Mohon tunggu...
Ahmad Muhaimin Alfarisy
Ahmad Muhaimin Alfarisy Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

I Love Bread

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Analisis Pemindahan Ibukota

4 Desember 2012   07:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:13 9606
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PEMINDAHAN IBUKOTA NEGARA DAN DAMPAKNYA TERHADAP EKONOMI WILAYAH DI NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

Oleh : Ahmad Muhaimin Alfarisy

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ibukota dalam suatu negara memegang peranan yang sangat strategis. Hal ini disebabkan karena ibukota dalam suatu negara bisa bersifat multifungsi yakni sebagai pusat politik dan pemerintahan, pusat kegiatan bisnis dan ekonomi, serta pusat segala yang mencirikan karakter secara menyeluruh dari sebuah negara. Secara garis besar dapat ditarik kesimpulan bahwa gambaran sebuah negara dapat dilihat dari bagaimana ibukotanya.

Indonesia memiliki sebuah ibukota yang termasuk salah satu dari sekian banyak megacity di dunia yang bernama Jakarta. Peran yang dimiliki oleh Jakarta dalam dinamika yang terjadi di Indonesia sangat sentral. Hal ini dapat dilihat dengan jumlah uang yang beredar di Indonesia, hampir 70% di antaranya hanya berkutat di Jakarta. Hal ini menunjukkan bahwa Jakarta yang selain berfungsi sebagai pusat pemerintahan, juga merupakan pusat bisnis yang menggerakkan perekonomian di Indonesia. Melihat hal inilah kemudian Jakarta menjelma menjadi magnet yang menggerakkan massa yang luar biasa dari seluruh penjuru nusantara dengan satu tujuan : memperbaiki kualitas penghidupan.

Adanya migrasi besar-besaran menuju Jakarta, baik yang berasal dari kalangan terdidik yang memiliki keterampilan khusus dan siap kerja, ataupun sebaliknya yakni tidak memiliki persiapan untuk mengadu nasib ke Jakarta menyebabkan Jakarta menjadi salah satu kota terpadat di Indonesia yang kemudian menyebabkan banyak masalah yang berakibat sistemik pada aspek-aspek yang lain seperti degradasi lingkungan, kemacetan, kejahatan dan tindak kriminal, bahkan korupsi yang merajalela di ranah pemerintahan juga diduga akibat letak Jakarta yang terlalu dekat dengan pusat perekonomian. Di sisi lain, letak Kota Jakarta yang cenderung berada lebih ke barat bagian Indonesia dituding menyebabkan tingginya disparitas antar wilayah dalam skala nasional. Alasan-alasan di atas itulah kemudian menjadi alasan dilontarkannya wacana untuk memindahkan Ibukota.

Pemindahan ibukota ini dianggap solusi yang tentunya akan berdampak strategis terhadap perbaikan kualitas kehidupan bangsa. Akan tetapi fokus yang akan dikaji dan ditelaah di sini adalah dampak pemindahan ibukota terhadap perbaikan ekonomi wilayah, baik dalam skala nasional, maupun lokal.

Rumusan Masalah

Jakarta kini dinilai sudah tidak layak lagi menjadi sebuah ibukota untuk negara sebesar Republik Indonesia. Selaini itu, lokasinya yang lebih ke bagian barat Indonesia dituding sebagai penyebab tngginya tingkat kesenjangan antar wilayah di negeri ini. Oleh sebab itu kini tengah diwacanakan untuk membangun sebuah megaproyek yang luar biasa yakni pemindahan ibukota dari yang semula di Kota Jakarta menuju wilayah lain yang dianggap lebih potensial serta memiliki daya dukung wilayah yang lebih baik. Pemindahan letak ibukota ini diprediksi mampu menstimulan pertumbuhan ekonomi wilayah, serta mengurangi disparitas wilayah seperti yang telah terjadi selama ini

Kerangka Teori

Indonesia adalah negara kepulauan yang teramat besar di dunia. Panjang Indonesia sendiri melebihi panjang bentang melintang negara Amerika Serikat, dan jarak antara kota paling barat Indonesia yaitu Sabang di Aceh ke wilayah paling timur Indonesia yakni Merauke di Papua  adalah sama panjangnya dengan jarak lurus antara kota Berlin yang ada di Jerman dan kota Teheran yang ada di Iran. Bentuk Indonesia sendiri adalah berupa kepulauan yang terdiri lebih dari 13.000 (sumber yang lain menyatakan 17.500) pulau yang menyebar tidak teratur dan dihubungkan dengan perairan baik selat maupun samudera. Kekayaan alam yang sangat majemuk didukung dengan sumberdaya yang sangat tinggi menyebabkan Indonesia menjadi salah satu negara dengan kekayaan alam tertinggi di dunia. Kekayaan alam itulah yang kemudian menyebabkan Indonesia menjadi jantung perdagangan ekonomi dunia pada masa abad pertengahan hingga sebelum masa penjajahan (Suryanegara, 2009).

Kekayaan alam yang luar biasa itu menyebabkan Indonesia kini mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Indonesia kini menjadi salah satu negara dengan masa depan perekonomian yang paling cerah di Asia. Bahkan ketika terjadi pergolakan ekonomi yang meruntuhkan beberapa negara-negara maju di dunia, Indonesia menjadi salah satu negara yang paling tidak mengalami gangguan setelah China, dan India. Akan tetapi di sisi lain, pertumbuhan di Indonesia berjalan dengan sangat tidak seimbang. Pertumbuhan ekonomi yang mengalami percepatan hanya terjadi di Pulau Jawa saja dan lebih berpusat ke Ibukota negara yakni Jakarta, sedangkan di penjuru lain negara kepulauan ini, kelaparan dan kemiskinan sangat mudah ditemui. Hal ini menunjukkan bahwa disparitas atau kesenjangan yang terjadi di Indonesia masih terbilang cukup tinggi.

Disparitas regional adalah suatu hal yang jamak terjadi di seluruh negara. Hampir seluruh negara mengalami hal ini tanpa melihat tingkat dan taraf pembangunannya. Pada banyak negara, terlepas dari apakah negara tersebut menganut sistem ekonomi pasar ataupun sistem ekonomi terpusat, disparitas tetap saja terjadi yang kemudian berdampak pada kondisi sosial maupun politik (Rustiadi et al, 2009). Pendekatan pembangunan yang terlalu menekankan pertumbuhan ekonomi secara makro telah menyebabkan terjadinya kesenjangan ekonomi antara wilayah pusat seperti yang terjadi saat ini di Jakarta khususnya dan Pulau Jawa umumnya dibandingkan dengan wilayah di sekitarnya (hinterland). Keadaan ini pada akhirnya menciptakan sebuah hubungan yang saling melemahkan sebagai dampak dari lemahnya ekonomi di wilayah pinggiran yang kemudian menyebabkan adanya ekspansi ke wilayah pusat baik berupa tenaga kerja, ataupun modal. Akibatnya yang terjadi adalah munculnya masalah di pinggiran berupa kekurangan modal, serta kurangnya tenaga kerja produktif, namun di pusat kota seperti yang terjadi di Jakarta mengalami overload tenaga kerja atau yang biasa disebut overurbanisation.

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa di Indonesia saat ini tengah terjadi masalah, terutama dalam pembangunan wilayah yang berkeadilan. Permasalahan yang terjadi pada pembangunan wilayah adalah disebabkan karena ketidakmerataannya pembangunan wilayah-wilayah subnasional serta ketidakmerataannya distribusi pendapatan dan kesejahteraan (Muta’ali, 2011). Maka dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa apa yang terjadi di Indonesia saat ini adalah wujud dari permasalahan dalam perencanaan dan pembangunan wilayah yang telah dilakukan oleh para elit penguasa. Hal ini harus ditindaklanjuti dan harus segera diselesaikan, karena ketidakseimbangan pembangunan antar wilayah merupakan sebuah penyakit yang harus dihilangkan dalam pembangunan nasional (Williamson, 1965 Gilbert dan Goodman 1976, dalam Muta’ali 2011).

Pengembangan wilayah merupakan suatu kegiatan yang sifatnya multidimensional, mencakup bidang-bidang ekonomi, sosial, politik, psikologi, antropologi, ilmu pengetahuan alam, dan teknologi di mana semua faktor ini harus diintegrasikan dalam suatu bentuk perencanaan yang menyangkut kepentingan manusia (Muta’ali, 2011)

Berdasarkan terminologi di atas dapat disimpulkan bahwa pembangunan wilayah guna mengurangi kesenjangan atau disparitas antar wilayah, adalah suatu hal yang sangat kompleks. Akan tetapi dapat diketahui pula bawah faktor utama yang dapat merangsang pembangunan wilayah adalah adanya aktivitas ekonomi. Sepertihalnya dengan apa yang terjadi di Jakarta saat ini, atau pulau Jawa secara keseluruhan, perkembangan wilayah disebabkan adanya aktivitas ekonomi terpusat yang sayangnya menciptakan dampak adanya polarisasi (bukan spreadsheet effect seperti yang diharapkan) yang pada akhirnya justru memicu adanya kesenjangan antar wilayah.

Melihat adanya hal inilah kemudian salah satu solusi yang diberikan untuk memecah disparitas antar wilayah, dimunculkan wacana pemindahan ibukota baru untuk Indonesia dari Jakarta menuju wilayah lain yang dinilai lebih layak. Di sisi lain, kota Jakarta saat ini dinilai sudah sangat tidak layak menyandang predikat sebagai ibukota. Hal ini adalah sebagai bentuk kegagalan pemimpin masa lalu dalam memprediksi masalah yang terjadi di Jakarta. Tingginya arus urbanisasi menuju Jakarta menyebabkan terjadinya eksploitasi yang berlebihan terhadap Jakarta sehingga menimbulkan kemacetan dan masalah-masalah lainnya. (Chaniago, et al 2008). Dari sudut pandang geormofologis juga dapat ditinjau bahwa saat ini di Jakarta terus menerus terjadi penurunan muka tanah sebagai akibat dari eskploitasi air tanah yang berlebihan baik oleh masyarakat umum, ataupun oleh pihak swasta dan perusahaan, yang kemudian diperparah dengan terjadinya kenaikan muka air laut yang memperburuk citra Jakarta sebagai Ibukota (Chaniago et al, 2008). Oleh sebab itu, pemindahan Ibukota adalah sebuah konsekuensi logis yang harus dilakukan, tetapi dengan tenggang waktu, dan bukan lagi merupakan pewacanaan (Sutikno, 2007). Selain untuk menyelesaikan masalah disparitas regional yang terjadi di Indonesia, juga sebagai usaha untuk menyelamatkan muka ibukota negara sebesar Indonesia.

Pemindahan letak ibukota ini sebenarnya sudah pernah dilakukan oleh beberapa negara baik atas motif ekonomi seperti yang dilakukan oleh Brazil yang memindahkan ibukota dari Rio de Jeneiro ke Brasilia, ataupun Korea Selatan yang pada tahun 2004 memindahkan Ibukotanya dari Seoul ke Sejong meskipun dalam bahasa Korea sendiri kata “Seoul” berarti kota (Sutikno, 2007), atau atas motif politik seperti yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar yang memindahkan ibukotanya dari Yangoon ke Nay Phyi Taw (ejaan : Nayphydaw)

PEMBAHASAN

Pewacanaan pemindahan ibukota dari Jakarta menuju wilayah lain adalah pembicaraan yang sangat hangat belakangan ini. Jakarta yang selama ini dikenal sebagai jantung negara ini saat ini dinilai sudah sangat tidak layak untuk dijadikan sebagai ibukota. Oleh sebab itu pewacanaan ini semakin menguat, apalagi ditambah dengan adanya disparitas antar regional yang tengah terjadi di negara ini, khususnya jika membandingkan taraf pembangunan yang ada di Pulau Jawa dan luar Jawa.

Kemiskinan adalah salah satu masalah utama yang ingin diselesaikan dalam konsep pembangunan wilayah yang berkeadilan. Di Indonesia sendiri, sekitar 10% dari total jumlah penduduknya berada di bawah garis kemiskinan. Akan tetapi patut diketahui bahwa, meskipun pulau Jawa dikenal sebagai pusat pertumbuhan di Indonesia, namun pundi-pundi kemiskinan tidak sedikit pula yang berada di pulau Jawa. Pundi-pundi kemiskinan itu sendiri bahkan terdapat pula di Ibukota Jakarta. Hal ini menunjukkan bahwa perlu adanya penataan ulang terhadap konsep pembangunan di negeri ini. Pola kemiskinan yang terjadi di Pulau Jawa dengan apa yang terjadi di luar Jawa pada dasarnya berangkat dari hal yang berbeda. Kemiskinan yang terjadi di Jawa lebih identik dengan pola kemiskinan yang terjadi di negara-negara Asia. Sedangkan pola kemiskinan yang terjadi di luar Jawa lebih identik dengan apa yang terjadi di Afrika (Chaniago, et al, 2008).

Pola kemiskinan yang terjadi di pulau Jawa lebih disebabkan karena tinggi dan padatnya jumlah penduduk. Akibatnya sumberdaya yang ada, tidak cukup mampu memenuhi kebutuhan penduduk yang tinggi. Begitu pula halnya dengan lapangan kerja yang tidak sesuai dengan jumlah penduduk,  yang kini telah jauh melampaui angka ketersedian lapangan pekerjaan sebagai akibat adanya overurbanisasi. Sedangkan kemiskinan yang terjadi di luar Jawa lebih disebabkan karena miskinnya sumberdaya alam yang dapat diolah sebagai dampak minimnya infrastruktur. Minimnya ketersedian infrastruktur ini adalah sebagai akibat ketidaktersediannya modal, yang lebih banyak terserap ke Pulau Jawa. Oleh sebab itu dibutuhkan usaha untuk membangun pusat pertumbuhan baru yang berada di luar Pulau Jawa sebagai solusi untuk menyelesaikan permasalah ini, baik untuk penyelesaian masalah kemiskinan di Pulau Jawa, ataupun masalah sejenis di luar pulau Jawa.

Pertumbuhan suatu wilayah dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang bersifat internal ataupun yang bersifat eksternal. Beberapa faktor yang bersifat internal diantaranya adalah penguatan diri sendiri (self reinforce), dan pembatasan pertumbuhan penduduk (self limit). Sedangkan faktor-faktor eskternal dapat disebabkan oleh adanya perdagangan inter-regional, migrasi, serta adanya penanaman modal (Muta’ali, 2011).

Pemindahan ibukota menuju luar Jawa adalah suatu langkah yang sangat strategis yang dapat dilakukan guna memunculkan pusat pertumbuhan baru di Indonesia. pemindahan ibukota ini secara sistematis dapat digunakan sebagai solusi dari pemerintah untuk menyelesaikan disparitas pembangunan nasional yang selama ini terjadi. Dengan dilakukannya pemindahan ibukota yang baru ke luar Jawa, maka dengan sendirinya akan menyebabkan munculnya pusat-pusat pertumbuhan baru yang disebabkan baik oleh faktor internal, maupun eksternal.

Dampak internal dari pemindahan ibukota akan terjadi di Pulau Jawa, yang khususnya di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Pemindahan ibukota dari Jakarta ke wilayah lain akan menyebabkan terjadinya pembatasan pertumbuhan penduduk terutama karena migrasi menuju kota Jakarta khususnya dan Pulau Jawa pada umumnya akan teralihkan, meskipun dalam jumlah yang belum dapat diperkirakan. Dengan kata lain, pemindahan ibukota menuju wilayah yang baru akan menyebabkan berubahnya arah pergerakan urbanisasi sehingga terjadi pembagian pusat konsentrasi arah pergerakan di Indonesia. Selain itu, pembangunan ibukota baru akan diiringi dengan pembangunan infrastruktur wilayah sehingga kecenderungan masyarakat untuk menjangkau infrastruktur yang selama ini hanya tersedia di Jakarta atau di Pulau Jawa akan teralihkan ke wilayah yang baru. Dengan terbatasnya pertumbuhan yang ada di Pulau Jawa, maka tentunya kesempatan untuk perbaikan kesejahteraan di masyarakat yang tinggal di Pulau Jawa semakin meningkat sebagai dampak pertumbuhan penduduk yang menurun yang berujung pula pada peluang kesempatan kerja yang meningkat.

Terbangunnya pusat-pusat pertumbuhan baru sebagai dampak adanya pemindahan ibukota akan menyebabkan munculnya sebagian wilayah di sekitar wilayah Ibukota baru menjadi magnet atau kutub baru dalam perkembangan negeri ini. Pertumbuhan ini menjadi suatu keniscayaan mengingat pembangunan ibukota akan menyebabkan dibangunnya infrastruktur pendukung yang dibutuhkan sebagai penunjang kebutuhan Ibukota baru tersebut. Dengan dibangunnya ibukota yang baru, maka secara sistematis akan dibangun pula instrumen pendukung dalam perkembangan wilayah seperti permukiman, pasar, pusat industri, pusat-pusat perdagangan dan jasa, dan lain-lain. Keberadaan instrumen pendukung perkembangan wilayah ini akan secara cepat meningkatkan kesejahteraan masyarakat karena adanya penyerapan tenaga kerja, serta instrumen pengolahan sumberdaya dan dalam tempo yang tidak terlalu lama dapat diprediksi bahwa masing-masing wilayah, terutama di sekitar tumbuhnya pusat pertumbuhan baru akan berkembang dengan sendirinya. Dampaknya ke depan adalah adanya sistem jaringan pergerakan dengan motif ekonomi yang baru dari yang awalnya berkutat di Jakarta atau di Pulau Jawa saja menjadi tumbuh ke wilayah lain di mana dibangunnya ibukota negara yang baru. Perekonomian di wilayah, baik berupa pulau, atau kota-kota besar di sekitarnya pun akan hidup dan bertumbuh seiring dengan perkembangan di pusat pertumbuhan baru tersebut.

Sebagai contoh, pembangunan ibukota baru dilakukan di Pulau Kalimantan, dengan tanpa melihat di mana lokasi persisnya (namun tentunya penempatan lokasi tersebut membutuhkan kajian yang sangat serius dan komprehensif), maka secara tidak langsung, ekonomi wilayah di sekitar wilayah ibukota baru tersebut akan turut berkembang. Perkembangan tersebut dapat dicontohkan demikian,

Pemindahan Ibukota tentunya akan diiringi dengan pemindahan seluruh elemen pemerintah pusat dari Jakarta ke wilayah baru, termasuk didalamnya sekitar 400.000 pegawai negara. Pemindahan ini tentunya akan berdampak pada pembangunan infrastruktur pendukung seperi jalan, permukiman, dan lain-lain. Pembangunan infrastruktur tersebut pada akhirnya membutuhkan sarana lain untuk menunjang aktivitas yang ada karena adanya kebutuhan konsumtif baik sandang, pangan, dan papan. Lahan-lahan yang ada di sekitar wilayah tersebut kemudian perlahan-lahan akan berubah menjadi lahan non pertanian yang lebih produktif. Selain itu, pembangunan kawasan industri yang selama ini lebih didominasi di Pulau Jawa akan pelan-pelan berekspansi ke wilayah pusat pertumbuhan baru sebagai dampak dari pertimbangan lokasi perijinan yang telah berpindah, serta ditambah dengan nilai strategis Pulau Kalimantan yang luas dan relatif memiliki lahan kosong yang lebih banyak dibanding Pulau Jawa. Pemindahan ibukota ke Kalimantan akan menyebabkan banyaknya proses-proses perijinan, proses pemenuhan kebutuhan pemerintah, dan urusan lainnya teralihkan ke wilayah baru, termasuk rapat-rapat pejabat daerah,unsur pemerintahan dan lain-lain. Dampaknya adalah sektor-sektor jasa dan perdagangan, misalnya saja perhotelan akan menjadi hidup. Akibatnya perkembangan wilayah akan terkatalisasi yang berujung pada peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat lokal.

Namun yang perlu dan patut diperhatikan adalah, munculnya pusat pertumbuhan baru yang diprediksi akan mengurangi kesenjangan ternyata tidak selalu berhasil seperti yang diharapkan (Rustiadi et al, 2009). Pembangunan pusat pertumbuhan baru yang dilakukan tanpa perencanaan hanya akan menciptakan kesenjangan-kesenjangan baru atau disparitas baru di tingkat lokal. Hal ini disebabkan karena pembangunan pusat pertumbuhan baru memungkinkan adanya pergerakan modal dan tenaga kerja daerah rural dan pheriperi besar-besaran menuju pusat pertumbuhan baru atau yang biasa disebut dengan backwash effect atau plarization effect. Akibatnya yang terjadi adalah hubungan antara pusat pertumbuhan baru dengan wilayah di sekitarnya -yang terbelakang- justru menciptakan hubungan yang eksploitatif. Hubungan eksploitatif itu dapat berupa modal, tenaga kerja, ataupun sumberdaya alam. Hubungan ini pada akhirnya hanya akan menciptakan sebuah pusat pertumbuhan baru, namun memiliki sifat dan karakter yang tidak berbeda halnya dengan apa yang terjadi kini di Jakarta.

Hal yang perlu dicatat adalah munculnya pusat pertumbuhan baru pasti akan menyebabkan perubahan yang besar terutama dalam perekonomian wilayah serta mempengaruhi hubungan atau interelasi khususnya antar wilayah desa dan kota, atau wilayah terbangun dengan wilayah sekitarnya. Hubungan yang eksploitatif antara desa dan kota dapat terjadi apabila pembangunan yang dilakukan di wilayah pertumbuhan baru tidak direncanakan untuk terintegrasi dengan kawasan di sekitarnya. Sebagai contoh, pusat pertumbuhan baru akan menyebabkan munculnya pusat-pusat industri dan perdagangan baru di wilayah tersebut. Munculnya pusat-pusat industri dan perdagangan tentunya akan mampu menciptakan peluang kerja yang lebih besar. Jika di saat yang bersamaan pemerintah tidak melakukan upaya-upaya untuk peningkatan peluang kerja di desa atau wilayah pinggiran, maka dapat dipastikan akan terjadi ekspansi besar-besaran yang dilakukan oleh masayarat desa atau pinggiran menuju desa dengan tujuan untuk meningkatkan taraf penghidupan yang lebih baik. Sehingga pada akhirnya akan menciptakan disparitas lokal yang tentunya menggangu perkembangan wilayah yang ideal.

Oleh sebab itu, pada dasarnya pemindahan letak ibukota  memang akan menciptakan pusat pertumbuhan baru di Indonesia yang secara agregat mampu memperbaiki pembangunan yang dinalai senjang secara nasional. Akan tetapi kebijakan tersebut berpotensi pula menimbulkan disparitas dalam tingkat lokal, khususnya untuk wilayah-wilayah yang berada di sekitarnya namun tidak memiliki kemampuan dan daya dukung wilayah yang memadai.

Jikapun kemudian akan dilakukan pemindahan Ibukota dari Jakarta ke wilayah lain, misalnya saja ke wilayah Kalimantan, maka harus dilakukan perencanaan yang benar-benar matang dan komprehensif , bagaimana kemudian wilayah yang dipilih dapat menjadi Ibukota baru sebagai wilayah yang mampu mejadi episentrum perekonomian Indonesia baru, yang mampu mengakusisi Indonesia baik dalam tingkat Nasional, maupun dalam tingkat lokal.

Agenda pemindahan ibukota ke wilayah lain misalnya ke Kalimantan adalah sebuah agenda besar yang menjadi kunci dalam penataan Indonesia yang lebih maju yang harus disertai dengan penataan kembali kota-kota besar lainnya di Indonesia, termasuk pula Jakarta. Hal ini dilakukan agar pembangunan tertap berjalan dengan seimbang dan ideal. Terlepas dari faktor ekonomi, pembangunan ibukota baru seperti misalnya di Kalimantan yang tengah diwacanakan, bisa menjadi “jubah” pemersatu Bangsa Indonesia dari segala penjuru yang pada akhirnya mampu meningkatkan nasionalisme sebagai akibat penempatan ibukota yang terletak di tengah-tengah Indonesia. Sebuah persatuan yang tidak hanya mampu memajukan Indonesia sebagai pemegang tampuk perekonomian masa depan, namun juga menjadikan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang memiliki martabat yang dilandasi dengan nasionalisme yang kuat.

KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan yang telah dijabarkan diatas, maka di sini dapat kita simpulkan bahwa pemindahan Ibukota dari Jakarta menuju wilayah yang baru merupakan sebuah langkah strategis yang dapat dilakukan untuk memperbaiki tatanan ekonomi Indonesia, khususnya untuk mengurangi kesenjangan nasional yang terjadi selama ini. Akan tetapi di sisi lain, pemindahan ibukota yang akan menciptakan pusat-pusat pertumbuhan baru rentan menimbulkan disparitas yang sifatnya lokal sehingga jika tidak direncanakan dengan matang, pada akhirnya akan menciptakan sebuah bangunan kota yang tidak ada beda jauhnya dengan apa yang hari ini terjadi di Jakarta.

Oleh sebab itu, langkah yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya hal ini kalaupun kemudian pemindahan ibukota benar-benar dilakukan, adalah sebuah konsep perencanaan yang benar-benar komprehensif sehingga pembangunan Ibukota baru bisa benar-benar menjadi solusi atas permasalahan pembangunan dan permasalahan tata kelola perekonomian baik di tingkat nasional, maupun lokal. Dan lebih dari itu, pemindahan ibukota menuju lokasi yang strategis tidak hanya akan mampu menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan ekonomi, namun juga mampu meningkatkan persatuan dan nasionalisme bangsa Indonesia yang kedepannya akan menjadi pemimpin dunia modern, yang bermartabat.

DAFTAR PUSTAKA

Chaniago, A; Yustika ,AE ; Jehansyah, SM; Mustaya,T.2008. Visi Indonesia 2033 : Pemindahan Ibukota ke Kalimantan, Lorong Keluar dari Berbagai Paradoks Pembangunan Menuju Indonesia yang Tertata. Tim Visi Indonesia 2033. Jakarta.

Muta’ali, L. 2011. Kapita Selekta Pengembangan Wilayah. Badan Penerbit Fakultas Geografi (BPFG) Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Rustiadi, E ; Saefulhakim, S; Panuju,  D, R. 2009. Perencanaan dan Pengambangan Wilayah. Crestpent Press. Jakarta.

Suryanegara, AM. 2009. Api Sejarah. Salamadani Publishing. Bandung.

Sutikno. 2007 . Perpindahan Ibukota Negara, Suatu Keharusan atau Wacana.Pusat Studi Bencana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun