Mohon tunggu...
Alfarabi ShidqiAhmadi
Alfarabi ShidqiAhmadi Mohon Tunggu... Guru - ibnu hamid

Mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Fakultas Ilmu Tarbiyah & Keguruan angkatan 2016

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ah, Saya Tidak Bakat Mendidik Anak Kecil, Jadi Saya Tidak Berani

21 November 2018   15:44 Diperbarui: 21 November 2018   15:48 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Di semester ini, penulis mendapat mata kuliah yang tujuannya adalah anak kecil atau lebih tepatnya pembelajaran pada tingkat dasar. Selain itu, sejak semester ini pula penulis juga ikut mengabdikan diri untuk mengajar di suatu lembaga tahfidz yang murid-muridnya adalah anak-anak kecil. Tak jarang saya disuguhi dengan perkelahian, tangisan bahkan sedikit perlakuan mereka yang tidak sopan kepada saya sebagai guru mereka.

Hari-hari yang disibukkan dengan mendidik anak kecil, baik dari segi teori maupun penerapan langsung cukup menguras pikiran, tenaga bahkan perasaan. Pasalnya, anak kecil punya dunia yang sedikit berbeda dengan kita, yang notabene sudah berinjak usia dewasa. Jadi untuk mendidik mereka kita perlu memahami pola pemikiran dan perkembangan mereka.

Mendidik memang tak semudah bekerja di depan mesin ataupun alat teknologi lainnya. Pasalnya, mendidik yang dihadapi adalah manusia bernyawa dan berakal, berbeda dengan mesin ataupun alat teknologi lainnya yang bisa kita atur sesuai keinginan penggunanya. Terutama ketika yang kita hadapi adalah anak kecil, tak semudah teori-teori yang ada di dalam buku untuk mengkondisikan mereka. Sehingga kita tidak boleh hanya menjadi pendidik yang teoritis.

Dinamika mendidik anak kecil yang sedemikian rupa menimbulkan sebuah persepsi yang kurang labih mengatakan "saya tidak bakat mendidik anak kecil, jadi saya tidak berani." Secara realitas, memang bisa sedikit dibenarkan bahwa mendidik anak kecil butuh minat dan bakat khusus untuk pendidiknya. Bahkan saya pun sedikit mempercayai persepsi itu, setelah saya terjun langsung ke dunia pendidikan anak. Selain itu, di perkuliahan saja ada jurusan khusus untuk pendidikan dasar atau tingkat Ibtida'iyah.

Namun, jika persepsi itu dipakai oleh banyak mahasiswa, khususnya mahasiswa yang mendalami ilmu pendidikan, maka apa jadinya anak bangsa ini? Apa mereka harus menunggu guru yang memiliki minat dan bakat untuk mengajar? Tentu persepsi tersebut tidak bisa dibenarkan secara mutlak.

Tak perlu berfikiran terlalu jauh ataupun mengada-ada untuk meluruskan persepsi itu. Anda sebagai mahasiswa, anda pasti ingin menikah nantinya. Dari sebuah pernikahan tersebut, anda bersama pasangan pasti akan memiliki anak. Nah anda sebagai orang yang berpendidikan, apakah anda akan membiarkan anak anda tidak mendpat kucuran ilmu yang anada miliki? Atau anda akan menunggu sang putra beranjak dewasa (melepas masa kanak-kanaknya) untuk mendidiknya?

Tentu jawabannya 'tidak' kan. Anda perlu sedikit berfikir, "kalau saya tidak mau (anti) dalam mendidik anak, lantas siapa yang akan mendidik anak saya sejak dini nanti?" karena mau tidak mau, apalagi jika anda seorang mahasiswa pendidikan, anda pasti akan berhadapan dengan dunia pendidikan anak, yaitu mendidik anak anda sendiri.

Memang tidak mudah untuk memahami dunia pendidikan anak yang serba tidak pasti. Namun, setidaknya kita perlu sedikit menelateninya. Saya rasa semua bidang pendidikan, pasti perlu yang namanya telaten dan sabar, lebih-lebih ketika mendidik anak. Nah, telaten dan sabra itu perlu dilatih bro. kalau anda saja sudah takut untuk menyelam di dunia tersebut, bagaimana bisa anda berlatih? Yang penting coba dulu.

Berlatih kesabaran dan ketelatenan juga tidak bisa dalam waktu yang singkat (instan). Coba kita lihat bagaimana Allah melatih beberapa Rasul-Nya untuk bersabar melalui mengembala kambing. Nah, mengembala kambing tak akan bisa berjalan kalau penggembalanya mudah putus asa ataupun tidak telaten. Alhasil, dari proses penempaan tersebut, para Rasul mampu membina umat yang sangat beragam untuk menyembah Allah (ibadah). Tentu membina umat tak semudah membalik telapak tangan. Lihat bagaimana mereka dihujat, diabaikan, bahkan ada beberapa yang diancam akan dibunuh (diteror). Andaikan para Rasul itu mudah putus asa ataupun tidak telaten, dakwah mereka pun akan sia-sia, alias gagal.

Singkatnya, jangan pernah takut untuk menididik anak kecil. Mau tidak mau anda nantinya akan memiliki anak kecil, yang sejak lahir tanggung jawab pendidikannya ada di pundak anda sebagai orang tua, lebih-lebih jika anda adalah seorang sarjana pendidikan.

 

Alfaqir

Alfarabi Shidqi Ahmadi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun