Mohon tunggu...
Ali Mutasowifin
Ali Mutasowifin Mohon Tunggu... pegawai negeri -

just an ordinary teacher

Selanjutnya

Tutup

Money

Antara Gaji dan Kinerja

31 Januari 2011   17:42 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:01 592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12964954071712596543

[caption id="attachment_88313" align="alignnone" width="590" caption="presiden di depan rapim tni/polri (presidenri.go.id)"][/caption] Pernyataan Presiden Yudhoyono saat memberikan pembekalan di depan Rapat Pimpinan TNI dan Polri tentang gajinya yang tidak pernah naik selama tujuh tahun terus menjadi kontroversi meskipun telah berlalu hampir dua minggu. Salah satu kritik yang disuarakan berkaitan dengan keluhan ini mendasarkan argumentasinya pada kinerja Presiden yang dianggap tidak memuaskan. Pernyataan Presiden yang kemudian melahirkan polemik ini membuka diskusi tentang adanya dua masalah penting yang belum mampu diselesaikan sejak lama, yakni yang berkaitan dengan struktur gaji dan standarisasi gaji yang diterima para pegawai dan pejabat negara. Belajar dari Dunia Bisnis Dalam dunia bisnis, praktik mengaitkan pendapatan dengan kinerja yang dihasilkan sebenarnya telah lama lazim dikenal. Belum lama ini, misalnya, mantan CEO Google Eric Schimdt menjual sebagian saham google yang dimilikinya senilai US$ 335 juta. Saham ini merupakan bagian dari kompensasi yang diterimanya selama menjabat pimpinan puncak perusahaan terkemuka tersebut, yang biasanya telah diperjanjikan di awal sebelum mulai menjabat dengan mengaitkan kinerja perusahaan selama masa kepemimpinannya. Praktik ini sebenarnya juga bukan hal baru bagi dunia bisnis di tanah air, baik perusahaan swasta maupun badan usaha milik negara. Usai penyelenggaraan rapat umum pemegang saham, media massa biasanya ramai memberitakan besaran tantiem dan bonus yang diterima oleh jajaran komisaris dan direksi. Jumlah tantiem dan bonus ini biasanya merupakan persentase tertentu dari laba yang berhasil dibukukan oleh perusahaan. Sayangnya, praktik pemberian penghargaan yang dikaitkan dengan kinerja ini masih belum lazim dikenal di kalangan lembaga pemerintahan. Pendapatan yang diterima oleh jajaran Bank Indonesia, misalnya, terus meningkat, meskipun banyak terjadi masalah di dunia perbankan yang diakibatkan oleh buruknya pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Tahun 2011 ini Bank Indonesia mengajukan dana untuk anggaran operasional dalam Anggaran Tahunan Bank Indonesia (ATBI) sebesar Rp 5,2 triliun. Anggaran terbesar yakni gaji pegawai yang mencapai Rp 1,98 triliun dan anggaran pengembangan dan pemeliharaan Sumber Daya Manusia (SDM) yang sebesar Rp 1,84 triliun. Selain itu, Bank Indonesia kembali mendapatkan kenaikan gaji pegawainya sebesar 3-7% untuk level hingga direktur, serta 15-20% untuk pegawai level dasar. Praktik serupa terjadi di institusi pemerintah lainnya. Para pegawai Kementerian Keuangan, misalnya, mendapat gaji dan remunerasi serupa meskipun terdapat variasi dalam pencapaian kinerjanya. Para pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang berhasil melampaui target memperoleh perlakuan yang sama dengan koleganya yang bertugas di Direktorat Jenderal Pajak yang tidak saja gagal mencapai target yang ditetapkan tetapi juga terbukti bobrok sebagaimana tercermin dalam kasus Gayus Tambunan. Kontroversi yang meluas terkait gaji presiden seharusnya dapat menjadi semacam blessing in disguise untuk menata kembali strategi penggajian para penyelenggara negara, dari tingkat terbawah hingga teratas. Sebagaimana telah dipraktikkan dalam dunia usaha, reward bagi para pegawai instansi-instansi pemerintah seharusnya dapat dikaitkan dengan kinerja yang dihasilkannya. Gaji presiden, misalnya, mungkin tak perlu dinaikkan, namun ia akan berhak memperoleh bonus apabila mampu mencapai target yang dapat ditetapkan bersama antara pemerintah dengan DPR seperti besaran inflasi, tingkat pertumbuhan ekonomi, angka kemiskinan, tingkat pengangguran, dan sejenisnya. Dengan demikian, bukan saja yang diterima oleh presiden akan lebih adil karena disesuaikan dengan hasil kinerjanya, namun juga diharapkan akan mampu mendorong sang presiden untuk bekerja lebih keras mencapai target-target yang telah ditentukan. Model yang sama dapat diterapkan pada jajaran di bawahnya. Standarisasi Penggajian Pokok bahasan kedua yang kemudian mencuat setelah munculnya kontroversi akibat pernyataan Presiden Yudhoyono itu adalah pentingnya standarisasi penggajian. Sebagaimana kerap diberitakan, gaji presiden setiap bulan hanya berjumlah Rp 62 juta. Jumlah ini jauh di bawah gaji gubernur Bank Indonesia yang menurut data 2006 saja mencapai Rp 265 juta. Gaji presiden ternyata juga masih kalah bila dibandingkan dengan gaji direksi badan usaha-badan usaha milik negara. Selain memperoleh gaji, sebenarnya presiden dan para pejabat negara memperoleh beragam tunjangan sehingga take home pay mereka sesungguhnya sangat besar. Bahkan, dana taktis yang diberikan kepada presiden setiap bulan mencapai Rp 2 miliar, sehingga membahas gaji per se tentulah keliru dan menyesatkan, karena beragam tunjangan yang diterima bisa melebihi jumlah gaji itu sendiri. Apalagi, dalam kasus seorang presiden yang seluruh kebutuhan hidup diri dan keluarganya ditanggung oleh negara. Polemik tentang gaji presiden ini selayaknya dijadikan momentum guna menata ulang struktur dan standarisasi penggajian di kalangan pemerintahan. Apa yang selama ini telah diterapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan sistem gaji tunggal barangkali pantas ditiru. Dengan sistem gaji tunggal pejabat tak lagi menerima pendapatan di luar gaji dan remunerasi yang diterimanya. Semua variabel penerimaan masuk ke dalam gaji yang diterima setiap bulannya. Selama ini, seorang pejabat masih menerima pendapatan semisal uang rapat, upah pungut pajak, dan honor lainnya. Dengan sistem gaji tunggal, semua jenis pendapatan tersebut akan diintegrasikan, karena sesungguhnya tugas-tugas yang mendatangkan honor tersebut sebenarnya sudah melekat dengan jabatan yang disandang pejabat tersebut. Selain itu, banyaknya jenis penerimaan di luar gaji juga mengaburkan pendapatan total pejabat yang sebenarnya. Hal ini juga membuat pemerintah kesulitan mengetahui jumlah anggaran negara untuk gaji plus pendapatan lain pegawainya, karena kurangnya transparansi dalam pengeluaran pos-pos belanja untuk beragam honor itu. Sekarang bola berada di kaki pemerintah, apakah akan tetap ngotot meneruskan rencana menaikkan gaji Presiden di tahun ini sebagaimana pernah diungkapkan Menteri Keuangan Agus Martowardojo, meskipun banyak kalangan menilainya sebagai kebijakan tak punya hati di saat 31,3 juta jiwa (jumlahnya akan menjadi dua kali lipat dengan standar PBB) masih berada di bawah garis kemiskinan serta kondisi ekonomi yang tidak cemerlang, atau menundanya dan bekerja lebih giat untuk memakmurkan rakyat sembari merancang sistem penggajian yang lebih adil dan transparan. Namun, dengan perkembangan yang terjadi di Tunisia, Yaman, dan Mesir, rasanya tidak sulit untuk menduga bahwa Presiden Yudhoyono akan dengan cerdas mengesampingkan opsi kenaikan gaji dirinya dan 8000 pejabat yang sempat diwacanakan oleh para menterinya.

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun