Mohon tunggu...
Thaufan Malaka
Thaufan Malaka Mohon Tunggu... profesional -

Eksistensialis-Belajar Menulis Revolusi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jokowi-Ahok dan Jakarta Baru

5 Maret 2013   16:23 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:16 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kemenangan Jokowi-Ahok via Quick Count oleh beberapa lembaga survei kurang lebih 53 persen seolah membangunkan elite politik di Indonesia. Mereka masih terkaget-kaget, “kok bisa yah, Jokowi-Ahok menang padahal udah dikeroyok partai-partai besar dari semua mazhab politik baik partai religius, demokrat, status quo maupun reformis?”

Singkat saja jawabnya karena Jokowi-Ahok benar-benar memperjuangkan rakyat, bukan kepentingan terselubung. Yah, Jokowi-Ahok adalah simbol “politik untuk rakyat” yang terkubur, direpresentasikan secara cerdas dalam momentum tepat dan mendapat sambutan hangat dari kalangan menengah kritis yang muak dan tahu dagangan politik elite di Indonesia.

Sejatinya, gaya politik merakyat Jokowi-Ahok mudah ditebak sebab sangat sederhana. Berbeda dengan gaya politik elite yang rumit dan tak terjangkau kalangan bawah. Hanya saja, langgam politik ini membutuhkan kejujuran, ketegasan, dan keberanian.

Hal yang hampir tak terejakan lagi oleh para politisi kawakan. Tampilan unik inilah yang dipersepsi secara sederhana, konsisten, dan berbeda  dengan elite kebanyakan oleh kalangan bawah dan menengah kritis di Jakarta sehingga mereka beramai-ramai mendukung dan memilih Jokowi-Ahok.

Ketangguhan karakter Jokowi-Ahok sebagai pemimpin populis telah teruji sebagai Wali Kota Solo dan Bupati Belitung Timur. Paling tidak, Solo dan Belitung Timur memiliki beberapa prestasi yang bisa dijual secara politik oleh Jokowi-Ahok sebagai daerah yang relatif nyaman dan sangat memperhatikan kepentingan publik misalnya pasar tradisional, transportasi, kesehatan, dan pendidikan.

Prestasi inilah yang kemudian membuat Jokowi-Ahok penuh percaya diri masuk ke gang-gang kumuh Jakarta, bertemu dengan masyarakat kecil dan menjanjikan harapan Jakarta Baru kepada mereka.

Hebatnya, pada saat yang sama prestasi dan keberanian ini dibungkus menarik oleh tim politik mereka secara apik dan dihadirkan kepada kelas menengah kritis secara canggih dalam media sosial misalnya Facebook, Twitter, dan Youtube. Jadilah Jokowi-Ahok pusat perhatian dan perbincangan positif di dunia nyata dan dunia maya oleh rakyat kecil dan kelas menegah kritis.

Sementara, Foke-Nara masih sibuk memainkan dan memadamkan bola api politik bernama SARA yang mereka embuskan sehingga membuat para pemilih di Jakarta memantapkan pilihannya kepada Jokowi-Ahok.

Tentu saja, masyarakat kota terdidik yang bisa mengakses media sosial sangat terkesan dengan Jokowi yang penuh inisiatif lebih awal memperkenalkan diri dan mengomunikasikan hasil kerjanya tentang reformasi birokrasi dan pencapaian pemerintah kota Solo saat masa kepemimpinannya dalam acara Indonesian Young Changemaker Summit (IYCS) di Gedung Merdeka, Bandung.

Lihatlah juga kepiawaiannya berdagelan dalam stand up comedy Metro TV. Belum lagi betapa terang benderang visi politiknya dalam Editorial Jakarta Baru yang dirancang oleh tim mereka. Atau lucu hebohnya dukungan gangnam style dan flashmob ribuan massa kotak-kotak untuk Jokowi-Ahok di Bundaran HI.

Terakhir, gaya merakyatnya naik bus kota, naik taksi dari bandara menjelang pemilihan, dan pidato penutupan kampanye mereka yang menguatkan hati para pemilih mereka seolah para pemilih diminta dari hati terdalam untuk memilih mereka. Sempurna, Jokowi-Ahok menyihir massa Jakarta untuk menerima takdir kepemimpinannya.

Sebenarnya, rakyat kecil dan kelas menengah kritis misalnya intelektual, mahasiswa, artis, pekerja, beranggapan politik di Indonesia telah tersesat dan hampir tak punya lagi harapan. Semua telah tergadai dan bahkan figur-figur politisi andal pun hanya bisa memainkan politik kompromi di belakang.

Inilah yang membuat Ehito Kimura (2010) dalam Indonesia in 2010 menyatakan bahwa kaum reformis sejati bersedih hati tak melihat banyak perubahan besar di Indonesia pasca reformasi, malah kemunduran politik yang terlihat telanjang dalam kasus korupsi, intoleransi beragama, dan perilaku bejat elit politik lokal. Sementara rakyat kecil terabaikan.

Nuansa-nuansa ini tersimpan kuat dalam benak pemilih Jakarta yang ketika Jokowi-Ahok datang menawarkan Jakarta baru dengan gaya tulus merakyat, maka mereka berubah pikiran untuk memilih

Misalnya saja Slank yang terang-terangan mengatakan di depan Jokowi dan Media Televisi bahwa mereka dalam kebanyakan Pilgub golput tetapi ketika ada figur yang baik mereka akan memilih.

Rakyat bawah yang tersapa baik oleh Jokowi-Ahok tak akan berpaling. Yang menarik kaum menengah kritis Jakarta yang berseliweran dan biasanya berpaham kekiri-kirian, nasionalis dan reformis jalanan bertemu dalam sosok Jokowi-Ahok.

Kaum kiri muak dengan politik kapitalis yang meminggirkan kaum musthad’afin di Indonesia, nasionalis merasa bangsa Indonesia telah kehilangan jati diri dan kaum reformis jalanan meneriakkan kemarahan mereka karena negara hampir gagal. Nah, Jokowi-Ahok mewakili keresahan mereka dan merasa Jokowi-Ahok adalah calon yang lebih layak dibanding Foke-Nara.

Berpolitik dengan langgam kerakyatan dan keadilan sebenarnya bukan barang baru. Model ini adalah barang antik yang telah dipromosikan oleh para founding father kita, Soekarno, Hatta, dan Tan Malaka. Mereka meletakkan fondasi bangsa dan negara ini di atas nalar dan jiwa kerakyatan dan keadilan sebagaimana mereka berharap sejarah masa depan bangsa dan negara ini diarahkan ke sana.

Sayang, semangat ini cenderung kabur bahkan dikhianati. Makanya, ketika Jokowi-Ahok menawarkan warna politik ini, ia tersambut seolah rakyat melihat mereka telah menggali kuburan pemimpin-pemimpin besar Indonesia dan mengembalikan arus sejarah Indonesia ke trek yang seharusnya.

Jokowi-Ahok telah menaklukkan sebagian besar rakyat kecil dan kelas menengah kritis di Jakarta. Dalam waktu dekat ini mereka akan berhadapan dengan pusat keras dan busuknya kekuasaan dan uang yang sesungguhnya yaitu birokrasi, elit partai politik, dan para cukong ibu kota. Inilah lawan politik terberat Jokowi-Ahok sesungguhnya ketika hampir semua kalangan masih meragukan kapasitas mereka.

Jika Jokowi-Ahok sukses menaklukan birokrasi Jakarta paling tidak maka mereka telah memegang kunci perubahan besar di Jakarta.

Dari kemenangan Jokowi-Ahok pasti menjadi referensi baru elite politik di Indonesia ke depan terutama menjemput 2014. Paling tidak langgam politik merakyat menjadi gaya baru politisi dan standar penilaian rakyat mengukur kelayakan politisi.

Yang menjadi pertanyaan mengapa sebelumnya seolah politisi takut bergaya politik merakyat. Pertama, kebanyakan politisi memang tidak mempunyai gagasan “politik yang merakyat” karena kegagalan personal politisi memahami kesejatian politik untuk kepentingan rakyat.

Kedua, Politisi terjebak dengan platform politik mainstream yang elitis. Akhirnya, selamat datang Jokowi-Ahok dan rakyat Indonesia menunggu Jakarta barumu

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun