Mohon tunggu...
Alan Budiman
Alan Budiman Mohon Tunggu... profesional -

Pemilik akun ini pindah dan merintis web baru seword.com Semua tulisan terbaru nanti akan diposting di sana. Tidak akan ada postingan baru di akun ini setelah 18 November 2015.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ahok dan Bahasa 'Preman'

1 Maret 2015   03:46 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:20 536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Konflik antara Ahok dan DPRD cukup menyita perhatian, permasalahan lain seperti KPK vs Polri atau Jokowi vs Abbot dan kasus lainya harus menepi sejenak.

Saya tertarik dengan kelompok yang menyalahkan Ahok karena sikap dan bahasanya dinilai arogan dan tidak sopan. Mereka ini secara tidak langsung mendukung DPRD dan saya simpulkan tidak suka dengan Ahok dengan ragam alasan yang mungkin tidak semuanya disampaikan. Nanti kita bahas hal ini.

Saya pernah bertemu dengan orang-orang dari beda Negara seperti Tiongkok, Kazahkstan, Nigeria, Saudi, Singapore, dan Russia yang sebagian besar adalah teman sekampus. Tentu saja kami berkomunikasi dengan bahasa inggris yang sama-sama dimengerti, kadang dengan teman asal Saudi sesekali menggunakan bahasa Arab karena saya juga merasa lebih ‘santai’ dengan bahasa tersebut.

Tujuan akhir dari adanya bahasa adalah agar manusia bisa berkomunikasi. Kalau lawan bicara kita tidak mengerti, berarti kita gagal berkomunikasi. Pernah seorang dosen menegur salah seorang teman yang terlalu banyak menggunakan bahasa yang tidak familiar, sekalipun sang dosen mengerti maksudnya. Menurutnya, kita berhasil dan bisa dianggap pintar jika apa yang kita sampaikan bisa dimengerti oleh banyak orang. Semakin banyak orang mengerti, semakin pandai kita berkomunikasi. Seorang professor atau kyai tidak bisa berbicara dengan masyarakat awam menggunakan bahasa rumit yang mereka kuasai karena bisa jadi lawan bicaranya atau yang mendengarkan tidak mengerti apa yang disampaikan.

Di Indonesia, orang yang menggunakan bahasa rumit malah diapresiasi. Menggunakan bahasa inggris nampak seksi, meskipun salah-salah dan lawan bicaranya adalah orang-orang yang lebih mengerti menggunakan bahasa Indonesia. Istilah di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung otomatis gugur dalam ‘adat’ yang seperti ini. Berbeda dengan teman-teman yang saya sebut tadi, mereka malah sering berusaha menyapa dengan bahasa Indonesia yang menurut logika saya mereka sedang ingin lebih akrab dan menghargai.

Saat teman-teman ini bertemu dalam suatu kesempatan, terlihatlah logat kami jauh berbeda. Namun tentu saja kami tak pernah mempermasalahkan logat tersebut, bahkan saya sering menggunakan prediksi jika berkomunikasi dengan teman-teman (Tiongkok) yang cara pengucapanya agak berbeda. Contoh sederhananya seperti online yang diucapkan onglain dan seterusnya. Bahkan orang UK dan orang Amerika pun kalau berbicara juga nampak jelas berbeda. Dari sini saya menyimpulkan bahwa perbedaan logat seharusnya tidak perlu disalah-salahkan. Presiden Jokowi yang bahasa inggrisnya medok full sempat ditertawakan oleh masyarakatnya sendiri, masyarakat yang mungkin belum pernah bertemu dengan orang-orang luar negeri dan merujuk benar salahnya bahasa dari film-film bollywood. Andai Mahfud MD yang jadi Presiden, mungkin beliau juga akan ditertawakan (oleh yang mencari-cari kesalahan) karena bahasa Indonesianya masih logat Madura.

Namun sebeda-bedanya logat, kalau mereka marah ya tetap saja marah seperti orang lain. Kalau bahagia bisa dimengerti dari senyum dan tatapan matanya meski belum sempat mengucapkan sesuatu.

Kembali ke Ahok. Beliau datang dengan gaya komunikasi berbeda. Bagi saya, bahasa yang digunakan Ahok adalah bahasa yang sangat ingin didengar atau diucapkan oleh banyak masyarakat yang benci dengan politisi parpol DPR/DPRD yang dipersepsikan sering memanipulasi nominal anggaran. Bego, bajingan, brengsek dan masih banyak lagi ucapan beliau yang dinilai tidak pantas diucapkan sebagai pemimpin. Sekalipun mengaku sudah berusaha untuk tidak menggunakan kata tersebut, pada beberapa kesempatan tetap saja keceplosan. Sama seperti orang Madura atau daerah lain yang kalau terlalu lama berbicara akan muncul juga logat aslinya.

Saat ini DPRD menggunakan hak angket yang lebih condong mempermasalahkan sikap Ahok, ketimbang permasalahan APBD siluman. Padahal inti dari marahnya Ahok adalah anggaran siluman 12 triliun yang sampai sekarang belum ada satupun anggota DPRD yang bisa menjawab permasalahan ini. Malah beberapa menyalahkan SKPD dan mengaku DPRD hanya menyetujui meskipun nominalnya sangat tidak masuk akal.

Lucu sekali melihat ada orang yang menyalahkan Ahok karena sikap arogan dan bahasanya yang preman. Lucu karena secara tidak langsung mereka melupakan (baca: lebih membenarkan) korupsi dan manipulasi anggaran.

Bagi saya, Ahok marah adalah sebuah keharusan atau wajib. Manipulasi anggaran, pejabat nakal dan permasalahan lainya cukup beralasan untuk disebut brengsek. Malah saya yakin ada banyak orang yang ingin mengajak duel oknum dan sikap yang lebih kasar dari Ahok kepada pejabat bermasalah tersebut.

Semakin lucu karena Ahok terlahir dari etnis dan agama minoritas di Indonesia namun menjadi gubernur ibu kota. Sehingga ormas garis keras yang baru muncul di era demokrasi beserta partai yang mengatas namakan partai islam begitu gencar menyalahkan. Seolah masalah utamanya adalah agama, bukan kemajuan Negara. Seakan tak masalah korupsi (karena koruptor mereka dibela dan sampai sekarang tidak merasa bersalah) yang penting seagama. Bahaya sekali. Namun melihat fenomena ini saya jadi bisa maklum kalau media barat sering mengaitkan teroris dengan Islam. Selain karena pelakunya memang mengatasnamakan seruan agama, juga karena di kalangan muslim ternyata ada juga kelompok yang berpikir seperti itu. Lebih mempermasalahkan agamanya dibanding permasalahan yang berlaku. Bukankah adil kalau mereka melihat agama seseorang untuk menilai dan menghakimi? Lucunya menjadi maksimal karena mereka ini juga protes saat islam dikaitkan dengan teroris padahal mereka ‘berprilaku’ sama persis.

Bahasa itu seperti kopi dan cara penyampaianya adalah cangkir. Cangkirnya bisa beda bentuk, beda logat, beda intonasi dan seterusnya. Kadang cangkirnya bagus, tapi kopinya biasa saja dan sebaliknya. Ahok tidak memiliki cangkir yang bagus dan menarik tapi aroma kopinya sangat nikmat sekali dan pas. Sekarang pertanyaanya adalah kita ini mau minum kopi atau melihat cangkir yang terisi kopi? Kalau marahnya Ahok pada manipulator anggaran dianggap tidak sopan, apakah manipulator bisa dibenarkan hanya karena caranya sopan?

Think Again…

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun