Mohon tunggu...
Ahyarros
Ahyarros Mohon Tunggu... Administrasi - Blogger | Editor book | Pegiat literasi dan Perdamaian |

Blogger | Editor book | Pegiat literasi dan Perdamaian |

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Sensasi Wisata Kampung di Desa Mas-Mas

21 Agustus 2017   13:30 Diperbarui: 22 November 2021   23:53 2469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tourist asal Perancis di Desa Mas-Mas Lombok (Foto Shafwan)

Letaknya di pedalaman Lombok Tengah, persisnya di Kecamatan Batu Keliang Utara. Desa tersebut ramai didatangi turis mancanegara. Desa Wisata Mas-Mas memberi inspirasi, apapun bisa dikerjakan orang desa sejauh ada kemauan dan gerakan bersama. "Ide berbahaya itu. Bisa merusak agama, moral dan budaya kita. Tidak bisa kita terima." Begitu pernyataan yang terlontar dari beberapa tokoh desa ketika gagasan desa wisata pertama kali bergulir di Desa Mas-Mas, kurang lebih lima tahun silam.

Adalah Habiburrahman (45), anak muda lulusan pesantren yang melontarkan ide mengembangkan desanya menjadi destinasi wisata. Menerima penolakan keras, Habib tidak menjadi reaktif dan putus harapan. Ia justru merasa tertantang untuk menyakinkan dan membuktikan idenya itu masuk akal dan tidak merusak tatanan agama, sosial dan budaya lokal.

"Saya dan beberapa teman muda membentuk sekretariat bersama. Kami terus memberikan pemahaman melalui majelis pengajian, menyebarkan brosur, mengelar banyak diskusi. Lebih dari dua tahun kami melakukan itu. Kami yakin pendapatan masyarakat bisa meningkat, sekaligus memperkenalkan budaya lokal kepada para turis yang datang," ujar Habib seperti dikutip dari Portal Kampung Media.

Sekretariat bersama yang dibentuk Habib menjadi motor pengerak perubahan di desa. Di sekretariat bersama bernaung banyak perkumpulan, mulai dari perkumpulan kajian agama, komunitas santri, relawan kebersihan desa, pencinta alam, komunitas peternak hingga pedagang dan perajin anyaman. Semuanya membangun kebersamaan dan menyatukan visi besar bersama mengelola potensi desa. Kalangan muda yang menjadi sasaran utama penyadaran.

Menawarkan keseharian
Mengembangkan desa wisata sebenarnya bukan hal baru. Di Bali dan Yogyakarta misalnya, desa wisata tumbuh dan berkembang dengan baik. Namun di Lombok, gagasan desa wisata masih terhitung baru dan relatif tak ada desa yang benar-benar berhasil mengembangkan dirinya menjadi desa wisata unggulan.

Di sinilah Desa Mas-Mas menjadi perintis, pionir dan sekaligus model terbaik pengembangan desa wisata yang berbasis agama dan budaya. Apa yang ditawarkan Desa Mas-Mas kepada para pelancong yang datang? Sederhana ternyata. Kebiasaan hidup sehari hari orang desa, itulah yang ditawarkan. Mulai dari bangun pagi sampai tidur di malam hari, pelancong ikut merasakan denyut kehidupan desa.

Sarapan dengan menu desa, ke sawah berpakaian ala petani, mengenakan sarung di sore dan malam hari, bahkan ikut pengajian atau kondangan adat juga dilakoni. Setiap tamu yang datang, pertama kali transit di sekretariat bersama untuk menerima penjelasan dan mengisi buku tamu. Setiap tamu mendapatkan tanda mata sarung songket untuk dikenakan selama berada di desa.

Sarung songket itu bermakna simbolik. Pertama makna agama dan budaya. Kedua makna penanda bahwa pengenanya ada tamu seluruh orang desa. Sarung songket itu berwarna hitam dengan pinggiran yang bermotif beragam. Setiap tamu yang datang dikenakan biaya menginap dan lainnya sebesar Rp 150.000 per hari.

Dana sebesar itu meliputi pembayaran jasa pemandu wisata Rp 40 ribu, jasa kelompok pembuat anyaman ketak Rp 32 ribu, jasa kelompok pembuatan kripik pisang 15 ribu, sajian makan 2-3 sehari Rp 35 ribu dan biaya cuci sarung yang dikenakan tamu Rp 20 ribu. Uniknya, warga miskin, sekolah atau madrasah, kas desa dan dusun juga mendapatkan rata-rata rata berkisar 5- 10 persen. 

"Pembagian di atas kami susun secara mufakat musyawarah dan bersifat mengikat seluruh warga desa. Tentu saja perubahan bisa dilakukan dengan kesepakatan bersama...." terang Habib.

Dampak sosial ekonomi
"Desa, di mata Habib dan komunitas binaannya, tidak perlu terlalu bergantung kepada bantuan dari luar. Bantuan dari luar memang diperlukan, tetapi yang utama tetap rasa percaya diri orang desa sendiri. Tanpa itu, bantuan hanya akan membuat orang desa manja dan tak pernah mampu menyadari betapa potensi di sekitarnya sungguhnya lebih dari cukup untuk memajukan kehidupan mereka."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun