Mohon tunggu...
Ahmad Mudzofar
Ahmad Mudzofar Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Analisis

PIlkada, Antara Memilih Pemimpin Daerah atau Koruptor?

3 Juli 2018   16:28 Diperbarui: 3 Juli 2018   18:52 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Tahun 2018 Indonesia tengah menyelenggarakan pesta demokrasi terbesar, dimana terdapat 171 daerah terdiri dari 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten yang menyelenggarakan Pilkada di 2018. Suatu hajat yang besar tentunya bagi rakyat Indonesia untuk memilih pemuda terbaik dari yang baik untuk dijadikan pemimpin baik ditingkat provinsi, maupun ditingkat kabupaten, atau kota.

Harapan yang tinggi selalu dicanangkan oleh rakyat terhadap para pasangan calon terpilih di setiap kali diadakannya Pilkada untuk memberikan yang terbaik, serta dapat meningkatkan kemajuan dalam segala hal, baik dari segi ekonomi, kesehatan, infrastruktur, sosial serta yang paling utama adalah perbaikan kualitas SDM pada wilayah yang dipimpin. Seperti seolah gayung yang bersambut, pasangan calon pun memberikan janji-janji manis sebagai penyedap di setiap kampanye guna mempengaruhi pandangan rakyat yang diharapkan dapat meningkatkan elektabilitas dan dukungan terhadap dirinya untuk kesuksesan Pilkada yang akan dihadapi.

Bukan hanya dengan janji-janji manis belaka, terkadang tim sukses pasangan calon yang akan berkompetisi pun sampai rela melakukan segala cara untuk menjatuhkan pandangan masyarakat terhadap lawan dari pasangan calon yang dibelanya demi sebuah kemenangan di Pilkada. Seperti yang terjadi terhadap cagub petahana  Jateng Ganjar Pranowo yang mengalami fitnah setelah membacakan puisinya K.H. Ahmad Musthofa Bisri, (Gus Mus). 

Hal yang sama juga dialami oleh kompetitornya pada Pilkada Jateng yaitu Sudirman Said dan Ida Fauziyah yang diterpa isu perselingkuhan. Bahkan ada yang lebih parah lagi dengan menggunakan isu sara sebagai bahan menjatuhkan lawan, seperti halnya yang terjadi pada Pilkada DKI Jakarta. Dimana dampak yang ditimbulkan tidak hanya berdampak kepada psikologis warga Jakarta saja , namun merembet sampai ke berbagai wilayah di Indonesia.

Suatu hal sangat miris, melihat hajat besar Pilkada yang sedianya untuk menentukan pemimpin agar dapat memberikan cara dan strategi, bagaimana nanti suatu daerah akan berkembang untuk lima tahun yang akan datang untuk kesejahteraan masyarakatnya. Malah menjadi ladang bisnis bagi sebagian orang, untuk kepentingan pribadi dengan berbagai motif. Banyak motif yang menyelubungi disetiap perpindahan kekuasaan seperti, rasa haus akan gelar, kekuasaan maupun rasa gila akan kehormatan atau kepentingan untuk menyejahterakan diri pribadi maupun kelompok tertentu yang telah membantu.

Konflik kepentingan seperti diatas seakan lumrah terjadi pada setiap pemilihan umum atau daerah di Indonesia, bagaimana motif seseorang untuk mencalonkan diri sebagai pimpinan suatu daerah tidak jarang adalah motif untuk mendapatkan kekuasaan. Iya, dengan kekuasaan maka seseorang akan sedikit lebih mudah untuk melakukan dan mendapatkan apapun yang dia kehendaki, karena power penguasa yang memang besar. 

Yang kedua, adalah rasa haus dan serakah akan gelar atau bisa juga orang seperti ini mencalonkan diri sebagai pemimpin dikarenakan gila akan kehormatan, sudah hal yang sewajarnya apabila seorang pimpinan pasti akan mendapatkan rasa hormat dari setiap rakyat yang dipimpinnya, dan inilah yang menjadi motif sebagian orang mau untuk mengajukan diri menjadi seorang pemimpin. 

Dari berbagai alasan diatas yang paling umum adalah untuk kesejahteraan pribadi dan kelompok, sebab untuk setidaknya mencalonkan diri mereka harus mendapatkan dukungan yang tidak sedikit dari berbagai pihak. Oleh karena itu, terkadang ada rasa hutang budi dari para pasangan calon terpilih untuk membalas dukungan dari kelompok tertentu yang telah ikut andil mendukungnya baik dari segi dukungan moril maupun materil kepadanya agar dapat memenangkan pemilihan.

Motif-motif para pasangan calon diatas adalah motif yang memang kurang sesuai dengan tujuan awal pemilihan pemimpin. Namun, rasanya hal-hal diatas adalah motif yang umum dijadikan alasan seseorang mau mengajukan diri menjadi pemimpin, disamping motif sebagian kecil warga yang mempunyai motif atau alasan mengikuti Pilkada untuk membangun daerah serta mengabdi pada masyarakat. Mungkin akan menjadi contoh demokrasi yang sukses apabila motif yang melatarbelakangi pasangan calon mau mendaftar untuk mengajukan diri menjadi calon pemimpin, adalah untuk membangun daerah serta mengabdi pada masyarakat. Hanya saja niat yang baik serta tulus kadang tidak disertai dengan kemampuan finansial yang mencukupi. Sehingga, kadang niat yang tulus pun luntur oleh sebab kendala fulus.

Perlu pembaca ketahui, bahwasanya biaya Pemilu maupun Pilkada serentak yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum memakan biaya yang tidak sedikit. Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat anggaran Pilkada serentak pada 2015 yang diikuti 269 daerah adalah Rp. 6,8 triliun. Sedangkan untuk Pilkada 2017 diikuti 101 daerah digunakan Rp. 4,2 triliun. 

Menurut Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), biaya penyelenggaraan Pilkada serentak kedua tahun 2017 bila dibagi secara merata, masing-masing kabupaten/kota setara dengan Rp. 26 miliar, kecamatan setara dengan Rp. 3 miliar dan desa/keluaran sebesar Rp. 150 juta (http://www.pikiran-rakyat.com, diakses 27 Juni 2018)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun