Mohon tunggu...
Ali Hasan Siswanto
Ali Hasan Siswanto Mohon Tunggu... -

Pengamat politik dan penikmat Moralogi

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Anies -Sandi Menang: Rasional atau Primordial?

19 April 2017   17:55 Diperbarui: 14 Oktober 2017   05:50 1448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pesta demokrasi DKI Jakarta hari ini dilangsungkan, seluruh TPS dibuka pagi hari dan ditutup pada jam 13.00. Setelah itu penghitungan suara dilakukan setiap TPS, bersamaan dengan itu masyarakat menonton dan melihat quick coint berlangsung yang disiarkan di berbagai media televisi. Pada saat hasil quick count sudah mencapai 80% suara yang masuk, maka disalah satu medi televisi, burhan dan eep sangat berani memberi kesimpulan bahwa jakarta memiliki gubernur baru yaitu anies dan dan sandi. Padahal ahok-djarot seminggu sebelum pemilihan di prediksi menang oleh berbagai survey. Hal ini dikarenakan banyaknya masyarakat jakarta merasa puas terhadap berbagai kinerja yang selama ini dilakukan ahok sebagai petahana. Persepsi kepuasan ini mendorong tingginya elektabilitas ahok di berbagai media massa. 

Namun alangkah mengejutkan tingginya kepuasan masyarakat dan elektabilitas tidak berbanding lurus dengan hasil quick count putaran kedua ini. Berbagai lembaga survey melakukan hitung cepat di pilkada DKI putaran kedua ini. Dari semua hasil quick count memberi gambaran dan menegaskan bahwa jakarta akan memiliki gubernur baru, semua memenangkan anies-sandi sebagai gubernur terpilih masyarakat jakarta pada tanggal 19 April 2017 ini, sekalipun hanya berdasarkan hasil quick count. 

Hasil quick count yang terlihat di televisi di lakukan oleh berbagai lembaga terpercaya. Lembaga yang bergerak pada quick count melakukan penghitungan suara kedua calon sehingga masyarakat yang melihatnya mendapat gambaran dan menyimpulkan hasil secara hitung cepat.  Charta Politica menghitung suara (Ahok-Djarot: 42,1%, Anies Sandi: 57,9%), Voxpol (Ahok-Djarot: 40,7%, Anies-Sandi: 59,3%), Polmark (Ahok-Djarot: 42,46%, Anies-Sandi: 57,54%), Litbang Kompas (Ahok-Djarot: 41,97%, Anies-Sandi: 58,03%), Lingkaran Survei Indonesia (Ahok-Djarot: 44,59%, Anies-Sandi:  55,41%), SMRC (Ahok-Djarot: 41,76%, Anies-Sandi: 58,24%).

Berangkat dari paparan hasil diatas dapat disimpulkan bahwa pemenang pesta demokrasi DKI Jakarta adalah pasangan nomer 3 yaitu Anies Baswedan sebagai gubernur dan Sandiaga Uno sebagai wakil gubernur lima tahun kedepan. Namun yang sangat mencolok adalah perolehan suara antara keduanya memiliki jarak yang sangat jauh yaitu kurang lebih 15 %, hal ini berbanding terbalik dengan elektabilitas ahok-djarot sebelum pesta demokrasi berlangsung. Pertanyaan yang muncul adalah kenapa tingginya elektabilitas berbanding terbalik dengan perolehan suara?. 

Berbedanya elektabilitas dan perolehan suara pasangan ahok-djarot menjadi pelajaran penting untuk pembelajaran politik di bangsa ini. Perbedaan ini memiliki berbagai faktor. Pertama, masyarakat tidak simpati dengan bahasa dan komunikasi yang digunakan ahok sebagai seorang pemimpin, sehingga sekalipun masyarakat merasa puas atas kinerja ahok memiliki keputusan untuk tidak memilih ahok di pesta demokrasi ini. Kedua: kekhawatiran masyarakat jakarta akan terpecah belahnya masyarakat jakarta. Ketiga: gelombang kasus 'penista agama' yang menjadi perhatian berbagai masyarakat. Pada taraf ini, elektabilitas yang tinggi tidak mendorong perolehan suaranya. 

Berangkat dari faktor tersebut patut sekiranya kita melihat faktor para pemilih dalam pemilihan ini. Partisipasi masyarakat Jakarta dalam memilih calon yang berdasarkan beberapa faktor yaitu rasional, emosional dan primordial. Pertama; menentukan pemilihan secara rasional berpihak pada kinerja yang dilakukan pasangan calon selama ini, dan sudah tentu calon petahana adalah calon yang dapat diprediksi untuk meraup suara besar karena indeks kepuasan masyarakat pada kinerja petahana. 

Namun, realitas pesta demokrasi menjawab bahwa masyarakat indonesia khususnya jakarta menentukan pilihannya dalam pesta demokrasi tidak berdasarkan rasionalitas kinerja. Kedua; pemilihan yang berdasarkan emosional. Tentu masyarakat setiap kolega kultural dan struktural partai politik seharusnya memilih pasangan calon yang diusungnya. Ikatan keluarga, kolega, pertemanan dan politik sebagai mesin suara seharusnya mendongkrak perolehan suara ahok, namun yang perlu belum dapat pasti dukungannya adalah aknum-oknum partai politik yang diharap mampu menjadi pilar kemenangan. 

Tetapi dasar emosional dalam partai politik tidak terjadi, hal ini dibuktikan dengan perbandingan perolehan suara ahok-djarot di putaran pertama dan kedua tidak mengalami peningkatan suara dan bahkan cenderung turun. Ketiga; memilih berdasarkan primordialisme. Mungkin ini yang layak dikatakan bahwa masyarakat indoneaia khususnya jakarta memilih berdasarkan primordialisme. Pada taraf ini, kasus al-maidah memiliki efek negatif bagi perolehan suara ahok djarot.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun