Mohon tunggu...
Alba
Alba Mohon Tunggu... -

Pengabdi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Belajar Dari Upin dan Ipin

16 Agustus 2013   09:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:15 1927
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Toleransi sesungguhnya substansi dari falsafah nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar Negara kita, menjunjung tinggi perbedaan keyakinan, kepercayaan, agama, hak asasi manusia dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ironinya, konflik-konflik karena perbedaan terus menghantui bangsa ini sejak enam puluh delapan tahun Indonesia merdeka. Sejak masa orde lama, orde baru sampai lebih lima belas tahun merasakan era reformasi, belum terlihat gejala-gejala demokratisasi sesugguhnya sesuai nilai falsafah Pancasila.

Ini bukanlah kisah animasi tentang Upin dan Ipin sebagai sepasang kakak-beradik kembar berusia belia yang tinggal bersama Kak Ros dan Opah di Kampung Durian Runtuh (Malaysia), setahun kematian kedua orang tua mereka sewaktu masih bayi. Upin dan Ipin bersekolah di Tadika Mesra yang terletak dalam kawasan kampung, di mana mereka berteman dengan banyak teman yang berbeda Karakter, Suku, Agama dan Ras, antara lain ialah Mei Mei yang imut dan berkepribadian cerdas (Tionghoa), Jarjit Singh yang gemar membuat humor dan membuat pantun (India), Ehsan yang suka menyendiri, cerewet dan suka makan, Fizi yang penuh keyakinan diri tetapi suka mengejek orang lain (Melayu), dan Mael yang berkemampuan untuk berjualan dan pandai berhitung (Melayu).

Dalam sebuah skripsi bahkan menjadikan animasi ini sebagai judul penelitiannya, ‘Nilai-Nilai Akhlakul Karimah Dalam Film Animasi Upin dan Ipin’ ditulis oleh Sony Lutfiaji Priyandokojurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas tarbiyah Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang pada tahun 2010. Selain membaca hasil penelitian tersebut, kami juga setiap harinya menonton film animasi tersebut sambil menemani anak kami yang ternyata menyukai film tersebut. Ada banyak pesan dan nilai-nilai yang layak kita contoh di film tersebut sebagai masyarakat yang menjadikan Pancasila sebagai dasar Negara kita, terutama hidup dalam toleransi umat beragama.

Nilai-Nilai Film

Pesan toleransi, agama dan moral yang disampaikan Upin dan Ipin sangat kaya. Dalam hampir semua episode Film Upin Ipin yang dibuat oleh Mohn Nizan Abdul Razak, Muhd Safwan Abdul Karim, dan Usalna zaid pemilik Les’ Copaque pada tahun 2007. Ketiganya adalah Mahasiswa dari Multimedia University Malaysia. Tujuan awal film Upin Ipin untuk mendidik anak agar menghayati bulan Ramadan. Film ini pertma kali diputar di Channel 9 (televisi swasta Malaysia). Film ini mendapat sambutan hangat dari publik Malaysia. Tak hanya berjaya di negaranya, film ini melebarkan sayap di Indonesia. Pernah tayang di TVRI dan TPI (sekarang MNCTV), bahkan di Banda Aceh Upin dan Ipin dijual bebas.

Serial animasi produksi negeri tetangga Malaysia itu berbeda dengan film-film kartun dan tayangan anak lain yang ada di layar televisi selama ini. Bila kartun lain masih menyisakan adegan kekerasan, perkelahian, dan caci-maki, film ini alpa semua itu. Tayangan ini disajikan sederhana namun komunikatif dan mendidik. Sajian mereka juga mencerdaskan dan mencerahkan. Serial kartun ini memiliki 6 seri, dimana setiap serinya terdiri dari 10 menit. Upin dan Ipin bercerita tentang dua anak kembar yang bernama Upin dan Ipin. Mereka adalah anak yatim piatu yang tinggal bersama kakaknya yang bernama Kak Ros, juga neneknya yang sering dipanggil Opa. Selain bercerita soal puasa, film Upin dan Ipin juga menyampaikan pesan-pesan edukasi, nilai moral dan toleransi kepada anak-anak.

Meng-Ejawantah-kan Toleransi

Toleransi sesungguhnya secara harfiah dalam kamus bahasa Indonesia berasal dari kata toleran; bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dsb) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri, sehingga toleransi menunjukkansifat atau sikap toleran.

Menariknya di Indonesia sering mendapat sanjungan dari Negara lain sebagai Negara yang menjunjung toleransi. Ironinya, Presiden SBY pernah mendapakan penghargaan World Statesman 2013 dari Yayasan Appeal of Conscience. Yayasan yang bermarkas di New York AS itu menilai Presiden berkontribusi besar terhadap resolusi konflik, baik sipil maupun agama di Indonesia. Faktanya di dalam negeri berbicara sebaliknya, kekerasan terhadap kelompok minoritas terus terjadi, diantaranya Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Tasikmalaya, Gereja Yasmin di Bogor Jawa Barat dan kekerasan terhadap warga Syiah di Sampang Jawa Timur. Dari laporan Setara Institute, tahun 2012 total ada 317 tindakan dan 264 peristiwa pelanggaran HAM. Kekerasan atas nama agama bukan hanya dilakukan masyarakat, melainkan juga lembaga peradilan dan institusi negara.

Bahkan kita mungkin masih terngiang aksi anarkis yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat mengatasnamakan agama pada bulan ramadhan baru-baru ini dengan aksi-aksi sweaping-nya. Bukankah itu bentuk sikap tidak menghargai adanya perbedaan sehingga menunjukkan sikap intoleransi yang mendistorsi nilai-nilai falsafah Pancasila. Bahkan yang mengagetkan ketika sebuah bom meledak di suatu wihara di Jakarta pada saat malam Idul Fitri.

Toleransi bukan hanya pengetahuan dan ucapan, tapi perilaku dan tindakan sebagai wujud sikap menghargai. Toleransi membutuhkan suatu penanaman nilai sejak kecil (kanak-kanak) sebagai wujud ketidaksadaran manusia yang mempengaruhi perilakunya hingga dewasa. Ketakutan kami sesungguhnya, jika telah terjadi doktrin yang sifatnya turun-temurun yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari kita tentang toleransi. Baik dilingkungan keluarga, kelompok, institusi pendidikan sampai doktrin-doktrin anti toleransi yang diperlihatkan oleh Negara kita. Sangat berbeda dengan kehidupan sebagaian kecil Negara tetangga kita tentang toleransi dalam suatu kampung di animasi Upin dan Ipin tersebut.

Analisa itulah yang membuat kami sadar jika sesungguhnya butuh penanaman nilai-nilai toleransi, pluralism, moral ataupun nilai kebaikan yang harus kita mulai dari sejak kecil (anak-anak). Sebagaimana ketidaksadaran kitalah yang kelak mempengaruhi perilaku kita di saat dewasa nanti. Jika kelak kita mampu membangun budaya toleransi sejak kecil seperti di Upin Ipin mulai di keluarga, lingkungan, sekolah maupun masyarakat maka kelak akan melahirkan masyarakat Indonesia yang menghargai dan mengejawantahkan toleransi sesuai Pancasila.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun