Mohon tunggu...
Agustina Purwantini
Agustina Purwantini Mohon Tunggu... Administrasi - Kerja di dunia penerbitan dan dunia lain yang terkait dengan aktivitas tulis-menulis

Founder #purapurajogging

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Sampah Selama Ramadan Berlipat Ganda, Kita Bisa Apa?

4 Juni 2017   08:10 Diperbarui: 4 Juni 2017   18:06 743
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: travel.kompas.com

JIKA ditanya mengenai hal paling berkesan selama Ramadan, saya dengan cepat akan menjawab, “Jumlah sampah yang bertambah. ”Sampah? Iya, sampah. Beneran sampah. Sampah dalam arti denotatif. Bukan dalam arti konotatif.

Semua bermula dari makin semaraknya kegiatan Ramadan di mushola kampung. Dahulu mushola kami itu hanya menyelenggarakan sholat tarawih bersama plus kultum. Lalu beberapa tahun belakangan, ada tambahan acara. Yakni pengajian jelang buka puasa pada tiap sore, berikut buka bersamanya tatkala magrib tiba.

Alhamdulillah. Seiring berjalannya waktu, makin banyak warga yang tergerak untuk bersedekah. Maka tidak mengherankan kalau menu buka bersama (bukber) di mushola selalu istimewa. Hampir tiap hari berupa nasi kotak yang kontennya komplet. Tak ada menu yang bungkusnya sekadar daun lapis koran bekas. Paling minim dibungkus dengan kertas minyak yang bagus.

Nasi kotak tentu lebih keren daripada nasi bungkus kertas minyak. Apalagi kalau dibandingkan dengan nasi bungkus daun lapis koran bekas. Namun, tahukah Anda? Justru nasi kotak keren itulah yang menjadi biang masalahnya. Begini. Jatah tiap peserta bukber adalah sekotak nasi dan segelas minuman hangat. Maka begitu bukber usai, yang tersisa adalah kotak nasi bekas dan gelas kotor.

Gelas-gelas kotor pun dicuci dan kemudian disimpan, untuk dipakai lagi esok hari. Sementara kotak nasi kosong pasti menjadi tumpukan sampah. Oleh sebab itu, tempat sampah depan mushola selalu membludak selama Ramadan. Bila tukang angkut sampah disiplin bertugas, tentu tak jadi soal. Tiap dua hari, tumpukan sampah tersebut pasti bakalan berpindah ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir). Namun faktanya, si tukang angkut sampah kerap ingkar jadwal.

Tentu saja sangat merepotkan bila segunung sampah terkatung-katung nasibnya. Terlebih saat anjing dan ayam ikut mengintervensi. Dapat dipastikan, berantakanlah semua sampah yang ada. Kalau sudah begitu, mau tak mau kami terpaksa menyapunya lagi-lagi-lagi. 

Karena sering berhadapan dengan situasi serupa itu, saya kemudian tergerak untuk menghitung-hitung. Kalau tiap hari tersedia 150 porsi bukber, berarti sejumlah itu pula bekas kotak nasinya. Padahal di dalam tiap bekas kotak nasi, masih ada plastik-plastik. Yakni plastik-plastik pembungkus kerupuk, sambal, buah, dan tisu. Masih pula ada alas plastik (wadah)bagi nasi dan lauknya, serta sendok plastik. Wow! Alangkah banyaknya sampah yang tercipta!

Siapa yang menyangka bahwa yang tersisa dari sebuah acara bukber adalah potensi menyakiti bumi? Bahkan, merusak? Plastik-plastik itu menambah tinggi tumpukan sampah yang susah hancur ‘kan? Sementara Islam justru mengajarkan umatnya untuk merawat bumi. Padahal, acara bukber berlangsung selama 29 arau 30 hari. Duh! Betapa mudahnya kami melipatgandakan sampah?

Saya yakin, hal demikian tak hanya terjadi di mushola kampung kami. Tiap acara bukber (di mana pun tempatnya) yang menyajikan nasi kotak, pasti menyisakan persoalan serupa. Serta-merta mengganti kotak nasi dengan piring--sehingga dapat dicuci dan dipakai lagi esok hari--bukanlah solusi. Memang jauh lebih go green. Hanya saja, proses penyiapannya jadi lebih ribet. Kalau ditaruh di piring, penyiapannya tentu tak bisa sejak siang. Mesti dipersiapkan ketika maghrib telah menjelang. Dan, itu butuh keterlibatan lebih banyak tenaga. Demikian pula pasca acara bukber. Butuh lebih banyak tenaga untuk mencuci piring-piring. Mulanya ‘kan hanya butuh tenaga untuk mencuci gelas.

Apa boleh buat? Dari Ramadan ke Ramadan, itulah fenomena yang selalu saya jumpai. Dan saya yakin, di mushola/masjid lain--yang model bukbernya serupa—tak jauh beda keadaannya. Pasti sama-sama menghasilkan sampahsecara signifikan tiap harinya. Yang berarti boros plastik; boros kardus (kotak nasi).

Persoalan ini mungkin terlihat sederhana. Tampak terkait dengan perihal kebersihan belaka; asal tumpukan sampah segera berpindah ke TPA, dibakar, atau diambil pemulung tentu habis perkara. Padahal, sesungguhnya menunjukkan kekurangpekaan terhadap lingkungan hidup. Di samping itu, keputusan untuk membungkus tiap konten nasi kotak dengan plastik merupakan sikap pemborosan. Sementara pemborosan dekat dengan kemubaziran yang digawangi oleh setan. Tentu saja kondisi demikian sangat kontradiktif dengan semangat yang diusung Ramadan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun