Aku terbang pagi dari Bandara Husein Sastranegara, Bandung.Â
Meninggalkan ayah, ibu, adik-adikku dan kekasihku dalam haru tak terbendung.
Entah apa yang akan terjadi pada masa depanku nanti aku pun tak tahu.
Tetapi walau apapun yang terjadi aku kuatkan tekad dan semangat hidup.
Saat telah tiba di daratan Timor Timur aku tak dapat bayangkan bagaimana aku bisa hidup.
Tetapi hidup adalah perjuangan, tetapi hidup adalah pengorbanan.
Aku bukan pengecut yang mudah tunduk dan takluk.Â
Aku adalah pemberani yang siap hidup dan siap mati.
Mati hanyalah soal waktu di Medan tempur Timor Timur ini.
Entah apakah sudah ada guratan hidupku di ujung peluru.
Hanya Tuhan Yang Maha Tahu hanya Tuhan tujuan hidupku.
Dan jika memang cintaku tetap abadi dan jika cintamu tetap abadi, maka abadilah.
Namun jika engkau kelak memilih yang lain, maka aku ikhlas mencintai Tanah Cendana ini untuk menjadi cambuk bagiku untuk hidup kuat bertahan, susah maupun senang, suka maupun duka.
Biarkan kujejaki tanah ini dari Dili ke Manatuto, Baucau, Viqueque atau Los Palos
Biar kujelajahi bumi Loro SaE ini dari Dili ke Liquica, Maliana atau Covalima.
Kukatakan aku terlanjur jatuh cinta pada Tanah Cendana.
Pantai Farol, Dili, 15 September 1988