Mohon tunggu...
Akhmad Mukhlis
Akhmad Mukhlis Mohon Tunggu... Dosen - Gandrung Sepak Bola, Belajar Psikologi

4ic meng-Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Dapur Mental Olahraga II: 4 Faktor Utama Melatih Mental Toughness Atlet

23 Desember 2013   10:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:35 2197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto pribadi diambil di Malang 7 Desember 2013

Sayup-sayup saya dengar kata cemoohan, makian atau apalah semua bahasa tentang kekecewaan mendalam. Goblok, bento, cepaaaat umpan, kejaaaarrr, tembaaaak, dj******k, aaasss****, bangs*****t, aaahhhggg…..!!! Semua kata dikeluarkan dengan nada tinggi, berang, namun sekaligus ada gurat frustrasi. Malam itu, lagi-lagi masyarakat Indonesia kecewa melihat penampilan tim nasional U23 yang hanya bermain imbang tanpa sebiji gol melawan Timor Leste. Tim yang notabene hanya pantas sebagai bagian propinsi kecil negara ini. Padahal sebelumnya tim nasional U23 hanya menang tipis dengan Kamboja dan kalah telah dengan Thailand.

Sekilas bayangan akan ketepatan prediksi berbau guyon seseorang menuju kebenaran. Tepat dua minggu lalu, ketika saya menjadi moderator Seminar  Psikologi Olahraga yang menghadirkan coach Indra Sjafri dan Mental Coach Guntur Cahyo Utomo ada pertanyaan menarik dari peserta dipenghujung acara, seorang peserta dengan antusias menanyakan pandangan Coach Indra tentang peluang Tim Nasional Sea Games yang akan berlaga di Myanmar. Tidak seperti ketika menjawab pertanyaan-pertanyaan sebelumnya, coach Indra membutuhkan waktu sejenak melihat kembali si penanya dan kemudian menjawab dengan nada datar: “Saya kurang tau persiapan yang mereka lakukan. Jika mereka (Timnas Sea Games) tidak melakukan proses dengan baik, sepertinya Indonesia harus bersabar menunggu tim kami (Timnas U19) untuk mendapatkan setiap emas ”.

Statemen tersebut kemudian saya anggap sebagai candaan belaka, ketika Timnas mampu melibas tuan rumah Myanmar. Lebih dari itu, ketika malam jum’at (19-12-13) disamping saya coach (Indra) terlihat ikut berdoa ketika satu-persatu algojo Timnas Sea Games maju untuk mengeksekusi penalti lawan Malaysia. Coach juga terlihat ikut berselebrasi ketika Y.Pahabol memupus harapan Malaysia untuk mempertahankan medali emas.

Namun apa yang terjadi semalam sungguh kembali memaksa saya untuk menganalisa dan membenarkan statement bahwa apakah kita harus bersabar menunggu Timnas U19 untuk meraih emas selanjutnya??? Timnas U23 kembali terpelanting oleh Gajah Putih Thailand. Ekspektasi berlebih pada tim ini sebelumnya menyebabkan sebagian besar masyarakat kecewa. Maklum masyarakat berharap mereka mampu seperti adik angkatannya (Timnas U19) yang sebelumnya dengan gemilang memberikan kebanggaan dengan secara berturut-turut juara di Hongkong dan AFF U19.

Jangan lupa pula, ekspektasi berlebih pula yang mungkin sangat menambahi beban mental anak asuh Rahmad Darmawan!

Belajar dari Coach Indra Dan Coach Guntur

Secara pribadi, saya sendiri melihat beberapa pertandingan tim nasinal U23 dalam Sea Games kali ini dengan pandangan dan harapan datar saja. Sebagai bagian bangsa, saya tetap berdoa, namun tidak begitu berharap akan hasil emas di akhir gelaran. Harapan saya terbentuk ketika dalam sebulan terakhir kebetulan saya sering mendapatkan kesempatan berbintang dengan tim pelatih Timnas U19 di Batu. Saya termasuk beruntung mengingat teman saya Guntur Cahyo Utomo menjadi mental Coach Timnas U19. Bagi saya ngobrol ringan tersebut menjadi sebuah pencerahan sekaligus modal untuk tidak terlalu berharap pada tim manapun yang tidak melalui proses cukup menuju juara.

“Sepakbola (terutama pada tataran usia muda) seharusnya tidak berbicara tentang juara, tapi proses menuju juara” kurang lebih begitu ujar coach Indra sambil minum wedang jahe hangat waktu itu. Ungkapan tersebut jelas bukan ungkapan sembarangan, disana ada falsafah. Bahwa usia muda adalah waktu dimana anak seharusnya ditunjukkan pada hal-hal untuk melewati setiap tahapan dengan optimal, bukan melulu tentang hasil sebagai gemerlap juara. Ada bonus, kontrak mahal dan juga tawaran menjadi selebriti dadakan sebagai ekor juara. Tim nasional harus dibentuk bukan hanya dengan fisik dan skill yang mumpuni, namun juga dengan kemapanan falsafah.  “Kemapanan falsafah inilah yang kemudian menjadi fondasi mental dan visi bermain sebagai suatu tim” tambah mental coach Guntur.

Sekarang kita lihat, apa yang kurang dengan tim nasional U23. Siapa yang meragukan Kurnia Meiga, Bayu Gatra, Alfin Tuassalamoni, Rizki Pellu, Andik Vermansyah, Ramdani Lestaluhu, Yohanes Pahabol, dan lainnya. Kesemuanya adalah talenta hebat yang bahkan diakui sampai level internasional. Namun mengapa mereka seolah bermain tanpa visi. Skill hebat hanya mereka gunakan untuk diri mereka sendiri. Memang satu atau dua lawan dapat terlewati, namun sampai pada lawan ketiga mereka kehilangan bola, atau mereka memilih mengumpan dengan terpaksa. Umpan yang seharunya merusak konsentrasi musuh, ini berbalik dan justru merusak konsentrasi teman mereka sendiri. Strategi-pun tidak akan optimal dalam kondisi tersebut. Hal tersebut menunjukkan betapa mereka belum bersatu dalam sebuah tim. Mereka melupakan bahwa sepakbola adalah permainan tim, bukan main catur. Ini adalah masalah mental, tentang pengetahuan dan pengambilan keputusan yang tepat dan tepat.

Olahraga merupakan integrasi beberapa aspek yang harus dilewati dengan proses yang tepat, salah satunya adalah aspek mental. Seperti halnya fisik, mental juga membutuhkan beberapa proses latihan untuk menjadi tangguh. Mental seorang pemain sangat ditentukan beberapa aspek dan juga bergantung konteksnya.

Faktor Ketangguhan Mental

Studi selama berpuluh-puluh tahun menunjukkan bahwa latihan mental pada atlet bukan hanya berfungsi untuk mencapai keberhasilan (prestasi) namun juga sekaligus penting bagi kesejahteraan pribadi(personal well-being) mereka (Meyers, Whelan, & Murphy, 1996; Lidor & Henschen, 2003; Andersen, 2005; Morris, Spittle, & Watt, 2005; S. Murphy, 2005; Vealey, 2005).Sekurang-kurangnya minimal terdapat empat faktor penting yang harus dikembangkan guna melatih mental seorang atlet, yaitu ketrampilan dasar (foundation Skill), ketrampilan penampilan (performance skill), ketrampilan pengembangan diri (personal development skill), dan ketrampilan tim (team skill).

4 Aspek Mental Foundation Skill

Ketrampilan dasar (foundation skill) merupakan sumber daya intrapersonal yang menjadi pondasi mental pertama atlet. Sumber daya intrapersonal ini terdiri dari beberapa aspek, yaitu dorongan untuk berprestasi (achievement drive), kesadaran diri (self-awareness), pola pikir produktif (productive thinking), dan kepercayaan diri (self-confidence).

Dorongan untuk berprestasi (achievement drive) merupakan aspek terpenting bagi semua atlet. Dorongan ini berupa keyakinan dan keinginan kuat untuk menerapkan aturan dan ketekunan pada diri demi sebuah prestasi. Adanya dorongan semacam ini membuat seorang atlet memeiliki modal untuk tetap bangkit ketika bertemu dengan sebuah halangan dalam karirnya. Terdapat banyak hal untuk menstimulasi dan memupuk elemen ini, diantaranya adalah faktor orang terdekat (keluarga) dan juga faktor kebanggaan sebagai anak bangsa (nasionalisme). Secara psikologis intervensi tentu sangat memperhatikan konteks setiap atlet. Latar belakang keluarga secara detil harusnya dimiliki seorang mental coach. Seperti membangkitkan achievement drive pada atlet dengan latar belakang keluarga mapan secara ekonomi jelas berbeda dengan mereka yang dari kalangan keluarga sederhana.

Aspek kedua foundation skill adalah kesadaran diri (self-awareness). Self-awareness merupakan kemampuan yang melibatkan instrospeksi dan retrospeksi untuk memahami setiap pikiran, perasaan dan perilaku. Atlet sukses adalah mereka yang memiliki kemampuan secara jujur dalam menilai diri mereka sendiri (self-appraisal). Kematangan dalam memonitor perilaku dan mengevaluasinya adalah petanda bahwa seorang atlet mampu mengendalikan dirinya. Sebagai contoh kecil, seorang atlet professional seharusnya memiliki jadwal kegiatan setiap minggunya. Dari jadwal tersebut kemudian menghasilkan catatan evaluasi pribadi tentang apa saja yang dikemudian hari harus ditambah porsinya dan pa saja yang harus dihindari. Mulai dari porsi latihan, makanan, berkumpul dengan keluarga, keluar bareng teman dan lain sebagainya.

Productive thinking merupakan aspek ketiga dalam latihan mental foundation skill. Berpikir produktif adalah kemampuan untuk mengelola pikiran untuk mengefektifkan persiapan dan menghadapi peristiwa kehidupan untuk mencapai kesuksesan dan kesejahteraan pribadi. Penelitian menunjukkan bahwa atlet yang sukses berfikir lebih produktif daripada atlet yang lain (Eklund, 1996; Gould, Dieffenbach, et al., 2002). Mereka mampu memfokuskan pikirannya pada hal-hal yang dianggap relevan dalam mendukung perkembangan karir mereka. Penelitian McPherson (2000) meneliti atlet tenis professional dan amatir dengan menggunakan dua pertanyaan inti, yaitu ”apa yang kamu pikirkan pada saat itu?” dan “apa yang kamu pikirkan sekarang?” Terdapat perbedaan jawaban yang mendasar antara atlet pro dan amatir, terutama bahwa atlet pro selalu melibatkan orientasi tugas, persiapan, strategi yang direncanakan, hambatan dan pemecahan masalahnya serta fokus pada kompetensi dan kepercayaan dirinya. Sedangkan pada atlet amatir lebih menekankan pikirannya pada hal-hal emosional dan frustrasi, seperti tidak suka pada menu latihan, makanan, tempat dan lainnya. Pada intinya, atlet  hebat mampu memperagakan pola atribusi adaptif untuk menjelaskan kesuksesan dan kegagalan penampilannya.

Aspek terakhir dalam latihan mental foundation skill adalah self-confidence. Kepercayaan diri merupakan kepercayaan atlet terhadap sumber daya pribadi, khususnya kemampuan untuk mencapai sukses. Atlet elit kelas internasional selalu memiliki kemampuan untuk kembali bangkit (resilience), kepercayaan diri dan keyakinan tak tergoyahkan (DeFrancesco & Burke, 1997; Durand-Bush & Salmela, 2002; Kitsantas & Zimmerman, 2002). Artinya kepercayaan diri yang konsisten merupakan kunci keterampilan menuju mental tangguh (mental toughness).

Kuncinya: Kerjasama Atlet dan Pelatih

Diantara keempat aspek dasar dalam pelatihan keterampilan dasar mental, kesemuanya membutuhkan kerjasama antara atlet dan juga pelatih (tim). Itulah mengapa dalam dunia olahraga modern membutuhkan integrasi berbagai keilmuan. Dalam konteks mental atlet membutuhkan bimbingan dan kerjasama pelatih khusus mental. Bagaimana melakukan manage dalam berbagai faktor mental adalah tugas utama pelatih mental. Kapan dorongan untuk berprestasi, berfikir produktif, kesadaran diri dan kepercayaan diri diperlukan dan bagaimana mengarahkannya agar tidak over diperlukan keterbukaan dari atlet. Disisi lain, pelatih mental dituntut untuk membuat program yang sistematis serta analisa yang tajam sebagai bekal bertanding atletnya. Karena tidak jarang, kegagalan justru berasar dari terlalu tingginya salah satu aspek keterampilan dasar mental tersebut, seperti kejutan yang kerap terjadi dalam sepakbola. Tim bertabur bintang dengan tingkat kepercayaan diri yang terlalu tinggi dapat dikalahkan oleh tim semenjana.

Kemudian saya kembali bertanya, apakah semua tim nasional kita secara sistematis telah menerapkan latihan mental layaknya tim nasional U19?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun