Mohon tunggu...
Akhmad Mukhlis
Akhmad Mukhlis Mohon Tunggu... Dosen - Gandrung Sepak Bola, Belajar Psikologi

4ic meng-Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Jangan Pernah Bercita-cita Menjadi Pemain Bola

17 November 2016   14:13 Diperbarui: 17 November 2016   14:22 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Diambil dari http://www.ourkids.net

Di suatu kelas di awal masa sekolah, seorang guru ingin berkenalan dengan siswa dan melihat cita-cita setiap siswanya. Bangku pertama, guru merasa puas karena siswa dengan sangat optimis menyebutkan nama, alamat, orangtua (beserta statusnya) serta bercita-cita menjadi seorang dokter. Applaus seketika menggema diawali dengan tepuk tangan semangat dari guru. Pada bangku kedua, tepuk tangan juga diberikan dengan tidak kalah meriah karena sisw.a dengan antusias menyebutkan profilnya dan bercita-cita menjadi seorang astronot –cita-cita yang cukup populer saat itu. Selanjutnya beberapa siswa mendapatkan tepuk tangan bergantian karena mereka menyebutkan cita-cita yang sangat mulia, mulai guru, pengusaha, polisi, pilot tentara sampai presiden.

Sampailah saat dimana guru bertanya pada siswa mungil di bangku pojok, persis di depan meja guru. Sambil menunduk siswa tersebut menjawab dengan suara yang lirih, nama dan alamatnya, pekerjaan orangtuanya yang (hanya) pedagang kaki lima di pasar desa dan semakin pelan suaranya saat dia menyebut cita-citanya menjadi seorang pesepakbola. Sontak suasana hening sejenak, guru memastikan dengan bertanya, “ingin menjadi apa”? Dengan sedikit mengangkat muka, anak tersebut menjawab ‘pemain bola’. Apa yang terjadi sotara? Seisi kelas pecah dengan tawa! Keheningan seperti hanya momen mundur selangkah untuk meloncat tinggi ke nada suara paling keras saat tertawa. Melihat ukuran badan yang mungil dan tidak populernya profesi sepakbola, sang guru memintanya untuk merubah cita-citanya saat itu juga.

Cerita diatas merupakan peristiwa nyata yang dialami penulis saat hari pertama sekolah menengah pertama (SMP) di tahun 1997. Apalah arti sepakbola saat itu, hanya permainan populer untuk menghabiskan waktu di sore hari anak-anak Nusantara, tidak lebih. Sepakbola saat itu belum beranjak dari sekedar permainan, tidak layak dijadikan profesi yang di-cita-kan. Bandingkan dengan dokter, guru, polisi, astronot dan juga presiden, semuanya adalah profesi kerah putih yang nantinya dapat menjamin seseorang hidup mulia di masyarakat. 

Karena memang wajar saat itu liga Indonesia baru terbentuk, siaran langsung di televisi juga belum seperti saat ini, jersey bola belum masuk di pasar tradisional, koran (termasuk majalah dan tabloid bola) belum sampai di perkampungan. Jangan bayangkan ada film komersial berkisah tentang sepakbola, kartun kapten tsubasa saja belum disiarkan.  Bahkan lebih menakutkan lagi sepakbola pada tataran kompetisi era tersebut (baca: tarkam) hanyalah ajang tawuran. Jadi sangat wajar jika guru kemudian “memaksa” saya untuk merevisi cita-cita tersebut.

Bandingkan dengan sekarang, sepakbola begitu populer, Messi dan Ronaldo menjadi bahan pembicaraan, kekayaan pesepakbola bukan lagi rekaan, bahkan Bambang Pamungkas, Cristian Gonzales, Andik Firmansyah bergiliran menjadi bintang iklan. Mungkin menjadi sangat wajar jika anak-anak zaman sekarang menginginkan kelak menjadi idola dengan sepakbola. Pertanyaannya, benarkah cita-cita menjadi pesepakbola relevan sekarang?

Melihat Tristan Alif dan Budaya Gumun

Beberapa minggu kemarin, Tristan Alif dengan bakat yang dianggap ‘paling’ muncul kembali di pemeberitaan dan menjadi viral. Awalnya dengan bangga beberapa media mengabarkan bahwa Tristan sudah di kontrak salah satu klub La Liga, Leganes. Namun kesini, beberapa media dan juga portal berita lainnya (sedikit) menarik ucapan teman-temannya bahwa (pihak) Alif masih dalam tahapan menyelesaikan dokumen-dokumen.

Saya tidak sedang melihat betapa sulitnya memperlihatkan potensi kita ‘hanya’ untuk dilirik pasar (eropa). Saya juga tidak sedang menyelidiki seberapa njelimetnya mengurus dokumen-dokumen kepindahan seorang anak dan keluarganya untuk mendapatkan beasiswa di Eropa. Lebih dari itu, saya hanya ingin kembali mengingatkan, bahwa kita itu terlanjur sering untuk kagum, dalam istilah Jawa gumun. Melihat bakat yang dimiliki saat pertamakali muncul di youtube, semua televisi antri untuk mengundang talk-shaw, semua media tulis meliputnya. Khalayak-pun kemudian berlomba ikut menyebarkan video dan membuat status, ciutan sampai liputan jalanan. Sang bocah kemudian menjadi viral. Konsekuensinya apa?

Sekali lagi ojo nggumunan.Ini masalah cita-cita. Bayangkan jika anda menginginkan sesuatu dan tengah berjalan pada jalan yang menurut anda tepat. Ujuk-ujuknama dan wajah anda terpampang dimana-mana dan anda diundang datang kesana-kemari. Apa yang terjadi sotara? Jelas anda mungkin saja banjir rezeki saat itu, namun apakah anda yakin bisa tetap fokus pada tujuan awal? Itu adalah bayangan kita yang tuwek,la gimana kalau itu menimpa anak kecil macam Tristan Alif Faisal?

Cita-cita membutuhkan segala konsentrasi untuk dicapai. Harusnya kita membantu Alif dan bocah-bocah lain untuk tetap fokus dan mengingatkan orangtuanya bahwa perjuangan masih sangat panjang. Bukan malah ikut selebrasi dan bersorak. Ingat bung, garis finish masih jauh. Kalau kita bersorak sekarang, takutnya anak-anak ini mengalihkan kesadarannya dan menganggap bahwa dirinya sudah sampai di garis finish. Kita ingat juga sebelumnya, banyak segali anak negeri ini ‘gagal’ di tengah jalan. Lihat saja nasib Primavera zaman Kurniawan sampai U-19 dengan kapten Evan Dimas, kurang bakat apa mereka? Mereka semua memang menjadi pesepakbola, tapi dengan jujur harus kita akui bahwa seharusnya mereka bisa lebih. Bukan karena usaha mereka kurang maksimal, tapi terlalu banyak pemandu sorak disamping mereka, diantaranya adalah kita.

Fasilitas Dapur Sepakbola

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun