Mohon tunggu...
M Alinapiah Simbolon
M Alinapiah Simbolon Mohon Tunggu... wiraswasta -

Ayah dari seorang anak bernama DOLIARGA HASANUL ABDILLAH SIMBOLON dan suami dari seorang isteri bernama NETTY ERLINDA. Juga pekerja sosial dan pengamat tingkat kampung, sekaligus sosok anak manusia, yang masih punya semangat...........\r\n

Selanjutnya

Tutup

Politik

Caleg Cewek, Masih Sebatas Caleg Ecek-Ecek

22 April 2013   03:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:49 467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Betapa terkejutnya aku, ketika mendengar seorang cewek muda (masih anak gadis) yang bertetangga denganku, digaet sebuah partai besar, dan dijadikan calon legislatif, untuk DPRD Tingkat II di kota tempat tinggalku. “ Koq partai besar dan punya nama, bisa-bisanya merekrut caleg perempuan seperti itu?” tanyaku dalam hati setelah mendengar informasi tersebut.

Tanda tanyaku sangat beralasan, soalnya cewek muda yang direkrut sebagai caleg ini, tak punya modal apapun agar layak dicalegkan. Finansial tak memadai, karena dia masih dalam tanggungan orangtuanya, yang mencari nafkah sebagai pedagang kaki lima. Lalu pengalaman politik juga nol besar. Memang almarhum kakeknya, dulunya pengurus partai yang mencalegkannya, dan kakeknya sempat jadi anggota DPRD melalui PAW, sementara si caleg tak pernah aktif sebagai kader partai tersebut.

Tiga hari yang lalu, aku membaca koran lokal yang merilis berita daftar calon legislatif salah satu partai besar di kotaku. Dan daftar caleg partai tersebut,terdapat sejumlah nama caleg cewek alias caleg perempuan yang kukenal. Diantaranya ada dua nama caleg perempuan berada dalam satu dapil (daerah pemilihan). Yang satu masih satu kelurahan denganku.  Lalu wanita yang satunya lagi adalah temanku yang kukenal sejak kecil, dan dia masih tinggal tak jauh dari rumah orangtuanku. “ Waduh… Partai Besar dan terkenal piawai dan selektif merekrut caleg, koq mencalegkan kedua perempuan tersebut ?” tanyaku juga dalam hati setelah mengetahui kedua wanita ini dari koran lokal tersebut.

Si caleg perempuan pertama, orangtuanya termasuk kenal baik samaku, secara finansial (jika mengandalkan politik uang) dia memang berpeluang menang, karena orang tuanya dikenal banyak uang dan royal dalam soal menggelontorkan uang. Orang tuanya  juga pengurus teras partai tersebut. Sayangnya, selain masih muda,  kapasitasnya di kancah politik masih bau kencur, Dia juga baru menjadi penghuni partai yang mencalonkannya sebagai caleg, dan itupun karena faktor orang tuanya.

Caleg perempuan yang kedua, memang punya pergaulan yang luas, tapi dia bergaul dengan kalangan tertentu. Bukan maksud mau menjelekkan, kalau ditanya semua orang yang kenal dengannya, termasuk masyarakat di lingkungan kelurahan tempat tinggalnya, selain keluarganya, takkan ada yang simpati dengan sosok wanita paruh baya ini. Secara pengetahuan politik tak ada apa-apanya.Jika pun kerap terlihat ikut di berbagai organisasi secara berpindah-pindah, dia hanya dikenal sebagai penggembira dan tekesan sebagai bungle.. Orang-orang di lingkungan tempat tinggalnya, juga terkesan sangat antipati dengan gaya dan model pergaulan caleg perempuan yang satu ini. Ironisnya saat kutanya, sejumlah keluarga dekatnya, juga mengaku takkan memilihnya pada Pemilu Legislatif mendatang.

Sehari setelah itu, aku juga mendengar cerita dari isteriku, kalau dia baru bertemu isteri salah seorang mantan anggotaku. Isteri mantan anggotaku itu memberitahkun kepada isteriku bahwa dia juga menjadi caleg salah satu partai yang merupakan partai lama dan berbasis Islam. “ Alamak… Koq bisa-bisanya partai ini merekrut caleg perempuan, yang tak berpeluang meraup suara ?”  gumanku dalam hati setelah mendengar cerita ibu dari putra semata wayangku.

Kenapa aku memvonis dia tak berpeluang meraup suara, karena sepengatahuanku, dia itu wanita yang waktunya kebanyakan mengurus anak dirumah, dan kurang bergaul dengan tetangganya. Dan sepengetahuanku dia dan suaminya sudah beberapa kali berpindah tempat tinggal.

Aku juga kembali teringat, sekitar sebulan sebelumnya, isteriku juga pernah cerita dia didatangi seorang perempuan teman kecilnya yang mengaku akan menjadi caleg dari salah satu partai nasional berbasis Islam. Dia minta dukungan isteriku dan keluarga. Karena teman kecil dan bekas tetangga, isteriku langsung bersemangat untuk mendukungnya, dan sempat mengajakku untuk memilihnya. Aku hanya tersenyum, dan mengatakan kepada isteriku, kalau aku kelak takkan memilihnya. “ Selama kita berumah tangga, tak sekalipun dia pernah mendatangimu dan bersilaturrahmi denganmu. Kenapa saat dia mau caleg dia teringat mendatangimu?” kataku memberi pandangan kepada isteriku, dan isteriku pun terdiam.

Kujelaskan lagi bahwa suami caleg teman isteriku itu, sering ketemu samaku di salah satu kedai kopi terkenal di kotaku. Kuceritakan kepadanya, bahwa suami si caleg yang saat ini punya jabatan di pemerintahan, kerap satu meja samaku saat ngopi. Tak hanya aku, kebanyakan orang yang selalu minum kopi di kedai kopi itu, menganggapnya sebagai pejabat pelit. Soalnya, sangat jarang dia mau membayar minuman orang yang satu meja dengannya. Dan aku sudah pernah mengalami minum satu meja dengannya, dan saat dia beranjak duluan, hanya minumannya saja yang dibayarnya. Setelah kujelaskan, lalu kutanya samaisteriku “Pantaskah isteri orang yang seperti itu jadi caleg pilihan ?”. “Iya juga ya, dia datang samaku karena ada maunya,” ujar isteriku. “ Berarti modelnya  sama dengan suaminya. Memang kuakui kalau dia itu juga agak sombong,” sambung isteriku lagi membalas cerita dan pertanyaanku.

Sekitar sepuluh hari yang lalu, di sebuah warung kopi dekat rumah tempat biasa aku mangkal bersama kawan-katan sekampung, aku bertemu dengan salah satu caleg partai Islam yang juga dikenal sebagai salah satu ustad muda di kampungku. Setelah ngalur ngidul cerita peluang temanku tersebut, akhirnya aku bertanya, siapa saja caleg perempuan yang dicelegkan satu dapil dengannya. Dia pun ,menyebutkan nama-nama tiga caleg perempuan satu dapil dengannya tersebut, dan ternyata tak satupun yang kukenal. Namun dia sedikit menerangkan, kalau ketiga caleg perempuan tersebut, dua diantaranya keluarga ketua dan sekretaris partai yang mengusungnya sebagai caleg. Kembali aku miris mendengarnya, seraya mengguman dengan nada bertanya. “ Koq, bisa gitu ya ?”

Satu hari yang lalu, di warung kopi yang sama aku dapat informasi lagi bahwa seorang ibu rumah tangga, yang rumahnya masih dekat rumahku juga dikabarkan mencaleg dari salah satu partai berbasis Islam. Orang-orang dikedai kopi tersebut, heran dan terkejut mendengar informasi perempuan itu didaftarkan sebagai caleg. Aku memang kurang kenal dengan sang caleg dan suaminya. Malah sejumlah orang di kedai kopi tersebut juga masih samar-samar mengenalnya, karena memang orangnya jarang keluar rumah dan kebanyakan mengurus rumah tangga. Parahnya si caleg juga tak pernah ikut partai dan organisasi apapun. “ Astaga…. Koq masih ada partai mencari caleg perempuan, seperti mengkais di tong sampah ?” gerutuku sedikit kasar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun