Mohon tunggu...
HENDRA SUGIANTORO
HENDRA SUGIANTORO Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pena Profetik

MENGALIR BUKAN AIR: Percikan Spirit Hidup

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Intelek, Intelektual, Ulil Albab......

26 Mei 2011   00:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:14 8821
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Di bawah ini Hendra Sugiantoro menyalin tulisan Amin Sudarsono dalam buku Ijtihad Membangun Basis Gerakan (2010):

“Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjelaskan, kata ‘intelektual’ berkaitan dengan kata ‘intelek’. Intelek berarti “istilah psikologi tentang daya atau proses pikiran yang lebih tinggi yang berkenaan dengan pengetahuan; daya akal budi; kecerdasan berpikir. Kata intelek juga berkonotasi untuk menyebut kaum terpelajar atau kaum cendekiawan.” Sedangkan kata intelektual berarti suatu sifat cerdas, berakal, dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan. Kata intelektual juga berkonotasi sebagai kaum yang memiliki kecerdasan tinggi atau juga disebut kaum cendekiawan.

Intelek berasal dari kosakata Latin: intellectus yang berarti pemahaman, pengertian, kecerdasan. Dalam pengertian sehari-hari kemudian berarti kecerdasan, kepandaian, atau akal. Pengertian intelek ini berbeda dengan pengertian taraf kecerdasan atau intelegensi. Intelek lebih menunjukkan pada apa yang dapat dilakukan manusia dengan intelegensinya; hal yang tergantung pada latihan dan pengalaman.

Dari pengertian istilah, intelektualisme adalah sebuah doktrin filsafat yang menitikberatkan pengenalan (kognisi) melalui akal serta secara metafisik memisahkannya dari pengetahuan indera serapan. Intelektualisme berkerabat dengan rasionalisme. Dalam filsafat Yunani Purba, penganut intelektualisme menyangkal kebenaran pengetahuan indera serta menganggap pengetahuan intelektual sebagai kebenaran yang sungguh-sungguh.

Di dalam filsafat modern, intelektualisme menentang keberatsebelahan sensasionalisme yang hanya mengandalkan indera, antara lain didukung oleh Rene Descartes (1596-1650), kaum Cartesian, serta sampai batas tertentu oleh Spinizisme. Pada masa kini—bercampur—hlm. 51—dan tambah dengan aliran agnitisme—intelektualisme dibela positivisme logikal (Hassan Shadily, 1980).

Bagaimana konsep intelektual menurut Islam? Dari konsep intelektual Islam, terlebih dahulu perlu dikaji konsep ulil albab. Istilah ulil albab di dalam Al-Qur’an terdapat pada beberapa ayat. Salah satu ayat tertera pada surat Ali-‘Imran ayat ke 190-191.

“Sesungguhnya, dalam penciptaan langit dan bumi, dan (proses) pergantian malam dan siang, adalah tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi ulil albab (orang-orang yang berpikir (menggunakan intelek mereka)). Yaitu orang-orang yang berdzikir (berlatih diri dalam mencapai tingkat kesadaran akan kekuasaan Allah) dalam keadaan berdiri, duduk, dan dalam keadaan terlentang, dan senantiasa berpikir tentang (proses) penciptaan langit dan bumi, (sehingga mereka menyatakan) wahai Tuhan kami, Engkau tidak menciptakan semua ini dalam keadaan sia-sia. Maha Suci Engkau, peliharalah kami dari siksa api neraka.”

Terjemahan di atas mengambil pendapat dari Ahmad Muflih Saefuddin dalam bukunya Desekulerisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi. Di atas, kata intelek digunakan sebagai keterangan kata ‘berpikir’. Karena pada khazanah intelektual Muslim, konsep intelek diterjemahkan sebagai konsep paduan dzikir dan pikir, rasional dan intuitif seperti halnya konsep akal aktif pada ilmuwan abad pertengahan, atau isyiq pada konsep Muhammad Iqbal.

Dalam ayat itu, dinyatakan adanya aspek hasil pengamatan realitas (tanda-tanda alam), dan aspek hasil interpretasi intrinsik (proses) sebagai hasil proses pikir dan dzikir. Di dalam konsep ini, kata ulil albab berarti ada kesinambungan antara kemampuan berpikir, merenung dan membangun teori ilmiah dari realitas alam yang empiris dengan metode induktif dan deduktifnya namun sekaligus mampu mempertajam analisisnya dengan mengasah hati dan rasa melalui berdzikir.

Artinya, kerja intelektual bukan hanya kerja berpikir. Harus ada bagian intuisi—selain logika—yang berfungsi sebagai pengawal etik logika. Di sinilah peran agama yang kemudian terkenal dalam ungkapan Albert Einstein bahwa “ilmu tanpa agama buta, agama tanpa dan ilmu lumpuh”(Keith Ward, 2002).

Dalam perkembangan kaitan antara pikir dan dzikir ini Taufik Pasiak (2003) menyatakan, kadang kita salah mengartikan pikir sebagai—hlm. 52—kerja otak dan dzikir sebagai kerja hati. Kenyataannya, setelah muncul perkembangan ilmu kedokteran dalam bidang neurologi, kedua kerja tersebut merupakan kerja otak dalam otak manusia, ada organ yang berfungsi melakukan tugas berlogika (untuk kerja pikir) dan ada organ yang berfungsi untuk intuisi (kerja dzikir).

Pasiak juga menyatakan, terjemahan kata qalb adalah menunjuk organ otak juga. Perasaan di dada itu, adalah karena aliran darah yang mengalir tidak teratur di jantung, sehingga kadang orang menyebut bahwa qalb (terjemahan kata hati dari kata Inggris: heart bukan liver) itu berada di dada. Jadi otak bukanlah hanya pikiran karena otak tempat proses berpikir dan pengendali perasaan.

Dawam Raharjo (1996) menegaskan, ciri ulil albab ada tiga dimensi. Dimensi pertama dimensi ontologis, seorang ulil albab adalah manusia yang telah menarik jarak dari semua yang ada, termasuk dirinya sendiri, masyarakat dan sejarah, serta menjadikannya menjadi objek pengamatan yang rasional.

Kedua, dimensi fungsional, yang bertolak dari pengertian bahwa alam semesta diciptakan oleh Allah dengan tujuan dan merupakan suatu yang hak dan bukannya bathil atau kacau, melainkan berfungsi dalam kehidupan manusia. Dan ketiga, dimensi aksiologis atau etis, yang melihat sesuatu dari segi buruk atau baik, benar atau salah, agar kehidupan manusia dapat berkembang lebih maju sejalan dengan harkat manusia sebagai makhluk yang dimuliakan Allah.

Secara prinsip, menurut saya, ulil albab adalah konsep Islam terhadap apa yang disebut sebagai kaum intelektual. Tentu dengan muatan Ilahiyah—hlm. 53.

Begitulah pemaparan Amin Sudarsono. Buku Ijtihad Membangun Basis Gerakan diterbitkan Muda Cendekia, Jakarta, cetakan I Juni 2010. Semoga bisa menambah dan memperluas ilmu, wawasan, dan pengetahuan kita. Konsep, pemikiran, dan pendapat masih dimungkinkan bisa ditelaah dan dikoreksi. Mungkin Anda memiliki konsep lain? Wallahu a’lam.

HENDRA SUGIANTORO

Senin, 23 Mei 2011

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun