Mohon tunggu...
Albert Wijaya
Albert Wijaya Mohon Tunggu... Freelancer - Follow my Twitter : @daridebubintang

Follow my Twitter : @daridebubintang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Indonesia Dekade Ini : Polarisasi

6 Maret 2020   21:25 Diperbarui: 6 Maret 2020   21:37 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source : hellosehat.com

3 bulan sudah kita memasuki dekade yang baru. Ada begitu banyak hal yang terjadi di Indonesia dalam satu dekade(10 tahun) ini. Jika Anda diminta untuk memilih sebuah kata yang paling menggambarkan apa yang terjadi di Indonesia pada dekade ini, kata apa yang akan Anda pilih? Saya akan memilih polarisasi sebagai kata yang menurut saya paling mewakili situasi dan kondisi Indonesia selama 10 tahun belakangan.

Dalam 10 tahun ini bisa dibilang menjadi panggung pertarungan politik terpanas sepanjang sejarah negeri ini. Terpanas di sini dalam artian pertarungan politik yang paling membelah masyarakat menjadi dua kutub. Dimulai dengan Pilgub DKI 2012, Pilpres 2014, Pilgub DKI 2017, dan yang terakhir Pilpres 2019. Dari rangkaian pertarungan politik itulah akhirnya muncul istilah-istilah seperti cebong dan kampret.

Pendukung Joko Widodo diberi sebutan sebagai cebong, sementara pendukung Prabowo Subianto diledek sebagai kampret.  Pertarungan kedua kubu memuncak pada Pilpres 2014 dan Pilpres 2019 di mana Jokowi dan Prabowo 2x head to head untuk kursi RI1. Dalam masa-masa kampanye menjelang Pilpres, hampir setiap hari ketika kita membuka sosial media kita isinya adalah meme, gambar, tulisan dari kedua kubu yang saling bertarung. Parahnya media sosial sering dimanfaatkan oleh kedua kubu untuk berkampanye dengan kotor.

Salah satunya adalah dengan menyebarkan black campaign dan hoax yang memfitnah kubu lawan. Dan di tengah banjir informasi setiap harinya, kita pun sering tenggelam dan hanyut ke dalam polarisasi ini. Suka atau tidak, diakui atau tidak, pertarungan politik di negeri ini telah menjadi faktor pembelah di masyarakat kita. Rasanya hampir tidak mungkin bagi kita untuk berkata bahwa saya tidak mau terjun ke salah satu kutub, saya mau berada di tengah sebagai pemilih yang objektif dan adil.

Pilpres telah selesai, dan seperti yang kita tahu Jokowi memenangkan kembali kursi RI1. Dan hal yang menarik terjadi di periode kedua Jokowi adalah dirangkulnya Prabowo untuk masuk ke dalam kabinet sebagai menteri pertahanan. Hal ini tentunya diharapkan menyejukkan situasi dan atmosfer politik kita yang terus membara selama beberapa tahun. Dan harus diakui memang polarisasi berkurang sejak Pilpres 2019 selesai.

Namun jika kita sungguh jeli, rasanya mudah diprediksi bahwa pada tahun 2024 saat pilpres diselenggarakan lagi akan memunculkan polarisasi lagi. Saat ini yang mendominasi media sosial adalah perdebatan tentang Gubernur DKI Jakarta. Oleh pendukungnya, Anies digadang-gadang sebagai calon presiden terbaik untuk 2024. Pendukung Anies bahkan memberikan julukan Gubernur Indonesia kepadanya.

Sementara di sisi lain, pendukung pemerintah (dan banyak di antaranya adalah pendukung Ahok) senantiasa melontarkan kritik pedas terhadap Anies. Anies dianggap tidak sehebat Ahok (khususnya dalam masalah banjir). Ya, aroma panas dari Pilgub DKI Jakarta memang masih ada terasa sampai saat ini.

Di tengah-tengah polarisasi selama sedekade ini juga banyak suara yang bermunculan dan berkata mari sudahi polarisasi ini. Kita capek berantem terus. Kita capek tarung terus. Bahkan banyak kisah nyata keluarga dan teman yang akhirnya mogok bicara satu sama lain hanya karena berbeda pilihan di pemilihan umum. Ya, dampak polarisasi memang sudah sampai tahap yang berbahaya bagi sendi-sendi kebangsaan.

Lalu pertanyaannya apa yang bisa saya lakukan supaya saya tidak terjebak dan hanyut ke dalam polarisasi yang sepertinya belum akan reda dalam waktu singkat?

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus mengakui bahwa fenomena menguatnya polarisasi di masyarakat akibat kontestasi politik bukan hanya terjadi di Indonesia saja, namun terjadi juga di seluruh dunia. Faktor terbesar yang menyebabkan hal ini terjadi adalah perkembangan teknologi khususnya media sosial selama sedekade ini. Seiring munculnya media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, Youtube, dll telah menimbulkan gelombang polarisasi yang tidak pernah terjadi sebelumnya di dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun