Mohon tunggu...
Aisya Sabilla
Aisya Sabilla Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Akibat Kekekerasan Verbal

27 April 2017   13:26 Diperbarui: 27 April 2017   22:00 1114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kekerasan adalah suatu hal yang timbul akibat adanya kekuasaan koersif (paksaan). Kekuasaan yang dilakukan secara koersif secara paksa akan melahirkan kekerasan, dengan demikian kekerasan adalah bentuk perwujudan dari kekuasaan yang bersifat koersif. Kekerasan sendiri terdapat 2 (dua) jenis yaitu kekerasan fisik dan kekerasan simbolik. Yang dimaksud dengan kekerasan fisik seperti penganiyaan, pemerkosaan, penembakan, pengeroyokan, pembunuhan, pembakaran, pembantaian, dan sebagainya. Sedangkan kekerasan simbolik sendiri terdapat 2 (dua) jenis yaitu, pertama kekerasan simbolik nonverbal seperti melakukan demontstrasi dengan disertai aksi pembakaran seorang tokoh, pembakaran bendera kenegaraan, dan sebagainya, kedua kekerasan simbolik verbal, kekerasan ini dilakukan dengan bahasa, kata-kata, kalimat yang mengandung serangan kepada orang lain.

Kekerasan simbolik verbal terwujud dalam tindak tutur (perkataan) yang dapat dikatakan sebagai salah satu tindakan kekerasan. Tindak kekerasan verbal dapat berbentuk seperti nada bicara yang tinggi, kalimat yang mengandung kata-kata yang mempunyai makna menyakitkan hati orang lain. Kekerasan simbolik verbal juga merupakan wujud dari pelampiasan emosi seseorang terhadap hal-hal tertentu misalnya marah. Contoh kekerasan simbolik verbal yakni, seorang atasan yang memarahi bawahannya dengan kalimat yang tak pantas, majikan yang memarahi pekerjanya dengan kata-kata kasar, orang tua yang membentak anaknya, dosen yang meremehkan mahasiswaya dengan kalimat merendahkan, suatu kelompok merendahkan kelompok lain dengan kalimat yang tak pantas dan kata-kata kasar dan masih banyak lagi.

Kekerasan simbolik verbal (tindak tutur kekerasan) terbagi menjadi empat macam. Pertama,tindak tutur kekerasan langsung yaitu tindak tutur yang langsung ditujukan atau terjadi pada korban saat komunikasi sedang berlangsung seperti membentak, memaki, menghina, meremehkan, dan sebagainya. Kedua,tindak tutur kekerasan rerpresif merupakan tindak tutur yang bertujuan mengitimidasi atau menekan korban misalnya memaksa, memerintah, mengancam, meneror, memprovokasi, dan sebagainya. Ketiga, tindak tutur kekerasan alienatif adalah tindak tutur yang mempunyai tujuan menjauhkan, mengucilkan, mengasinkan bahkan melenyapkan korban dari komunitas atau kelompoknya contohnya mendiamkan, mengusir, mendiskreditkan, mempermalukan dan lain-lain. Keempat,tindak tutur kekerasan tidak langsung yaitu seperti mentigmatisasi, diskriminasi, penstereotipan, dan masih banyak lagi.

Kekerasan simbolik verbal memiliki pengaruh atau dampak yang sangat kuat (besar) terhadap korbannya. Kekerasan verbal memang tidak berdampak pada kerusakan fisik, namun berdampak langsung pada kerusakan mental, jiwa sang korban. Kekerasan verbal bisa mengakibatkan jiwa atau mental korban menjadi tidak stabil. Pasca mendapat kekerasan verbal korban bisa menjadi merasa frustasi, takut, depresi, gila, stress, minder, dendam, dan hal buruk lainnya. Namun berbeda dengan korban, pelaku kekerasan verbal setelah melakukan tindakannya akan merasa lega karena sudah meluapkan (mengekepresikan) emosinya tersebut. Selain berdampak pada jiwa (mental) kekerasan verbal juga menyebabkan terjadinya cekcok, pertengkaran, konflik, hubungan yang awalnya erat (dekat) menjadi renggang (jauh).

Kekerasan verbal umumnya terjadi pada kelompok yang tidak dominan. Contoh kasus kekerasan verbal yang pertama yaitu kekerasan verbal orang tua kepada anaknya. Hal ini sangat dekat dalam kehidupan kita sehari-hari. Kekerasan verbal yang dilakukan orang tua terhadap anak dapat mengganggu perkembangan fisik dan jiwa sang anak. Orang tua seringkali dengan santai ataupun bahkan dengan sadar melontarkan kalimat-kalimat yang menyakitkan kepada anaknya seperti “dasar bodoh!”, “anak durhaka!”, “dasar gak ada gunanya!” dan masih banyak lagi. Kalimat-kalimat tersebut memang singkat, namun mempunyai dampak yang panjang bagi psikis sang anak. Anak bisa menjadi pribadi yang nakal, minder, anak menjadi terpaku atau tertanam dibenak pikirannya bahwa dia adalah anak yang nakal, bodoh, durhaka yang membuat dirinya menjadi malas untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya. Orang tua seharusnya tidak memberikan tindakan otoritas yang merugikan sang anak. Sayangnya banyak orang tua yang memanfaatkan kedudukannya sebagai pihak yang paling tinggi dikeluarga dengan cara yang tidak baik yaitu dengan mengancam anaknya.

Contoh kasus kekerasan verbal terhadap anak yang dilakukan orang tua yaitu, seorang orang tua berniat memotivasi anaknya dengan melontarkan kalimat “memangnya kamu bisa? Kamu itu bisanya apa sih? Ini nggak bisa, itu gak bisa, paling pintar cuma nangis aja!” didepan umum orang tua tersebut melontarkan kalimat yang menyakitkan bagi sang anak. Dampak yang terjadi yang langsung dirasakan anak adalah merasakan malu, rendah diri. Anak menjadi meniru dan menanamkan kata-kata kasar yang diterimanya. Apalagi dengan pemberian label terhadap dirinya akan membuat konsep didirinya bahwa dia adalah anak yang nakal, buruk, dan sebagainya.Orang tua seharusnya dalam mendidik anak tidak harus meggunakan pemaksaan, ancaman dan cara-cara keras lainnya, orang tua sebagai tempat meneduh seorang anak lebih baik menggunakan cara yang lembut namun tegas, seperti apabila sang anak melakukan kesalahan ada sanksi yang harus dilakukan (sanksi mendidik) dan apabila melakukan hal yang baik (berprestasi) mendapat hadiah. Dengan cara seperti itu anak akan termotivasi untuk melakukan hal baik dan takut atau menghindari melakukan perbuatan buruk. Orang tua juga harus memberikan pendidikan yang baik bagi sang anak, pendidikan tidak hanya yang berkaitan dengan akademik namun juga pendidikan moral yang berkaitan dengan pembentukan watak, dan tingkah laku. Sebab apa yang dialami, dirasakan dan didapat didalam keluarga itulah yang menentukan perilaku sang anak ditengah masyarakat. Anak yang baik tentu penting karena anak merupakan asset bangsa generasi penerus bangsa. Suatu bangsa bisa maju apabila memiliki generasi penerus yang baik dan berkualitas.

Kedua,kasus kekerasan simbolik verbal yang sering terjadi adalah kasus kekerasan simbolik verbal antara majikan dengan buruhnya (pembantunya). Seorang majikan seringkali melakukan tindak kekerasan (baik verbal maupun nonverbal) terhadap pembantunya karena merasa tidak puas dengan pekerjaannya atau alasan-alasan lainnya. Buruh atau pembantu bekerja kepada majikannya dengan mendapat upah (gaji) dari majikannya. Kedudukan antara majikan dengan pembantu (buruh) seringkali tidak sederajat apabila dilihat dari sisi ekonomi. Ditambah lagi dengan keadaan di Indonesia bahwa jumlah tenaga kerja lebih banyak daripada jumlah pasar (lapangan) kerja, yang menyebabkan semakin melemahnya keadaan buruh (pembantu). Akan tetapi, pembantu tidak dapat disamakan dengan buruh yang merupakan kelas paling bawah dalam sistem ekonomi dan sosial di Indonesia.

Bentuk kekerasan verbal yang dilakukan majikan terhadap pembantunya seperti penghinaan, cemooh, makian, bentakan dan kalimat yang mengandung kata kasar. Kalimat yang seringkali terlontar seperti “gimana sih kerja gitu aja nggak benar!”, “yang bersih dong! Dasar nggak becus!”, “biasa orang kampung, maklumin aja”. Kalimat yang ringan, yang bisa saja diucapkan bukan hanya karena sedang emosi namun bisa saja niat bergurau tetapi menyakitkan hati. Kalimat tersebut bisa menyerang jiwa sang pembantu yang nantinya melahirkan trauma. Trauma untuk bekerja lagi, trauma bertemu orang lain, minder, dan sebagainya. Apabila sudah menyerang kejiwaannya akan menimbulkan masalah baru seperti pengangguran dan kemiskinan.

Setiap orang yang memiliki kekuasaan seperti kekuasaan majikan terhadap pembantunya, biasanya akan selalu ada kecenderungan untuk melakukan kekerasan verbal, kecuali terdapat larangan atau hambatan yang jelas dan tegas. Keadaan dengan penguasaan diberbagai sisi seperti sisi ekonomi, sisi sosial, sisi budaya yang lebih unggul yang tentunya dimiliki oleh majikan semakin mendukung majikan untuk melakukan tindak kekerasan verbal terhadap pembantunya. Apalagi ditambah kondisi minimnya jaminan hukum yang terkait dengan pekerjaan mereka, rendahnya status sosial dan kenyataan bahwa mereka bekerja dirumah-rumah pribadi. Ketidaknampakan ini membuat kondisi mereka menjadi tidak diketahui, tidak tersamarkan, tidak jelas ataupun tidak dipedulikan keadaannya. Permasalahan kemiskinan di Indonesia yang melanda rakyat Indonesia membuat masyarakat bagian kalangan ke bawah merasakan imbasnya, masalah kemiskinan memaksa mereka untuk keluar dari rumah, dari kampung merantau mencari pekerjaan demi memenuhi kebutuhan hidupnya.

Pembantu rumah tangga adalah bagian dari masyarakat yang banyak merasakan peristiwa-peristiwa traumatis dalam rumah tangga. Mereka dengan segala keterbatasan personalnya cenderung menjadi objek pelecehan bagi majikannya. Posisi pembantu rumah tangga yang dalam pekerjaannya sangat lemah, tidak memiliki jaminan hukum, dan kecenderungan negara tempat ia bekerja untuk memihak kepentingan majikannya semakin mendorong terjadinya kekerasan verbal yang sangat santai untuk dilakukan majikannya. Belum lagi masih terdapat diskriminasi rasial dalam bentuk perspektif negatif terhadap pembantu rumah tangga yang menambah alasan atau semakin mendukung majikan untuk melakukan kekerasan simbolik dalam bentuk verbal. Namun, sudah ada peraturan atau jaminan hukum di Indonesia yang melindungi pembantu rumah tangga, seperti pada Undang - Undang No.23 tahun 2004 tentang pengapusan kekerasan dalam rumah tangga yang didalamnya berisi “ Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui tindakan kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk mencegah berlangsungnya tindak pidana, memberikan perlindungan kepada korban, memberikan pertolongan darurat, dan membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan”. Jadi masing-masing atau setiap orang memiliki kewajiban untuk mencegah ataupun memberikan pertolongan kepada korban kekerasan dalam rumah tangga (termasuk pembantu rumah tangga).

Dalam pasal 2 Undang – Undang Nomor 23 tahun 2004 juga dijelaskan siapa saja yang dimaksud sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga. Pasal 2 Undang – Undang Nomor 23 tahun 2004 berisi “Lingkup rumah tangga dalam undang – undang ini meliputi:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun