Mohon tunggu...
Alan Budiman
Alan Budiman Mohon Tunggu... profesional -

Pemilik akun ini pindah dan merintis web baru seword.com Semua tulisan terbaru nanti akan diposting di sana. Tidak akan ada postingan baru di akun ini setelah 18 November 2015.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama featured

#NgritikPemerintah: Absurdnya Kereta Api Indonesia

28 Oktober 2015   17:26 Diperbarui: 28 September 2016   10:32 4211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi| Kompas Images/Roderick Adrian Mozes

Semiggu yang lalu saya sempat mondar-mandir dengan KRL Jabodetabek. Hingga pada satu kesempatan, saya termenung lama di stasiun Pasar Minggu, membiarkan 6 kereta lewat begitu saja. Saat itu jam pulang kantor, semua kereta yang lewat sudah penuh sesak dan sebagian besar dalam kondisi jendela terbuka karena AC mati. Saya termenung cukup lama, iya lah 6 kereta, dikira-kira saja berapa lama.

Sejak melihat kondisi kereta pertama, saya sudah berpikir ada yang salah. Bukan soal sesaknya, sebab di Malaysiapun saya biasa berdesak-desakan seperti itu, apalagi saat kereta jenis KTM masih belum diganti, rasanya setiap sore pasti berpeluh. Namun saya yakin bukan masalah itu, ada hal lain yang sangat berbeda dengan KRL Malaysia tapi saya perlu sekian menit untuk menemukannya. Oh iya!

Hal yang paling salah (menurut saya) dari KRL Jabodetabek adalah posisi gerbong wanita yang terletak di ujung depan dan belakang. Sementara di Malaysia gerbong wanita ada di tengah. Alasan paling masuk akal karena depan dan belakang adalah bagian paling beresiko jika terjadi benturan atau kecelakaan, untuk itu gerbong wanita tidak pas kalau diletakkan di ujung. Selain itu, para wanita biasanya tidak begitu cekatan untuk berlari ke ujung kereta, apalagi yang nenek-nenek, saat kereta datang mereka akan menjangkau yang paling dekat: tengah. Setelah menemukan keganjalan tersebut, saya pun buru-buru masuk ke dalam gerbong kereta yang sama sesaknya sejak kereta pertama.

Dampak dari peletakan gerbong di ujung depan dan belakang adalah amburadulnya posisi masuk penumpang. Sehingga jika anda lelaki muda atau bukan lansia, maka 90% kemungkinannya anda akan berdiri. Bagi saya, 100% selama menggunakan KRL selalu berhasil berdiri karena mempersilahkan penumpang lain duduk.

Baik di Indonesia maupun Malaysia, gerbong campur memang tidak melarang penumpang perempuan masuk. Namun yang membedakan adalah porsi di Indonesia jauh lebih besar karena gerbong campur berada di tengah, yang artinya lebih mudah dijangkau. Jadi saat berada di gerbong campur, para penumpang wanita lebih diprioritaskan. Perempuan berusia lebih dari 25 tahun saja kemungkinan bisa duduk dan tidak terganti adalah 70%. Kalau sudah oma-oma atau yang membawa anak, rasanya 99% bisa duduk.

Inilah yang membuat para lelaki atau bapak-bapak muda hampir selalu harus berdiri, membiarkan para penumpang perempuan duduk. Salah? Dalam hal harus rela berdiri tentu saja bukan kesalahan, tapi peletakan gerbong wanita di ujung ada korelasinya dengan kenyataan bahwa semua penumpang lelaki muda hampir pasti harus berdiri. Lalu saat jam sibuk, kesesakan gerbong wanita dan campur nampak cukup jauh berbeda. Sementara di Malaysia, sekalipun kadang lebih renggang gerbong wanita, namun perbedaannya sangat tipis.

Selain soal gerbong, saya perhatikan jumlah penumpang lansia dan perempuan membawa anak di Indonesia jauh lebih banyak ketimbang di Malaysia atau Singapore. Ini menjadi catatan tersendiri apakah dimungkinkan untuk mengkhususkan satu gerbong untuk lansia dan ibu membawa anak? Saya pikir ini lebih efektif ketimbang menyediakan 6 kursi lansia dan ibu hamil di gerbong campur. Meski begitu 6 kursi di tersebut tidak otomatis dihilangkan.

Di luar soal gerbong wanita dan penumpang prioritas, satu hal yang juga menjadi pertanyaan saya adalah, mengapa harus jenis KRL? Mengapa bukan kereta yang lebih besar seperti antar provinsi atau kalau di Malaysia disebut jenis KTM? Saya pikir ini sudah tidak cocok dan harus segera diganti. Kenapa?

Pertama, jarak tempuh KRL Jabodetabek mayoritas adalah stasiun-stasiun yang sangat jauh, jalur di atas 20 atau 50 km. Selain jalur Duri-Tanggerang, semua rangkaian kereta sudah pernah saya coba, melewati semua stasiun dari ujung ke ujung. Jelas saja ini sudah tidak relevan jika menggunakan jenis kereta KRL yang biasanya memiliki jarak tempuh sangat dekat, di bawah 20 km.

Kedua, kapasitas KRL terlalu kecil untuk menampung penumpang sebanyak itu. Ini mirip sejarah KTM Malaysia yang selalu sesak, kemudian pada 2011 lalu diganti dengan kereta baru super panjang yang membuat semua penumpang hampir pasti bisa duduk, sekalipun berdiri dipastikan tidak sampai sesak hingga menempel pintu kereta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun