Mohon tunggu...
Ajeng Leodita Anggarani
Ajeng Leodita Anggarani Mohon Tunggu... Administrasi - Mamanya Toby & Orlee

Pekerja yang nggak punya kerjaan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Arti Sebuah Kasih Sayang

3 Desember 2012   20:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:14 584
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13545659961710800837

[caption id="attachment_212655" align="aligncenter" width="400" caption="http://www.google.co.id/imgres?imgurl=http://4.bp.blogspot.com/_t2SnpTG594E/THXt707NvHI/AAAAAAAAAfI/PVqtXein-2U/s1600/bengun_2.jpeg&imgrefurl"][/caption]

“Anak durhaka, biadab kamu!!!”

Berulang kali Maryani mencerca anak gadisnya yang kini tengah hamil dua bulan karena pergaulan bebas. Maryani malu, sudah miskin, ditambah lagi dengan aib yang harus dinikmatinya seumur hidup. Sejak suaminya meninggal dunia, Maryani seorang diri menghidupi Aini . Sudah sejak lama Maryani meninggalkan Tuhan. Maryani tak bisa menerima kenyataan saat suaminya di PHK lalu meninggal dunia karena bunuh diri. Maryani merasa Tuhan tak adil padanya, pada keluarganya. Sejak itulah Maryani menjadi sosok ibu yang menyeramkan bagi anak – anaknya.

Aini mendekam di kamar sejak ia tahu bahwa kini dirinya berbadan dua. Ia begitu menyesali perbuatannya. Ucapan mohon ampun tak di dengar ibunya. Justru makian dan hinaan selalu tertuju penuh nafsu padanya. Aini sama sekali tak menginginkan kehamilan ini, apalagi hinaan sang ibu, tapi apa boleh buat? Tepung sudah jadi donat. Hendra, ayah dari si jabang bayi dalam kandungannya pergi meninggalkannya tanpa kata dan biaya. Tinggalah Aini dengan ancaman masa depan yang hitam legam.

*666*

“Heh lonte, bangun lo! Orang bunting jangan males. Ini jam berapa???”

Kicauan Maryani mengejutkan Aini yang baru beberapa jam saja bisa mengistirahatkan sepasang mata sembabnya.

“Iya bu..” Jawab Aini lemah.

“Mandi sono, eneg gue liat orang bunting dekil kaya loe.”

Aryani tak menjawab, ia langsung melangkahkan kaki menuju kamar mandi.

Sreett gubrakkkkkkk..”

“Ibuuuuuuuuuuuuuuuu!!!” Suara Aini begitu kencang dari arah belakang.

Maryani berlari kearah kamar mandi.

“Ainiiiiii..!”

Maryani panik, Aini sudah dalam posisi duduk di lantai kamar mandi yang masih beralaskan semen itu. Maryani membopong putrinya kembali ke kamar, lalu meninggalkannya sendirian.

Aini merasakan perutnya sakit. ia hanya terdiam. Tak ingin mengadu pada sang ibu. Lebih baik menahan sakit ini daripada mendengar caci maki. Aini mengambil minyak angin yang ada di meja sebelah kasurnya. Mengolesi bagian perutnya sambil memijat lembut. Tanpa sadar Aini bicara sendiri ,” Dedek, maafin bunda ya kalau tadi sudah jatuh dan bikin dedek kaget. Jangan marah sama bunda ya nak. Dua bulan lagi kamu lahir nak, bunda ngga sabar lihat kamu. Bunda sayang sama dedek.”

Aini merebahkan kepalanya, perlahan rasa sakit itupun hilang. Aini memejamkan mata sembari melafalkan sebuah doa.

“Ya Allah, jaga ibu. Ampuni dia jika kerap berkata kasar padaku. Aku menyayangi ibu lebih dari diriku sendiri. Jaga ibu ya Allah, beri dia kesehatan agar dia bisa menemaniku membesarkan buah hatiku nanti. Amin”

Aini memejamkan matanya, walaupun masih belum bisa tertidur lelap. Aini sadar ada seseorang masuk ke dalam kamarnya, duduk di samping pembaringannya, mengelus dahinya, lalu menciumnya lembut. Dari langkah kakinya Aini tahu itu ibu. Aini sengaja tak membuka mata. Aini ingin tahu apa yang hendak dilakukan ibunya.

“Aini, maafkan ibu ya. sesungguhnya ibu sayang sama kamu. Hanya saja ibu malu pada tetangga dengan aib ini dan ibu mau kau menyadari kesalahanmu.”

Tak lama kemudian Maryani kembali mencium kening Aini lalu meninggalkan putrinya seorang diri di kamar.

Air mata Aini berlinang. Sudah lama ia tak merasakan kelembutan seperti tadi. Setelah itu ia pun baru bisa tertidur pulas.

*666*

Di sore yang mendung, Aini merasakan kandungannya begitu sakit luar biasa.

“Ibuuuuuuuuu..” teriak Aini dari dalam kamar.

Namun tak ada jawaban dari Maryani.

“Ibuuuuuuuuuuuuuuuu!!!” teriak Aini lagi.

Lagi – lagi Maryani tak menjawab.

Aini mencoba berjalan walau ia harus terjatuh berulang kali. Air ketuban Aini pecah, membasahi daster panjang milik ibu yang ia pakai.

Aini masuk ke kamar ibunya, ia berusaha membangunkannya. Namun betapa terkejutnya Aini saat tangan tua itu sudah dingin dan wajah Maryani sudah membiru.

“Ibuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu!!! Bangun bu,, bangun ibuuuuuu. Ain sama siapa bu. Bu, jangan tinggalin Ain bu,,, perut Ain sakit bu. Ibuuuuuu cucu ibu mau ketemu neneknya bu, ibuuuuuuuuuuu jangan tinggalin Ain sendirian bu…”

Suara tangisan yang begitu histeris membuat tetangga yang tadinya mencemooh mereka berdatangan. Mereka terkejut dengan kondisi yang mereka lihat.

Beberapa orang membawa Aini ke rumah sakit, dan sisanya membantu mengurus jenazah Maryani.

*666*

Dua puluh tahun kemudian ..

Gadis cantik hitam manis itu diberinya nama Bintang. Ia tumbuh dengan kasih sayang penuh dari Aini. Kehadiran Bintang membuat Aini menjadi wanita yang semakin kuat dan tegar. Sejak Bintang berusia 17 tahun, perlahan – lahan Aini menceritakan kisah di masa lalunya pada sang buah hati. Terkadang Bintang menangis mendengarnya, terkadang iba pada sang bunda. Bukan maksud Aini ingin memainkan emosi Bintang, Aini hanya ingin Bintang tahu bahwa apa yang dilakukan orangtuanya di masa lampau itu salah, dan ia tak mau terulang pada sang buah hati.

Tuhan juga mengubah hidup Aini. Hendra, ayah biologis Bintang datang dan mengatakan ingin menebus dosa – dosanya. Aini tak pernah membenci Hendra, walau bagaimanapun Bintang adalah buah cinta mereka. Kesalahan dimasa lalu tak perlu menjadi benalu yang selalu hinggap dan menyusahkan, cukuplah hanya menjadi pelajaran. Hendra pun sudah menjadi amat sangat matang. Ia menikahi Aini dengan sah di mata agama dan Negara.

Mereka hidup bahagia bertiga di rumah impian mereka di sebuah kota kecil di pulau Jawa.

*666*

“Saya nikahkan dan kawinkan Bintang Halisa binti Hendra Mangun dengan mas kawin yang tersebut..tunai”

“Sah??”

“Sah!!!”

“Alhamdulillah.”

Di sebuah gedung sederhana yang di tata secantik pengantinnya semua ikut bahagia. Bintang sudah menikah dengan seorang pria bernama Efendi.

Aini berurai airmata. Ia mengucapkan dalam hati,”Bu, Alhamdulillah aku bisa menjaga Bintang agar tidak sepertiku. Aku menjaganya dengan penuh kasih sayang. Hingga dia memahami apa yang boleh dan tak boleh dilakukan. Aku tahu ibu melihat kami dari Surga. Terimakasih bu untuk doa ibu buat kami. Kami merindukan ibu.”

“Bunda??” Bintang memanggil Aini.

Aini memeluk Bintang erat.

“Selamat ya nak, bunda ikut bahagia. Apa gelarmu di undangan ya nak? bunda lupa.”

“S.E. bun, masa lupa sih?” Aini merajuk manja.

“Alhamdulillah bukan “MBA”..” Jawab Aini diiringi tawa Hendra, Efendi dan keluarga yang lain.

“Nak, bunda punya satu kata yang selalu bunda simpan dan memang ini saatnya bunda katakan. Walaupun sempat bunda berfikir bahwa masa depan bunda gelap, kelam, hitam. Tapi bunda masih ingat bahwa bunda punya satu bintang dalam perut bunda yang akan menjadi penerang hidup bunda di kemudian hari. Dan kamu sudah menjadikannya nyata sayang.”

“Bunda, saat aku masih di dalam kandungan bunda, aku merasakan begitu nyaman. Saat aku mencoba menyentuh jantung bunda disitu aku merasakan nafasku juga, saat aku melirik ke hati bunda oh begitu terang dan penuh cinta, aku bicara pada ari –ariku “Apakah ini Surga?” dan dia tersenyum sambil berkata iya”.

*Sebuah Kasih Akan Menghadirkan Keindahan Pada Akhirnya*

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun