Mohon tunggu...
Aldy M. Aripin
Aldy M. Aripin Mohon Tunggu... Administrasi - Pengembara

Suami dari seorang istri, ayah dari dua orang anak dan eyang dari tiga orang putu. Blog Pribadi : www.personfield.web.id

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Pemanenan Hutan: Dampak Positif yang Tersisa

16 Mei 2015   05:45 Diperbarui: 11 Oktober 2015   00:05 696
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1431355500585597332

[caption id="attachment_416735" align="aligncenter" width="474" caption="Tunggul eks tebangan masyarakat untuk membuat bahan bangunan tinggal sendiri dan proyek-proyek pemerintah | Ilustrasi-Aldy"][/caption]

Mendengar kata HPH (Hak Pengusahaan Hutan) apalagi HPH 100 Hektar, para pecinta lingkungan dan masyarakat luas pasti membayangkan kerusakan hutan yang parah, lingkungan yang tercemar serta citra negatif lainnya.  Benarkan dugaan itu?

Tidak bisa dipungkiri, keberadaan Perusahaan Kayu (IUPHHK) memiliki andil yang besar pengrusakan hutan di Indonesia bahkan dunia.  Masa-masa awal berdirinya perusahaan HPH sistim pemanenan berkelanjutan tidak pernah difikirkan, selain hutan yang masih sangat luas,  peraturan yang tidak memadai, tingginya permainan “kayu” dengan para pejabat sampai lemahnya penegakan hukum bahkan keserakahan pemilik perusahaan HPH menjadi biang utama kerusakan hutan.

Terjadinya deforestasi hutan tidak semata-mata berdiri sendiri, dianya memiliki keterkaitan dengan berbagai elemen masyarakat dan pemerintahan.  Ketidak perdulian bukan monopoli pengusaha HPH tapi termasuk juga para pemangku kepentingan.  Lahirnya raja-raja kecil setelah desentralisasi pemerintahan menambah peliknya pengelolaan kehutanan secara sustainable. Bahkan, ada sebagian kalangan menilai, pemerintahan kabinet kerja tidak mencerminkan keberpihakan pada pengelolaan hutan dengan digabungkannya Kementrian Kehutanan menjadi Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Kondisi saat ini, walaupun masih terjadi pengurangan keluasan hutan secara masif, tidak lagi menjadi monopoli perusahaan HPH, kehadiran perusahaan perkebunan sawit seperti jamur dimusim hujan, mudahnya perijinan, menjadi wahana lain pengrusakan hutan, apalagi secara nyata perkebunan sawit mengubah hutan heterogen menjadi hutan sawit yang homogen.

Selain nilai-nilai negatif perusahaan HPH dalam mengelola hutan, perusahaan HPH masih memberikan nilai positif, bukan hanya kepada pendapatan Negara tetapi juga kepada masyarakat sekitar HPH (tentunya perusahaan HPH yang memegang komitmen memberdayakan masyarakat sekitar). Stigma negatif perusahaan HPH yang sulit dikikis karena minimnya informasi pengelolaan kehutanan berkelanjutan yang sudah dilakukan.  Masih adanya pihak-pihak yang dengan sengaja mencari kelemahan-kelemahan pengelolaan menjadi salah satu sebab mengapa banyak perusahaan HPH yang enggan menyebarkan informasi perbaikan pengelolaan yang sudah mereka lakukan.

Jika ditelusuri lebih jauh, ada banyak komponen kewajiban yang harus dipenuhi oleh sebuah HPH agar dapat beroperasi dimasa sekarang ini.

  1. Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan, sebesar Rp. 30.000,--/Ha dan bersifat progresif.  Tarif Rp. 30.000,-- untuk keluasan dibawah 100.000 ha, setiap penambahan seluas 25.000 Ha, iuran dinaikan sebesar 25%.
  2. Pajak Bumi dan Bangunan, besarnya pajak bumi dan bangunan dihitung seluas areal HPH dan wajib disetorkan setiap tahun,
  3. Pajak Galian C, penggunaan batu, koral, kerikil untuk pengerasan jalan dikenakan pajak bahan galian C.
  4. Pajak Kendaraan, berlaku untuk alat produksi dan transportasi.
  5. Provisi Sumber Daya Hutan, besarnya ditetapkan dengan Peraturan Menteri Perdagangan, dibayar permeter kubik, sesuai dengan kelas diameter dan kelompok jenis kayu.
  6. Dana Reboisasi, sistem perhitungan tarif sama dengan PSDH, bedanya Dana Reboisasi dibayar dalam bentuk US Dollar.
  7. Pajak Pendapatan.
  8. Wajib melaksanakan penanaman kembali (reboisasi) setahun setelah penebangan, padahal perusahaan sudah membayar Dana Reboisasi kepada Negara.
  9. Wajib melakukan pembinaan terhadap masyarakat sekitar wilayah konsesi, berupa pembuatan jalan, perbaikan ekonomi masyarakat dengan bantuan pemasaran, sarana dan prasarana umum (olahraga, sekolah dan keagamaan) – merupakan bagian dari CSR
  10. Wajib mendukung kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah daerah TK.II, Pemda Tingkat I bahkan sampai Tingkat Pusat.
  11. Pajak-pajak lain yang tidak tertulis dalam undang-undang maupun peraturan pemerintah.

Beban pajak saja sudah sedemikian banyakya, maka tidak heran masih ditemukan perusahaan HPH sedikit nakal untuk menyiasati tingginya biaya yang harus ditanggung.  Tetapi bukan berarti tidak ada perusahaan yang berlaku jujur.

Kebijakan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang mewajibkan perusahaan kayu harus memiliki sertifikasi minimal SVLK (Sertifikasi Verifikasi Legalitas Kayu) dan ditingkatan yang lebih atas ada Sertifikasi Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) yang bersifat mandatory (wajib).  Bagi perusahaan-perusahaan besar, selain sertifkasi mandatory juga ikut serta dalam sertifikasi Valuntary (sukarela) yang dilakukan oleh Rainforest Aliance, SGS, TUV dan lain sebagainya.  Semuanya memerlukan dana yang tidak sedikit.

Mengatakan pemanenan hutan tidak memiliki dampak adalah suatu kebohongan, yang diperlukan dan harus dilakukan adalah bagaimana melakukan pemanenan berdampak rendah, sehingga tingkat kerusakan dan keterbukaan hutan bisa diminimalkan.  Inilah yang kemudian memacu sebagian perusahaan menerapkan RIL (Reduce Impact Logging), agar kerusakan bisa diminimalkan sementara hasil pemanen hutan bisa maksimalkan.

Bagi masyarakat setempat, keberadaan perusahaan HPH membuka keterisoliran mereka terhadap dunia luar, keterhubungan mereka dengan dunia luar dengan dibukanya akses jalan oleh perusahaan dengan sendirinya turut memperbaiki taraf kehidupan ekonomi mereka.  Mudahnya akses keluar masuk desa, akhirnya menyadarkan mereka petingnya pendidikan bagi anak-anak, sehingga banyak diantara mereka bisa mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi.

Nilai-nilai positif ini acapkali terkubur oleh ulah sebagian perusahaan yang tidak taat aturan dan hanya mengejar keuntungan sebesar-besarnya,  keterabaian sebagian masyarakat sekitar konsesi akhirnya menjadi kampanye negatif terhadap terhadap seluruh stakeholder kehutanan.  Dan yang lebih parah lagi, pembukaan lahan oleh perusahaan perkebunan dengan membuka hutan dan dialih fungsikan menjadi kebun berimbas langsung pada nama baik sektor kehutanan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun