan cerita pendek ini dihelat tahun 1992? Jika iya, luber sudah prestasi ia.

Ada lagi hal yang membuat saya bergeleng begitu membaca paragraf pembuka berita itu. Oddang ternyata masih berstatus mahasiswa di Universitas Hassanudin Makassar, jurusan Sastra Indonesia pula! Sebagai alumni jurusan sastra Indonesia meski dari almamater berbeda, saya malu seraya bangga. Di umurnya yang baru saja kepala dua, karyanya telah mampu jadi jawara di tengah-tengah pemain lama jagad susastra. Selain itu, Oddang juga jadi antitesis mitos klasik nan antah berantah yang menyebut bahwa mahasiswa Sastra Indonesia tidak ditakdirkan untuk jadi penulis andal, seperti yang pernah saya ungkap dalam tulisan saya tentang sumbangsih mahasiswa sastra bagi dunia kesusastraan.

Segera saja saya berbagi dengannya. Lewat akun Twitter, saya unggah foto harian Kompas edisi kamis 11 Juni itu beserta buku Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas tahun 2014 lantas saya mention ke akun @faisaloddang_. Saya bubuhi caption: Ini masih harinya (11 Juni 2015) @faisaloddang. Dahsyat Bro! Runtuhkan mitos kalo anak sastra tak pantas jadi penulis! Dengan cepat pula, ia merespon twit saya: “dan anak sastra tak pantas Jomblo! Hahaha”.

Anak sastra tak pantas menjomblo? Saya no comment untuk urusan itu, hehe.

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun