Saat ini, banyak sekal informasi bererdar di media massa tentang tragedi kemanusiaan di Rohingya. Ironisnya, tidak sedikit dari informasi yang beredar itu belum tentu kebenarannya. Ada yang sengaja dimunculkan, untuk membuat suasana menjadi tidak kondusif. Bahkan, karena kita tidak tahu kebenarannya, tak jarang dari kita yang ikut menyebarluaskan informasi menyesatkan itu. Akibatnya, informasi menyesatkan itu tetap beredar di dunia maya. Bagi masyarakat yang cerdas, pasti akan melakukan cek dan ricek kebenarannya. Namun jika kita tidak jeli, maka akan menelan mentah-mentah informasi yang belum tentu kebenarannya itu.
Tidak dipungkiri, bantuan dan solidaritas kemanusiaan pasti akan berdatangan ketika melihat ketidakadilan di Rakhine, Myanmar. Amarah pasti tidak akan terkendalikan, setelah melihat ratusan orang meninggal. Semua orang pasti juga akan benci ketika melihat anak-anak, orang tua harus menyeberangi sungai Naf, yang berbatasan antara Bangladesh dan Myanmar. Hal itu dilakukan agar terhindar dari pembantaian pihak militer. Karena banyaknya informasi yang perlu diklarifikasi, semestinya kita berpikir positif dalam melihat krisis kemanusiaan etnis Rohingya ini.
Kebencian dan amarah terhadap Myanmar mungkin tidak bisa dihindarkan. Tapi kita juga harus mewaspadai, jika ada pihak-pihak yang memanfaatkan konflik itu untuk terus mengemas kebencian. Bahkan, ada kekhawatiran kebencian itu sengaja dipelihara agar bertahan di Indonesia. Bahkan, sejumlah ormas sempat akan berunjuk rasa di Candi Borobudur, yang menjadi simbol dari agama Budha. Pertanyaannya, apa yang salah dengan Borobudur? Peninggalan sejarah itu tidak ada hubungannya dengan konflik di Myanmar. Kenapa jadi sasaran amarah?
Kita semestinya harus belajar dari aksi pembakaran tempat ibadah di Tanjung Balai, Sumatera Utara akhir 2016 lalu. Hanya karena terprovokasi sentimen SARA di media sosial, sekelompok orang marah dan melampiaskan amarahnya dengan membakar beberapa tempat ibadah. Hal semacam ini tentu sangat disayangkan. Toleransi yang selama ini sudah terjalin, diciderai oleh kelompok yang menginginkan kondisi tidak kondusif. Kondisi yang penuh konflik inilah yang kemudian akan dimanfaatkan kelompok ini, untuk mengganggu stabilitas negara.
Karena itu mari tetap mengedepankan perdamaian dalam setiap perilaku kita. Mari kita kendalikan amarah yang ada, agar tidak berujung pada tindak kekerasan di dalam negeri. Ingat, jihad yang sesungguhnya adalah mengendalikan hawa nafsu dan amarah dalam diri. Mari kita bersolidaritas secara tulus, dengan tidak menjadikannya sebagai komoditas tertentu. Mari bekali diri dengan berbagai informasi yang valid, pelajari secarah terjadinya konflik di Myanmar yang berdampak pada etnis Rohingya. Dengan informasi yang jelas, akan membuat kita tidak mudah terprovokasi. Dengan informasi yang jelas, akan membuat solidaritas kemanusiaan itu bisa berjalan efektif.
Sekali lagi, aksi solidaritas merupakan keniscayaan. Namun harus dilakukan secara cerdas bukan dengan cara yang nekad. Jika ada sebagian orang yang ingin berjihad dan siap menyerahkan nyawa di Myanmar, sebaiknya dipikir ulang. Ingat, bersolidaritas dengan cara mengedepankan perdamaian juga merupakan bagian dari jihad. Mari kita manfaatkan usia produktif ini, dengan menghasilkan hal-hal inovatif, yang bermanfaat untuk negeri ini.