Mohon tunggu...
Alfaraby
Alfaraby Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Lika-Liku Pembelajaran Bahasa Arab di Madrasah

3 September 2018   22:00 Diperbarui: 4 September 2018   07:02 750
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Madrasah lebih baik, lebih baik Madrasah" 

Begitulah slogan yang digaungkan kementrian agama demi mengangkat elektabilitas madrasah itu sendiri. Ya, madrasah adalah lembaga pendidikan formal yang berada di bawah naungan Kementrian Agama tepatnya dibawah Dirjen Pendidikan Madrasah.

Ada 3 jenjang untuk madrasah sebagaimana sekolah non-madrasah, yaitu Ibtida'iyah (MI), Tsanawiyah (MTs), dan Aliyah (MA). Di madrasah para siswa tidak hanya diberi pelajaran umum, tapi juga pelajaran keagamaan, sehingga beban mata pelajaran siswa madrasah lebih banyak dibanding siswa sekolah non-madrasah.

Di sisi lain, tak sedikit pula Madrasah yang sudah memiliki kualitas yang unggul, serta mampu bersaing dengan sekolah-sekolah unggulan non-Madrasah. Nilai plus dari adanya madrasah adalah, siswa tidak hanya disirami teori, tapi penerapan akhlakul karimah (kesopanan) juga diprioritaskan di sana.  

Pada artikel ini, penulis mengulas lika-liku pembelajaran Bahasa Arab di Madrasah berdasarkan pengalaman di lapangan. Pada tahun lalu, kami mendapat tugas untuk menjalani Kuliah Kerja Lapangan (KKL), tujuannya adalah salah satu Madrasah Tsanawiyah yang ada di kabupaten Malang, sekitar 10km dari pusat kota Malang. Pada hari pertama kita masuk kesana, saya sedikit kebingungan mencari lokasi sekolah tersebut, karena letaknya yang berada di pedesaan serta di dalam gang sempit. 

Singkat cerita, saya mulai melakukan interview, tentunya yang berkaitan dengan pembelajaran Bahasa Arab karena saya sedang studi di Pendidikan Bahasa Arab UIN Malang. Kesimpulan dari hasil Interview saya dengan pengajar Bahasa Arab di Madrasah tersebut ialah kebuntuan yang Nampak jelas dalam pembelajaran Bahasa Arab benar-benar terjadi di sana, apa penyebabnya? 

Penyebabnya cukup mendasar, yaitu tidak adanya sinkronisasi antar kurikulum yang ditetapkan oleh Kementrian Agama atau yang disebut dengan KMA (Keputusan Menteri Agama) dengan modal kemampuan para peserta didik disana yang sangat beragam. Satu contoh, ada banyak dari para siswa yang belum kenal huruf hijaiyah, sementara tuntutan kurikulum nasional sangat tak selaras dengan itu, bahkan kurikulum terlalu husnudzon, dengan menganggap bahwa seluruh siswa madrasah se-Indonesia memiliki kemampuan yang sama, entah itu yang ada di madrasah unggulan ataupun madrasah-madrasah yang masih berjuang memperbaiki akreditasinya. 

Sekedar informasi, bahwasannya tidak semua siswa madrasah itu punya visi dan modal (kemampuan) yang sama. Banyak diantara meraka yang masuk madrasah karena telah ditolak oleh sekolah-sekolah (non-madrasah). Ada juga yang masuk madrasah karena paksaan orang tua, padahal si anak tak memiliki bakat dan minat keagamaan. Bahkan banyak para guru yang berkata "mereka (siswa-siswi madrasah) mau masuk sekolah aja udah untung." Percaya atau tidak, itulah fakta yang terjadi di lapangan. 

Madrasah/sekolah didirakan ataupun diizinkan untuk berdiri pada dasarnya sebagai wadah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, khusus untuk madrasah selain bertujuan tersebut, juga agar menjadi fasilitas dalam membentuk siswa-siswa yang tafaqquh fiddin atau bahasa gampangnya adalah mengerti agama (Islam) serta berakhlaqul karimah tentunya. Konsekuensi dari berdirinya lembaga pendidikan formal adalah semua peserta didik yang masuk harus mendapat pendidikan, bukan hanya anak pintar yang dididik kemudian yang belum pintar ditinggalkan begitu saja. 

Pada permasalahan bahasa arab, sudah jelas fakta di lapangan membuktikan bahwa kurikulum yang digariskan pemerintah tak berjalan lurus dengan basic para peseta didik di lapangan, khususnya di Madrasah pinggiran. Persoalan ini sempat saya diskusikan denga salah satu dosen pengampu Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran Bahasa Arab. 

Kesimpulannya, beliau mengakui ada ketidakselarasan antara kurikulum dengan fakta di lapangan. "kurikulum itu dibuat oleh Kementrian Agama setelah dipertimbangkan oleh para ahli" kata beliau. Nah saya kembali bertanya, "lalu apakah para ahli itu tidak melakukan research terlebih dahulu sebelum membuat kurikulum?" beliau langsung menyahuti, "ya ada reseach nya, Cuma ya hanya di madrasah-madrasah unggulan yang ada di kota-kota besar" 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun