Mohon tunggu...
Ajinatha
Ajinatha Mohon Tunggu... Freelancer - Professional

Nothing

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Kritik Cerdas dan Mantan Narapidana

6 September 2018   15:10 Diperbarui: 7 September 2018   05:17 1689
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto : Qureta

Mempunyai sikap kritis itu bagus, karena itu adalah bentuk dari kepekaan sosial yang tidak dimiliki oleh setiap orang. Namun yang terpenting dari setiap apa yang dikritisi, dipahami terlebih dulu persoalannya, supaya kritik tersebut tidak mubazir. 

Kritik yang tepat kesasarannya akan efektif, akan menjadi perhatian, tapi jika kritik tersebut tidak tepat sasaran, yang mengkritik akan seperti orang Onani, sibuk sendiri dan puas sendiri.

Ketika mengkritik sebuah kebijakan yang tidak sesuai dalam aplikasinya, yang Pertama Kita Cari tahu adalah, apakah kebijakan tersebut sesuai dengan konstitusi yang Ada, kalau sesuai konstitusi namun tidak bagus secara aplikasinya, perlu dipertanyakan apa yang mendasari Undang-undang yang menyangkut kebijakan tersebut disetujui, siapa yang menyetujui Undang-undang tersebut diperlakukan.

Ada proses untuk menggagalkan Undang-undang tersebut diperlakukan, ketika Undang-undang tersebut masih dalam tahap rancangan, dalam tahap inilah yang wajib dikritisi, jangan setelah Undang-undang diperlakukan baru sibuk mengkritisi. Inilah bentuk kritik yang tidak tepat. Bisa saja Undang-undang tersebut direvisi lewat uji materi, tapi apakah setiap Undang-undang harus disikapi seperti itu.

Masyarakat yang kritis adalah masyarakat yang aktif dalam mengawasi penyelenggaraan negara, sikap kritis itu bukanlah cuma kelatahan, ikut-ikutan kritis tapi tidak mengerti persoalan, sok kritis tapi tidak faham apa yang dikritisi, yang seperti ini akhirnya cuma menjadi ketololan yang kritis. 

Sebagai illustrasi, saya akan sampaikan contoh soal aturan Mantan Napi boleh ikut Pilkada, dan sekarang menjadi kehebohan, karena ada mantan Napi yang terpilih sebagai Kepala Daerah.

Secara konstitusional memang memperbolehkan seorang mantan Napi menjadi kepala daerah, terus salahnya di mana? Karena acuan Pemerintah dalam penyelenggaraan negara adalah konstitusi selama tidak melanggar maka aturan tersebut diperbolehkan. 

Padahal secara moral, memang tidak patut seseorang yang memiliki rekam jejak sebagai Mantan narapidana menjadi Kepala Daerah, karena seorang kepala daerah itu harus memiliki moralitas yang baik, bukan cacat secara moral.

Yang menjadi persoalan, kenapa Undang-undang yang menyangkut persyaratan menjadi Kepala Daerah ini bisa disetujui, siapa yang menyetujui, dan siapa yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan Undang-undang tersebut. 

Sebagai masyarakat kenapa tidak mengkritisi Rancangan Undang-undang tersebut sebelum disyahkan. Disinilah peran masyarakat seharusnya, bukan Setelah Undang-undang tersebut diterapkan, mengkritik secara membabi-buta tapi tidak mengerti tanggung jawabnya sendiri sebagai masyarakat.

Contoh soal yang lain adalah, mantan Napi tidak boleh menjadi calon Legislatif. Ini yang pernah dipersoalkan KPU, yang kebetulan direspon secara kritis oleh masyarakat dengan mengeluarkan petisi. Akhirnya diputuskan bahwa Mantan Napi tidak boleh mencalonkan diri sebagai Anggota Legislatif. Jadi tidak Ada lagi alasan seorang mantan Napi boleh menjadi anggota Legislatif, semoga saja rancangan Undang-undang ini pun sudah disetujui dan bisa diterapkan pada Pemilu 2019.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun