Mohon tunggu...
Alan Budiman
Alan Budiman Mohon Tunggu... profesional -

Pemilik akun ini pindah dan merintis web baru seword.com Semua tulisan terbaru nanti akan diposting di sana. Tidak akan ada postingan baru di akun ini setelah 18 November 2015.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Nak, Lebaran Tahun Ini Pulang Ya

19 Juni 2015   13:07 Diperbarui: 20 Juni 2015   02:39 835
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Sejak 2001, baru tahun tahun lalu saya bisa merayakan idul adha di rumah. Sisanya saya rayakan di pesantren, kampus dan bahkan di perjalanan. Sementara untuk hari raya idul fitri, saya absen sebanyak 3 kali. Beruntungnya tidak 3 kali berturut-turut seperti Bang Toyyib. Berhubung sudah bulan puasa, saya ingin sedikit cerita tentang keputusan tidak pulang saat idul fitri yang sering kita anggap biasa, ternyata membuat kedua orang tua (terutama ibu) merasakan sesak.

Selama 5 tahun berdomisili di negara tetangga, saya mudik di tahun ke 3 dan 5. Alasan saya tidak pulang adalah karena harga tiket pesawat yang melambung tinggi dan juga jadwal kegiatan serta visa yang tidak bisa dipastikan jauh hari. Dua hal ini sangat membuat saya kesulitan untuk membeli tiket pesawat.

Di tahun ke 3 saya sedikit melakukan gambling. Saya memang punya jatah libur seminggu atau minimal 3 hari sebelum lebaran dan seminggu setelahnya. Tiga bulan sebelum ramadhan tiba saya sudah mengincar tiket pesawat pulang, saat harganya masih murah. Saya mengira-ngira tanggal idul fitri dalam kalender miladiyah, lalu mencari tiket mendekati hari tersebut.

Saya menyebut gambling karena saya membeli tiket sehari sebelum tanggal merah pertama hari raya. Jika hari raya berlangsung di tanggal pertama, maka saya mungkin akan sampai di rumah pada pagi hari, beberapa menit sebelum shalat idul fitri. Dan kalau ada sedikit saja halangan semisal bus mogok atau tidak ada ojek bandara di malam hari raya, maka hampir bisa dipastikan saya shalat ied di Juanda. Jika tanggal merah ke dua, maka saya punya waktu satu hari istirahat dan kalaupun di bandara nanti kesulitan menemukan transportasi (karena penerbangan tengah malam) maka saya masih punya waktu cukup untuk menunggu pagi harinya menuju Madura.

Tapi masalah sebenarnya bukan itu, melainkan visa. Perpanjangan visa selalu memakan waktu lama dan kita tidak pernah bisa memastikan tanggal berapa akan selesai. Jika visa selesai saya pulang, jika tidak tiket yang saya beli hangus. Sesederhana itu.

Beruntung empat hari sebelum hari raya visa sudah selesai. Beruntung juga yang terjadi adalah skenario dua: hari raya dilaksanakan di tanggal ke dua dari angka kalender yang diberi warna merah. Saat tiba di bandara, masih ada banyak ojek dan taksi berkeliaran. Saya memilih taksi menuju terminal.

Sesampai di rumah, orang tua kaget karena saya tidak memberi tahu akan pulang. Ini karena saya pikir ada kemungkinan saya tidak bisa mudik. Saya lebih memilih tidak memberi tahu daripada mengatakan akan pulang namun kenyataanya tidak. Sebab soal visa ini cukup sulit dijelaskan, apalagi via telpon.

Kesimpulan yang ingin saya sampaikan dari cerita di atas adalah alasan kenapa saya tidak bisa (atau mungkin malas) pulang. Karena kadang ada masalah di perpanjangan visa dan harus lebih rajin mengedor pintu kantor pengurus imigrasi, karena untuk menuju rumah dari bandara masih butuh waktu minimal 6 jam perjalanan, karena untuk membeli tiketnyapun harus jauh hari agar harganya masih bisa dijangkau.

Alasan-alasan tersebut membuat saya merasa biasa saja meski tidak pulang. Namun tahun ini saya baru tahu bahwa kehadiran seorang anak begitu istimewa. Bahwa orang tua yang terdengar tangguh, tenang dan biasa saja dengan jawaban "Oh ya sudah gapapa" ternyata hanya pencitraan.

Bulan lalu saya sempat mampir di Bogor, tempat adik kuliah. Dari pertemuan dan obrolan ringan tersebut saya merasa si adik ini tidak akan pulang karena ada program KKN. Kalaupun mau pulang waktunya sangat sebentar dan tentu saja dengan harga tiket bus yang naik dua kali lipat. Sesampai di rumah saya bilang mungkin adik tidak akan pulang.

Beberapa bulan sebelumnya memang bahasan yang pasti dibicarakan adalah mudik, seolah orang tua tidak pernah bosan bertanya apakah bisa pulang atau tidak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun