Mohon tunggu...
Akhmad Mukhlis
Akhmad Mukhlis Mohon Tunggu... Dosen - Gandrung Sepak Bola, Belajar Psikologi

4ic meng-Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Asmara Data antara Aku dan XL Axiata

10 Agustus 2017   08:22 Diperbarui: 14 September 2017   13:27 860
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Secara geografis dan sosiologis merasa menjadi bagian warga kota namun secara administratif masuk kabupaten merupakan sebuah kenyataan pahit bagi warga, termasuk saya. Konteks saya berbicara adalah terkait akses dan layanan publik, bukan masalah yang lain. Saya tinggal di Desa Landungsari, sebuah desa yang secara sosiologis masuk area perkotaan di Malang. 

Kenapa saya bisa katakan begitu, karena di Landungsari terdapat terminal yang menghubungkan Kota Malang dengan daerah Jombang, Kediri dan sekitarnya. Selain itu di Landungsari juga terdapat kampus besar Universitas Muhammadiyah Malang, begitu juga sangat dekat dengan kampus-kampus lain seperti Unisma, UIN Malang, Universitas Brawijaya dan juga Universitas Negeri Malang. Saking dekatnya, hampir tiap rumah yang memiliki kamar berlebih hampir bisa dipastikan akan digunakan untuk sewa kos-kosan.

Kenyataan kadang tidak seindah apa yang terlihat. Memang begitu. Melihat letak dan kehidupannya seperti di atas, seseorang yang baru datang di Malang dapat dipastikan akan menyangka Landungsari merupakan bagian Kotamadya Malang. Namun apa dikata, secara administratif, Landungsari merupakan sebuah desa yang berada persis dalam perbatasan Kota dan Kabupaten. Apakah masih relevan untuk berbicara desa (kabupaten) dan kota hari ini? Menurut saya, untuk beberapa hal saya merasakan terdapat perbedaan.

Saya tidak mau menyinggung tentang ribetnya urusan administratif kependudukan apabila kita tercatat sebagai warga sebuah kabupaten. Bayangkan saja, saat saya masih "ngontrak" di wilayah Kotamadya, untuk mengurus semacam Kartu Keluarga atau Kartu Tanda Penduduk kita hanya membutuhkan waktu tidak lebih dari seminggu. Sekarang, setelah saya pindahan rumah di daerah Kabupaten, KK dan KTP saya belum ada kabar. Padahal sudah saya sejak bulan maret saya mengurusnya. Entahlah, nasib orang kabupaten. Lo...kan kok saya malah jadi ngomongin KTP dan KK. Kan itu sekarang masuk isyu level nasional dengan yang diperankan KPK Vs DPR.

Okelah kita fokus untuk perbedaan orang desa dan kota pada konteks yang lain. Sudah saya katakan di atas, bahwa rumah saya seolah terletak di daerah kotamadya, namun saya dipaksa tersadar bahwasannya saya bukanlah orang kota. Cerita begini, setelah pindahan rumah, saya menghubungi provider internet(PI) untuk memindahkan jaringan internet dan tv kabel. Tapi jawabannya sungguh tidak dapaat dipercaya: "mohon maaf bapak, setelah kami cek, ternyata jaringan kami di daerah bapak telah penuh dan belum ada rencana untuk penambahan di daerah Kabupaten" oooooh noooo!!!

Oia saya lupa cerita, bahwa kebetulan istri saya memiliki usaha berbasis onlineyang sedang berkembang pesat. Sebagai usaha berbasis onlinemodal utama kami adalah signal, kuota data internet, lebih-lebih jaringan wifi. Istri memiliki 6 karyawan yang kesemuanya mengoperasikan smartphone. Beserta saya dan istri, keseluruhan di rumah terdapat 8 smartphone, itulah mengapa jaringan wifi rumah sangat-sangat kami butuhkan. Bayangkan saja jika kesemua kami langgankan paket data, bisa bikin stress kan?

Tau bahwa kami tidak akan mendapat guyuran wifi secara unlimited lagi, segera saya melanglang buana ke semua PI untuk mencari suaka signal dan guyuran kuota data. Dari sinilah cerita hubungan asmara antara kami (saya, istri dan usahanya) dan XL bersemi. Saya menyebutnya Asmaradata XL Axiata.

Asmaradata ini tidak bisa dikatakan berjalan mulus. Ceritanya, setelah hubungan asmara kami dengan PI terbesar Indonesia dengan viber optickandas, kami mulai menjajaki hubungan asmaradata baru. Pengennya kami mencari pasangan yang sepadan dengan si speed,makanya kami tujukan lamaran ke beberapa PI lain. Di mulai kepada operator yang menggelar lapak-lapaknya di pinggir jalan. Melihat brandnya, saya paham bahwa operator ini merupakan milik seseorang yang memiliki banyak televisi yang penuh dengan hymne partai yang baru mau ikutan pemilu tahun 2019. Saking seringnya, anak-anak pengurus partai lain-pun banyak yang hapal lagu partai satu ini. Tapi jawaban mereka sungguh menyedihkan hati kami. Setelah mendapatkan pelayanan syuuper, kami diminta menunggu barang sejenak untuk cecking coverage area.

Saat petugas mulai membuka percakapan lagi dengan kami, saat itu kami merasa seperti seorang jomblo akut yang menunggu jawaban gebetan baru di akhir tahun. Harapan kami jelas diterima dan dapat kencan di malam tahun baru. Tapi kemudian CS mengatakan: "mohon maaf bapak, untuk area bapak masuk Kabupaten dan kebetulan belum tercoverlayanan kami. Kalau tidak keberatan kami meminta nomor telepon bapak yang bisa dihubungi agar sewaktu-waktu kami dapat berikan info jika area bapak sudah masuk coveragekami". Dalam hati saya hanya bergumam, "namanya nomor telepon ya pasti bisa dihubungi mbak, kalau gak bisa namanya bukan nomor telepon lagi" hee syuuuedih.

Hari berikutnya kami terus bergerilya, modal kami adalah mencari siapa saja providerinternet yang bisa diajak pdkt dan jadian hari itu juga. Mulai dari satumedia, Busnet, dan Your Republic. Kesemuanya memberikan jawaban yang kurang lebih hampir sama dengan sebelumnya. Rasanya seperti nembak teman akrab kita sewaktu kecil dan mendapatkan jawaban, "kita temenan aja ya". Syaaakiiit kan? Akhirnya, kerinduan akan kisah cinta dengan providerbaru gagal terwujud hari itu.

Malamnya istri panik luar biasa, masalahnya besok dia sudah kadung janji dengan customernya untuk membuka lapaknya. Sedangkan kita tidak memiliki jaringan internet di lokasi rumah baru. Namanya juga orang kepepet, tidak ada rotan akarpun jadi. Malam itu juga kita terpaksa mendatangi kios-kios pulsa. Kami berburu kartu perdana dengan harga yang barang tentu paling menjanjikan. Di luar dugaan, ternyata semua operator memiliki promo yang berbeda secara kasat mata, tapi kalau kita teliti intinya samaa saja. Sekali lagi kami panik dan mencoba meminimalisir resiko. Kami borong 6 kartu perdana dari 4 operator berbeda. Tau bahwa tindakan tersebut mengandung resiko, kami bersiap saja dengan resiko di kemudian waktu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun