Mohon tunggu...
Alfa Lubis
Alfa Lubis Mohon Tunggu... lainnya -

Sudah jinak dan tak lagi menggigit. Seharusnya.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

311. Antara Wondo & Zuhri

20 Desember 2011   07:06 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:00 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam struktur organisasi sebuah perusahaan, barangkali jabatan office boy atau cleaning service adalah jabatan terendah yang ada. Mendengarnya, segera saja yang terbayang adalah kumpulan orang-orang lusuh berpakaian murahan, mengerjakan perkara-perkara yang sepele dan ringan bahkan sering menjijikkan, tingkat pendidikan rendah, udik, bodoh, kampungan, dan hal-hal tak sedap lainnya. Stigma ini tentulah tak sepenuhnya salah, hanya saja akan ada kondisi-kondisi tertentu yang mampu mengubahnya.

Terkenang aku akan Om Wondo, mantan anak buah ayahku. Pada saat ayahku memimpin kantor cabang sebuah bank swasta--yang kini sudah ditutup, terdapat di dalamnya Suwondo, seorang office boy. Menurut cerita ayahku, Wondo ini orang yang bandel, suaranya keras, dan cukup temperamental, barangkali karena orang Jawa Timur. Begitupun, di tangan ayahku, ia tak banyak tingkah. Entah karena ayahku pimpinan atau karena caranya yang tepat, Wondo hormat benar pada ayahku. Sampai hari ini, saban tahun tak pernah lupa ia mengucapkan selamat Hari Raya bahkan hari-hari lain tanpa dinyana seringlah ia menghubungi ayahku sekedar tanya kabar atau apalah. Tentulah yang demikian itu tak terjadi tanpa ada hubungan baik atau pengalaman yang berkesan dengan seseorang. Ayahku tak ingin nasib Wondo begitu-begitu saja, bukan hanya karena ia melihat Wondo potensial melainkan pula karena senantiasa ayahku berusaha mengubah kondisi lingkungan gunakan apa yang dimilikinya; ide, harta, kekuasaan dan sebagainya. Sering Wondo diajaknya diskusi tentang banyak hal mulai dari keluarga sampai masalah karir. Termasuk salah satu saran ayahku agar Wondo mau kuliah lagi, sisihkan sedikit waktu dan materi untuk melanjutkan pendidikan agar lebih baik pilihan-pilihan yang ada. Wondo menurut. Singkat cerita ia pun menamatkan kuliahnya, entah diploma atau strata, yang jelas naik marwahnya satu tingkat lagi. Segeralah ia direkrut ayahku dari office boy menjadi petugas kliring, yang tentu saja tingkatannya lebih tinggi. Apa lacur, tak lama berselang ditutuplah bank tempat mereka bekerja, dampak krisis moneter. Kini, Om Wondo mengecap apa yang pernah dijalani ayahku: jadi pimpinan bank. Kini ia memimpin sebuah kantor cabang di bank yang sama dengan tempat aku pernah bekerja. Satu bendera. Karenanya, sering benar ia meneleponku sekedar tanya kabar atau membesar-besarkan semangatku. Selalu dikatakannya; "Al, kamu tau dulu kan saya kayak gimana? Kamu harus bisa lebih daripada saya! Sabar-sabar, nasib pasti berubah..." yang untuk sesaat membakar semangatku hingga akhirnya aku berusaha realistis bahwa manajemen bank tempat kami bekerja sekarang dibanding bank tempat Om Wondo dan ayahku bekerja dahulu, beda jauh. Setidak-tidaknya, seorang office boy di tempat mereka bekerja dahulu dapat peluang yang sama untuk mengangkat marwah dan derajat, hingga akhirnya mampu menapaki sukses menjadi seorang pemimpin. Hal demikian, agaknya, tak seindah kenyataan untuk Bang Zuhri... Berapa lama sudah Syaifuddin Zuhri bekerja di kantorku? Sejak awal unit kerja kami berdiri, Bang Zuhri sudah ada di dalamnya. Termasuk angkatan pertama, sungguhpun level terendah. Yang membuat miris adalah, tak sesenti pun nasibnya berubah, tahun ke tahun tetaplah sama. Mengamati nasib seorang office boy tentulah tak bakal masuk nalar para pimpinan, pun berusaha mengubahnya takkan masuk rapat bulanan, hingga tak ayal Bang Zuhri bagai bayangan diri kita yang tak kita demikian peduli terhadapnya. Yang menyakitkan adalah saksikan apa yang dialaminya saban hari. Masuk kerja paling lambat jam setengah enam pagi--rata-rata lima dua puluh, pulang paling cepat jam lima sore. Hari Sabtu masuk--tak dihitung lembur. Tak ada cuti tahunan apalagi insentif triwulanan. Dan terakhir kutinggalkan, gajinya satu juta lima puluh ribu Rupiah, sebelumnya malah cuma delapan ratus lima puluh ribu. Dan ialah termasuk orang paling sibuk di kantorku, tak pernah bisa duduk tenang. Baru letakkan pantat, si A memanggil. Baru siap tegukan terakhir dari gelasnya, sudah dipanggil si B. Belum lagi seka peluh, C pula yang memanggil. Dan seterusnya, hari ke hari tiada berubah. Mulai perkara tetek sampai masalah bengek, Syaifuddin Zuhri-lah tumbalnya, pelengkap penderita. Seringkali kupikir, kami-kami yang bangga menyandang stigma syariah ini luar biasa zalimnya. Tak hirau akan derita orang susah, melulu bicara target, target, target, tapi tak sadar bahwa satu bagian tubuh kami kesakitan. Terlampau tinggi menurutku, berlagak membahas isu ekonomi syariah sebagai salah satu indikator bangkitnya peradaban Islam saat pada kenyataannya kita bahkan tak hirau nasib seorang Muslim dalam sistem kita. Kantorku dibuka tahun 2003, kutinggalkan 2011. Selama itulah Bang Zuhri di dalamnya, dan tetap susah. Ada saja alasannya yang kusinyalir memang disengaja untuk mengganjal-ganjalnya untuk hidup lebih baik. Padahal sudah beberapa kali ada angin segar untuknya naik ke jenjang yang lebih tinggi, tetap saja tak kesampaian. Pernah ia diusulkan untuk didaftarkan ke koperasi bank kami--sebelumnya ia adalah rekrutan sebuah perusahaan outsourcing--yang walaupun tak lantas menjadikannya pegawai tetap namun paling tidak fasilitas kesejahteraan dan haknya sama dengan pegawai tetap. Apa lacur, tak terlaksana. Konon, ada Mr. X yang mengganjalnya agar tak sampai menjadi pegawai koperasi bank karena si Mr. X sudah sering terima parsel dari perusahaan outsourcing tempat Bang Zuhri bernaung. Padahal saat itu ia sudah mulai faham pekerjaan-pekerjaan di operasional seperti membantu administrasi Back Office, surat-menyurat, bahkan tata-cara kliring pun mulai dikuasainya. Saat zamanku, kezaliman berulang. Sekali lagi kami mencoba mendaftarkannya ke koperasi, dan lagi-lagi ada Mr. XX yang mengganjalnya, dan tetap saja karena ada lobi-lobi dari pihak outsourcing tempatnya bernaung--yang menurutku bukan tempatnya bernaung karena sama sekali tak menaungi melainkan tempatnya dijagal. Wondo bukan Zuhri. Zuhri bukan Wondo. Banknya pun beda. Tak perlu mempermasalahkan beda konvensional dengan syariah, tak usah membahas mana lebih baik manajemennya. Hanya yang menyakitkanku, aku gagal mencoba memberi arti dalam hidup Bang Zuhri. Entah mengapa Tuhan jadikan aku persis ayahku, sama-sama terlibat dengan nasib office boy. Bedanya, ayahku sukses membina Wondo, aku gagal membantu Zuhri. Kenangan akan Zuhri adalah ceritaku kepadanya tentang hidup Wondo. Sering saat hanya berdua dengannya kubanggakan keberhasilan ayahku mengangkat derajat Wondo dan bagaimana nasib Wondo yang awalnya office boy kini menjadi kepala cabang. Kuceritakan pula padanya akan seorang mantan pimpinan Citibank--kalau tak salah sekelas CEO--yang memulai nasibnya sebagai office boy, semata-mata menyemangatinya. Kenyataannya, tetap aku gagal mengangkatnya dari jurang kesusahan. Pada kusam wajahnya, kurasakan pandang matanya bak menggugatku telak-telak, pertanyakan apa yang telah kulakukan dengan kemampuanku untuk meringankan deritanya. Dan tidak ada. Syaifuddin Zuhri tetap office boy, dahulu, sekarang, dan barangkali kelak. Ingin rasanya kujumpakan Om Wondo dan Bang Zuhri. Dan kuharap, saat itu Tuhan hadir di antara mereka.

(NB. Diilhami percakapan getir di dapur kantor, ditemani Coca-Cola Zero yang mendadak hambar.)

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun