Mohon tunggu...
Humaniora Pilihan

Menilai Kinerja Polisi

22 Maret 2017   15:16 Diperbarui: 27 Maret 2017   15:00 809
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya terbiasa berangkat dari rumah menuju kantor pada pukul 05.00 WIB. Dari rumah yang berada di Depok menuju kantor yang terletak di Jakarta Selatan, tepatnya di jalan Gatot Subroto. Perjalanan ke kantor biasanya ditempuh dalam waktu 60 (enam puluh) menit, itupun dengan catatan harus berangkat tidak lewat dari jam 05.00 WIB, karena jika lewat dari jam 05.00 WIB, perjalanan ke kantor bisa ditempuh dalam 90 (sembilan puluh) menit, atau mungkin lebih.

Senin pagi itu seperti biasa, saya berangkat dari rumah ke kantor jam 05.00 WIB, namun harus dicatat bahwa kemacetan di hari Senin tidaklah sama dengan kemacetan di hari kerja lainnya. Hari Senin selalu menjadi momok bagi para pekerja ibukota, terutama ketakutan akan kemacetan yang harus dihadapi setiap berangkat dan pulang kerja. Saya berangkat melewati jalan raya Margonda yang menjadi ikon kota Depok dengan trademark wisata kulinernya di sore dan malam hari. Setelah melewati Margonda, ujian pertama para pengendara kendaraan bermotor adalah penyempitan jalan di pintu masuk universitas Indonesia (UI) Depok. Ujiannya berupa pengguna jalan dari arah Margonda akan berebutan masuk ke jalur yang menyempit tepat di depan pintu masuk UI. Selalu ada saja gesekan antar para pengenda kendaraan bermotor yang berebutan masuk ke jalur itu, bahkan tak jarang berujung dengan adu jotos.

Namun pagi itu saya melihat seorang petugas Polisi Lalu Lintas atau biasa disebut Polantas berdiri di pinggir penyempitan jalur menuju Jakarta tersebut. Dengan adanya Polantas itu, tidak ada kendaraan yang berusaha melambung dan menyerobot masuk ke dalam jalur menuju Jakarta, karena apabila masih melambung, akan diperintahkan Polantas untuk masuk ke dalam jalur pintu masuk UI supaya tidak membuat kemacetan di penyempitaan jalur ke Jakarta. Hal yang akan sangat menyebalkan jika kita yang sedang terburu – buru menuju kantor malah diperintahkan masuk ke dalam jalur pintu masuk UI bukan ke jalur menuju Jakarta. Dengan adanya Polantas itu, pengendara kendaraan dari Depok menuju Jakarta menjadi lebih tertib dan teratur.

Tapi bukan itu sebenarnya yang menjadi sudut pandang pemikiran saya pagi itu. Saat itu yang terbersit di pikiran saya adalah bagaimana seorang Polantas yang biasanya kehadirannya tidak diinginkan dan selalu dicibir oleh masyarakat menjadi sangat dibutuhkan dan tindakannya diapresiasi. Mungkin masyarakat tidak menyadari, bahwa ketika mereka baru hendak berangkat kerja pada pukul 05.00 WIB, seorang Polantas telah berdiri melaksanakan tugasnya mengatur lalu lintas pada jam itu. Berarti pada pukul berapa Polantas itu berangkat kerja ? Pada jam berapa Ia bangun tidur ? Lalu berapa jam Ia tidur pada malam harinya ? Masyarakat jarang berpikir kearah sana, yang mereka pikirkan adalah begaimana secepat mungkin mereka dapat sampai di kantor dan tidak terkena kemacetan. Masyarakat tidak menyadari bahwa dibutuhkan kesadaran yang tinggi dari seorang Polantas untuk merelakan waktu tidurnya guna melancarakan kemacetan lalu lintas yang selalu terjadi di jam arus berangkat dan pulang kerja.

Sebagai seorang anggota Provos Polri, saya seringkali berpola pikir sama dengan masyarakat pada umumnya. Provos Polri adalah satuan fungsi pada Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) yang bertugas membantu pimpinan Polri dalam menagakkan disiplin dan tata tertib di tubuh Kepolisian Negara Republik Indonesia, hal itu lah yang mungkin membuat saya selaku Provos Polri sering melihat Polantas dari perspektif yang sama dengan masyarakat pada umumnya, yaitu melihat Polantas dari kesalahannya saja. Jujur saja, terkadang anggota Provos Polri yang bisa dibilang adalah “Polisinya Polisi” mengganggap Polantas adalah para Polisi yang sering melakukan pungutan liar, sering menerima suap dari pelanggar lalu lintas, sering mengeluarkan ucapan yang bertujuan menguntungkan pribadinya dan masih banyak lagi rentetan kesalahan yang sering dilakukan oleh Polantas.

Namun jika kita menyimak cerita saya sebelumnya, yang mana saya telah menemukan seorang Polantas yang mengatur lalu lintas di suatu titik Police Hazard, kita harus berpikir kembali, bahwa tidak semua Polantas melakukan praktek pungutan liar (pungli), tidak semua Polantas mau menerima uang suap dari para pelanggar lalu lintas, tidak semua Polantas sering mengeluarkan perkataan yang menakutkan soal besaran denda yang harus dibayarkan pelanggar lalu lintas apabila ditilang dan mengikuti persidangan pelanggaran lalu lintas, tidak semua Polantas cuek terhadap kemacetan lalu lintas di jalan raya dan memilih bermain handphone dan berteduh di pos. Tidak semua Polantas serendah itu moralnya. Masih banyak Polantas yang mau bekerja maksimal, bahkan terkadang bekerja melampaui porsi tugasnya. Masih banyak !

Sebagai seorang Provos Polri, memang tidak jarang saya menemukan berbagai modus pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh Polantas, baik Polantas yang bertugas di lapangan (jalan raya) maupun Polantas yang bertugas sebagai staf administrasi (registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor), namun diluar itu semua, saya masih menemukan Polantas yang jujur dan tidak berbakat untuk melakukan pelanggaran disiplin, sebut saja teman saya Brigadir Felik yang bertugas di pengaturan lalu lintas (Subdit Gatur). Ia telah saya kenal sejak masih bertugas di Kompi Dalmas Sabhara, sewaktu kami masih bertugas bersama, saya menemukan bahwa ia tidak berbakat bahkan tidak bisa memulai upaya untuk menguntungkan diri sendiri seperti pungli terhadap pelanggar. Yang ada pelanggar lalu lintas dinasehati dan dipersilahkan melanjutkan perjalanan kembali. Bertugas sebagai Polantas bukanlah merupakan keinginan utamanya. Ia beberapa kali mengajukan pindah tugas ke satuan kewilayahan, namun belum diperbolehkan dan masih harus bertugas sebagai Polantas. Ia adalah salah satu dari sekian banyak Polantas yang masih saya kenal sebagai Polantas yang jujur, ini penilaian saya dan berdasarkan pengamatan saya sejauh ini. Namun masih banyak lagi Polantas lain yang masih tetap jujur dan melaksanakan tugasnya dengan sepenuh hati, tidak hanya Brigadir Felik yang saya kenal, yang tidak saya kenal pun banyak, saya yakin itu.

Bekerja menjadi Polisi bisa dimaknai dari dua sisi. Jika seorang Polisi bekerja dengan jujur dan sepenuh hati tanpa ada keinginan untuk memperkaya diri sendiri, pekerjaan sebagai Polisi bisa menjadi ladang untuk meraup pahala dan berkat. Selain itu penilaian masyarakat terhadap Polisinya akan menjadi positif. Namun jika seorang Polisi bekerja dengan motivasi untuk memperkaya diri sendiri, tidak bekerja dengan hati nurani, maka penilaian masyarakat terhadap Polisinya menjadi negatif. Tapi jangan pernah lupa, bahwa Polisi adalah cerminan dari masyarakatnya. Besar kemungkinan bahwa Polisi yang korup merupakan buah dari masyarakatnya yang gemar menyuap petugas.

Ini adalah pemikiran kecil tentang masih adanya Polantas yang mau bekerja dengan sepenuh hati dan Polantas yang lebih memilih jujur dalam menjalankan tugasnya. Selain itu pemikiran bahwa pekerjaan sebagai Polisi merupakan pekerjaan yang sangat mulia apabila dilakukan dengan tulus tanpa motivasi hendak memperkaya diri sendiri. Semoga tulisan ini bisa menyadarkan kita, supaya pandangan masyarakat dan kita sesama anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, tidak selalu berpandangan negatif terhadap kinerja anggota Polantas. Kita harus melihat dari sudut pandang lainnya ketika mencermati suatu pemikiran.

     Terima kasih,

     Salam.

     Albert Parulian Sinurat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun