Andaikan tak ada kehidupan kanak-kanak di dunia ini, maka kehancuran akan bergerak dengan semakin cepat. Permusuhan orang dewasa, akan luluh ketika melihat betapa keluguan anak-anak tak tersentuh oleh kebencian. Jika kita berharap perdamaian adalah cita-cita yang ingin kita bangun sebagai benteng dari kebencian yang berdasarkan pada perbedaan, maka kepada anak-anaklah kita harus menoleh. Sebagai masyarakat yang hidup dalam kebhinnekaan sebagai kenyataan alam bawah sadar, kita tampaknya selama ini alpa terhadap pelibatan anak-anak untuk turut membangun toleransi.Â
Padahal, usia anak-anak adalah masa yang rentan untuk mengarahkan seseorang menjadi penentang keberagaman dan bahkan menjadi radikal."Sudah saatnya masyarakat aware bahwa anak kita sangat rentan terhadap penanaman paham radikalisme, kebencian, dan intoleransi," kata psikolog anak dan remaja, Elizabeth Santosa, dalam talk show tentang menanamkan nilai toleransi terhadap anak di salah satu stasiun televisi swasta, Kamis (20/7).
Pernyataan seperti yang disampaikan oleh psikolog Elizabeth ini merupakan hal yang relatif baru dalam kehidupan kita. Terutama karena intoleransi semakin mengeras dalam kekasaran verbal atau pun fisik dalam waktu-waktu terakhir. Seakan-akan, semua ketegangan yang menolak toleransi dan perdamaian dalam kebhinnekaan hanyalah menjadi milik orang dewasa.Kini kita tidak lagi bisa bersikap demikian. Jika orang dewasa sudah terlalu bebal untuk diyakinkan pada kebesaran perdamaian dalam takdir keberagaman kita sebagai warga negara Indonesia, maka anak-anak akan menjadi ujung tombak.Â
Menurut Elizabeth, kesalahan orang tua selama ini adalah selalu berpikir bahwa mendidik anak-anak itu sulit. Terlebih lagi bahwa kita merasa persoalan ketegangan atas nama perbedaan agama dan suku adalah persoalan yang pelik bahkan dalam kehidupan orang dewasa.Namun, sebenarnya kita tidak pernah mau memasuki dunia anak-anak sebagai manusia dewasa. Bahwa mendidik anak-anak sulit, itu adalah hukum alam karena bagaimanapun tidak pernah mudah untuk membangun jiwa dan kepribadian pada jiwa manusia. Namun, Elizabeth punya usulan yang cukup unik dalam misi menanamkan nilai-nilai toleransi kepada anak-anak. Terutama ketika anak-anak harus berhadapan dengan kenyataan fisik yang paling mudah mereka pahami.Â
Dengan kata lain, permasalahan rasial adalah bibit intoleransi yang paling mudah dipahami oleh anak-anak."Ajaklah anak-anak ke museum, ke pameran kebudayaan, jangan ke mal. Di sana dia tahu bahwa setiap orang punya suku dan budaya sendiri. Contoh, (anak-anak bertanya), 'kok itu orang (seperti orang Papua) nggak pakai baju?', sesuatu yang kita ajarkan ke anak itu tabu, (kita ajarkan) untuk sebagian orang atau budaya itu tidak masalah," kata Elizabeth.Pendapat seperti ini ibarat salah satu jalan segar yang bisa kita tempuh.Â
Mari memainkan peran sebagai orang dewasa untuk mendidik anak-anak untuk bisa bertoleransi, agar mereka memahami bahwa perdamaian adalah cita-cita agung dalam masyarakat yang berbeda-beda.Dan yang terpenting, kita harus mau bersikap rendah hati untuk mengajarkan nilai-nilai itu dalam dunia yang dipahami anak-anak. "Ajarkan dengan cara yang fun," tutur Elizabeth.