Mohon tunggu...
Almizan Ulfa
Almizan Ulfa Mohon Tunggu... Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan RI -

Just do it. kunjungi blog sharing and trusting bogorbersemangat.com, dan, http://sirc.web.id, email: alulfa@gmail.com, matarakyat869@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Darurat Freeport Indonesia

15 September 2017   11:19 Diperbarui: 15 September 2017   15:14 1058
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menteri ESDM Ignasius Jonan, Menteri Keuangan Sri Mulyani dan CEO Freeport McMoRan Inc, Richard C Adkerson. Sumber: Sindonews.com

Berita tentang Freeport Indonesia, yang sudah bercokol di tanah Papua sejak 1960an,  terus bergulir dan berayun dengan cepatnya. Beberapa breaking news nya mencakup news Papa Minta Saham Setya Novanto.  Hot news berikutnya segera akan meletup dalam bulan Oktober 2017 ini ketika izin ekspor konsentrat tembaganya berakhir.

Breaking news serupa di beberapa bulan yang lalu mencakup siaran pers Kementrian ESDM.  Siaran pers itu viral di sosmed karena dianggap akal-akalan sebab tidak konsistennya antara judul siaran pers dengan isinya; judulnya seich keras tetapi isinya loh lemes. "Kesepakatan Final Pemerintah dengan PT Freeport Indonesia (FI)," dan, isinya ternyata baru perempat final. Lebih mencemaskan lagi, kedua belah pihak, Pemerintah dan FI, yang mengantongi izin operasi Kontrak Karya Pertama (KK-1) tahun 1967 untuk tambang Erstberg, sebetulnya berada dalam kondisi darurat untuk mencapai final. Kenapa?

Finalnya itu baru terjadi jika lima isu pelik seperti berikut ini sudah disepakati. Kelima isu tersebut, adalah: (i) pergantian landasan hukum operasi  FI dari Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK); (ii) perpanjangan izin operasi FI hingga tahun 2041; (iii) pembangunan fasilitas pemurnian (smelter) bijih logam; (iv) pemberian kepastian rezim fiskal dan regulasi untuk IUPK FI yang bersesuaian dengan lebih baiknya penerimaan negara pada rezim baru ini dibandingkan dengan rezim Kontrak Karya, dan (v) divestasi saham Freeport McMoran (FCX) di FI sehingga 51% saham FI dimiliki oleh Indonesia.

Walaupun demikian, titik kunci dari lima isu ini sebetulnya hanya pada isu divestasi saham dan kepastian rezim fiskal dan regulasi. Jika kedua isu ini tercapai maka, tiga isu yang lain otomatis tidak akan mengalami kesulitan untuk disepakati. Masalahnya adalah kedua isu itu sangat pelik dan sulit untuk disepakati.

Coba kita lihat isu Kepastian rezim fiskal dan regulasi, yang pada prinsipnya adalah ruhnya rezim Kontrak Karya, yang menghendaki bahwa kebijakan fiskal dan regulasi Pemerintah yang dikeluarkan di kemudian hari, terutama yang bertentangan dengan kesepakatan yang dibuat sekarang tidak mengikat FI secara hukum. Dengan kata lain, FI hanya dan hanya tunduk pada rezim fiskal dan regulasi yang disepakati saat ini. Jika ini disepakati, maka ini akan memalukan Pemerintah karena ini hanya lelucon Ali Baba "Kontrak Karya berbaju IUPK". Konsensi seperti ini juga bertentangan dengan semangat UU Minerba tahun 2009, yang akan menuai banyak kritikan kecuali UU Minerba 2009 ini diamendmen.

Selanjutnya kita melihat isu divestasi saham. Menarik untuk dicermati bahwa FCX walaupun pada posisi pemegang saham minoritas (49%) setelah divestasi 51% tetapi tetap mensyaratkan posisi kunci FI, yang saat ini 18,72% saham FI dimiliki Indonesia, tetap dikendalikan oleh FCX. Biasanya mereka menginginkan direktur keuangan dan direktur operasi tetap dipegang oleh orang-orang FCX (merujuk ke pengalaman divestasi saham Nippon di PT Inalum). Ini sulit untuk dapat diterima oleh Pemerintah sebab tujuan utama untuk kepemilikan saham mayoritas (51%) adalah mengontrol kendali operasi perusahaan.

Lebih menyakitkan lagi, harga saham divestasi tersebut sangat mahal. Mengacu data yang disampaikan oleh Ahmad M. Ali, Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Nasdem, yang menyampaikan dua pendekatan harga; sisa cadangan tambang Grasberg hingga 2041 (harga FCX) dan replacement costs(harga Pemerintah). Mengacu ke perhitungan politisi Nasdem ini, maka harga 32,28% saham divestasi yang ditawarkan oleh FCX adalah US$5.13 miliar, atau, Rp68,2 triliun. Sedangkan menurut pendekatan replacement costs Pemerintah harganya adalah hanya US$ US$1.9 miliar, atau, setara dengan Rp25,3 triliun rupiah; kurang dari separuh harga yang ditawarkan oleh FCX.Harga manapun yang akan disepakati nantinya tetap saja akan menjadi beban berat keuangan negara.

Sekarang coba kita asumsikan harga kesepakatan adalah harga tengah dari kedua pendekatan itu yaitu Rp46,8 triliun. Pemerintah tentu saja akan membayar pembelian saham divestasi ini dengan menerbitkan utang negara seperti SUN yang beban bunganya sekitar 9% pertahun. Beban bunga SUN dan kewajiban membayar kembali pokok utang dalam kurun waktu 26 tahun (sejak 2017 hingga akhir proyek di tahun 2041) adalah sebesar Rp105,3 triliun.

Beban keuangan negara ini akan bertambah berat dengan antisipasi kebutuhan uang untuk pengeluaran investasi (capital expenditures/capex). Capex ini dibutuhkan untuk pengoperasian tambang bawah tanah yang semakin jauh ke bawah perut bumi. Menurut sirkular FI "BeritaKita.com/2014)", nilai Capex itu berkisar antara Rp160 T -- Rp180 T, dan dengan kepemilikan saham mayoritas tentu saja biaya capex itu mayoritasnya juga akan dipikul oleh Pemerintah.

Di sisi lain, Pemerintah tentunya mengharapkan dividen (bagian laba untuk Pemerintah) atas kepemilikan 32,8% saham FCX itu. Sayangnya uang dividen itu hanya secuil. Coba lihat hasil dengan mengolah data dari BPK untuk periode 2011 -- 2015, yang atas dasar data ini diperoleh proyeksi dividen Pemerintah untuk 26 tahun tersebut (2017 -- 2041). Nilainya secuil itu adalah Rp48,17 triliun. Relatif sangat kecil dibandingkan dengan beban keuangan negara atas pembelian saham divestasi FCX seniliar Rp105,3 triliun plus beban capexsekitar Rp85,0 triliun yang akan membengkak lagi jika diperhitungkan pembiayan dengan utang SUN. Ini berarti, nilai dividen itu akan menjadi tidak berarti jika kebutuhan capex itu diperhitungkan juga.

Ringkasnya, dalam perspektif keuangan, pembelian saham divetasi FCX tersebut adalah TIDAK feasible. Akan sangat merugikan negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun