Mohon tunggu...
Agustin Anggriani
Agustin Anggriani Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pada Pak Pram Kita Belajar: Refleksi Kisah Hidup Pramoedya Ananta Toer

3 Mei 2015   10:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:26 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pakaian batik yang membungkus badannya dengan flatcap yang menyentuh kepalanya menyiratkan kesahajaan. Kepercayaan dirinya dalam menumpas karang dan badai yang menghalang terungkap pada tangan kiri yang dicengkeramkannya di dagu. Sorotan sepasang bola dari balik kacamata lebar ber-frame tipis dihiasi seberkas senyum mengembang seakan mengatakan seperti apa yang ditulisnya dalam Rumah Kaca, “Orang bilang ada kekuatan-kekuatan dahsyat yang tak terduga yang bisa timbul pada samudera, pada gunung berapi dan pada pribadi yang tahu benar akan tujuan hidupnya.” Dahsyat kedengarannya. Itulah kesan yang saya rasakan ketika menatap salah satu foto hitam putih salah satu sastrawan paling berpengaruh di Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Nama Pak Pram dengan ganas menyeruak melalui karyanya yang fenomenal di tengah tak berpihaknya rezim padanya. Menulis telah mendominasi kisah pahit, manis, serta tawar dalam hidupnya.

Pak Pram Menantang Hegemoni

Dalam masalah sastra dan kepiawaian mengatur cerita, Pak Pram sudah tak bisa diragukan lagi. Simaklah penggalan karya Pak Pram berjudul Bukan Pasar Malam berikut:

Aku mengangguk-anggukkan kepala dengan berat, diberati oleh harga kayu, semen, dan paku. Dan aku lihat orang tua itu mengerti juga beratnya anggukanku. Tapi ia tak berkata lagi. Kami kehabisan perkataan. Ini adalah kesempatan baik untuk mengelakkan diri. Sumur pun kuperiksa. Sudah setua dua puluh lima tahun juga dia. Batu batanya telah runtuh-runtuh bila orang terlalu kasar menimba. Dan lantai sekeliling sumur itu telah hilang terendam oleh tanah. Di daerah kami yang miskin, jarang orang berani membuat sumur. Dan di daerah kami yang kering, sumur adalah pusat perhatian manusia dalam hidupnya di samping beras dan garam. Karena itu-sekalipun pembuatan sumur itu atas ongkos sendiri-akhirnya ia menjadi hak umum. Orang yang membuat sumur adalah orang yang berwakaf di tempat kami. Dan bila orang memiliki sumur di daerah kami-dia akan mendapatkan penghormatan penduduk: sedikit atau banyak. Dan kalau engkau punya sumur di sini, dan sumur itu kau tutup untuk kepentingan sendiri, engkau akan dijauhi orang dan dicap kudekut (hlm. 44).

Pak Pram sukses mendeskripsikan peristiwa dengan citraan yang mendalam. Pertautan antara hal yang konkret dan abstrak dalam karyanya telah mengajak kita memahami seluruh detail dalam peristiwa. Kita tidak sekadar memperoleh hiburan semata, namun penyuguhan realitas dalam ranah sosial-kemasyarakatan telah menstimulus mata batin kita untuk terbuka.

Pak Pram dikenang sebagai seorang sastrawan Indonesia yang menghadirkan buah pena dengan napas realisme sosial yang memukau. Ia menghiasi catatan sejarah Indonesia dengan karya-karyanya yang sarat dengan nilai-nilai humanisme dan altruisme. Secara konsisten Pak Pram merekam zamannya dan beberapa langkah zaman di belakangnya dengan kekhasan yang dimiliki Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Lekra, terlepas dari segala hitam-putih dan pergolakannya dengan Manifesto Kebudayaan (Manikebu) pada tahun 1960-an, membawa misi mulia untuk menjadi lembaga yang memihak rakyat jelata. Bagi Lekra, rakyat jelata tetaplah manusia yang harus dimanusiakan dan diperjuangkan hak-haknya, melalui tulisan sekalipun. Sastra dengan muatan tanpa isi bukanlah tujuan Lekra. Lantaran itulah mengapa Pak Pram sebagai bagian dari Lekra sangat kritis dan vokal memperjuangkan martabat manusia dalam konteks literal. Fenomena ketidakadilan yang sering ia ekspresikan dalam karya-karyanya kini tetap mampu mempertahankan eksistensinya sebagai suatu topik yang tak pernah lekang usia untuk dinikmati sekaligus diinterpretasikan.

Pak Pram telah menyerang hegemoni yang dengan begitu kuatnya mencengkeram kasta di bawahnya. Pak Pram adalah potret keberanian melawan sistem feodal seperti yang ia transformasikan dalam novel-novelnya. Ia pernah mengatakan, “Alangkah indah kehidupan tanpa merangkak-rangkak di hadapan orang lain,” dan “Kalau mati, dengan berani; kalau hidup, dengan berani. Kalau keberanian tidak ada, itulah sebabnya setiap bangsa asing bisa menjajah kita.” Manuaba menulis beberapa pemikiran tentang perjuangan martabat manusia yang dapat diinterpretasikan dari novel-novel Pak Pram antara lain bahwa kita harus mencintai semua orang dan menjalin persahabatan tanpa mendongakkan kepala pada unsur SARA serta status sosial, karena kesetaraan antarmanusia adalah harga mati (hlm. 279-283).

Pak Pram berhasil membidik fenomena sosial dengan angle yang tak tersentuh oleh penulis sayap kanan. Hegemoni yang dilancarkan oleh kelompok kelas dominan terhadap kelompok kelas bawah, sehingga kelompok kelas bawah menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang wajar dan seharusnya terjadi telah terekam dalam teori Gramsci. Teori inilah yang memunculkan kesadaran kritis Pak Pram sebagai suatu dasar jiwa humanis-altruisnya.

Pak Pram mampu mendetailkan fakta memilukan di balik kisah para anak gadis pegawai Jawa dalam novel Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer. Dengan dalih untuk mengabdikan diri pada nusa dan bangsa pascakemerdekaan, para anak gadis pegawai Jawa itu dijanjikan sekolah ke Jepang oleh Nippon. Kenyataannya mereka hanya dijadikan ‘wanita persediaan’ para serdadu Nippon di benteng bawah tanah. Mereka kehilangan segalanya: cita-cita, kehormatan, harga diri, hubungan dengan dunia luar, peradaban, dan kebudayaan. Betapa sebuah perampasan total bagi entitas yang bernama manusia. Selain itu, dalam novel tersebut Pak Pram juga menggambarkan kesengsaraan remaja puteri Indonesia pada masa pendudukan Jepang.

Para pelajar di kota-kota hampir tidak sempat belajar di sekolah masing-masing. Taiso (gerak badan), kyoren (latihan baris-berbaris) dan kinrohooshi (kerja bakti), menyita sebagian besar jam pelajaran. Dan orang melakukan semua itu dalam keadaan kurang makan, lapar. Bila seorang pelajar jatuh pingsan karena tubuhnya sudah terlalu lemah, orang Jepang atau pelatih atau kepala rombongan, orang Indonesia, menyadarkannya dengan tamparan bertubutubi. Juga jangan kalian lupa: tidak ada obat-obatan di apotik. Juga pakaian yang lekat pada tubuh tidak jarang hanya satu-satunya (hlm. 5).

Karya Pak Pram yang berisi gugatan sosial para gadis Jawa yang ditindas Jepang ini mengaktualisasikan diri sebagai karya sastra sejarah yang patut dikenang oleh segenap masyarakat Indonesia. Isinya dengan gamblang menyiratkan makna mendalam tentang pilunya perjalanan hidup para remaja puteri dalam cengkeraman pendudukan Jepang kala itu.

Karya fenomenal Pak Pram yang lain adalah novel Gadis Pantai yang bercerita tentang betapa rendahnya martabat perempuan jelata di mata priyayi pada era kolonial akhir abad ke-19. Gadis Pantai adalah sebutan untuk seorang wanita biasa dari pesisir Rembang yang dijodohkan dengan lelaki bangsawan oleh kedua orang tuanya. Petaka muncul ketika Gadis Pantai harus menerima kenyataan bahwa ia hanyalah istri percobaan yang dapat diceraikan kapan saja oleh lelaki bangsawan yang menikahinya itu. Pak Pram membidik ketiadaan hak-hak yang memihak wanita biasa yang telah dinikahi oleh priyayi. Novel yang menyiratkan kritik atas tidak adilnya sistem hubungan antara priyayi dengan rakyat jelata telah menyuguhkan kisah pedih yang dialami wanita Jawa kala itu, dengan ini direpresentasikan oleh kisah Gadis Pantai.

Pada masa-masa sulit Pak Pram, paradoks tak ayal mengintainya. Di negeri sendiri, pemerintah bahkan enggan mengapresiasi dirinya lantaran karya-karyanya dinilai berseberangan dan dianggap sebagai racun negara. Padahal, di dunia internasional, ia dan karya-karyanya mendapat tempat yang luar biasa. Salah satu karyanya yang kentara sebagai racun bagi rezim kala itu adalah Hoakiau Indonesia. Diskriminasi terhadap warga keturunan Tiongkok yang tak kunjung menemukan titiknya membuat Pak Pram resah. Atas nama kemanusiaan ia menyerukan hak asasi manusia untuk warga Tionghoa di Indonesia, di antaranya seperti yang dituliskan oleh Ekawati dan Purwaningsih, antara lain hak bebas memilih kewarganegaraan, hak untuk tidak diperbudak, hak mendapatkan keadilan di mata hukum, serta hak bebas memilih pekerjaan (hlm. 63-66). Oleh karena karya inilah, Pak Pram di-PKI-kan, meskipun pada akhirnya terbukti ia tidak terlibat PKI. Karya ini telah mengantarkannya pada pengasingan di pulau Buru tanpa proses pengadilan. Ya, ia dipenjarakan dengan siksaan aparat yang sempat membuat indera pendengarannya nyaris tak berfungsi. Mesin tik yang dikirim seorang penulis kenamaan Perancis, Jean-Paul Sartre, pun tak pernah sampai di tangannya dan malah diganti oleh sipir penjara dengan mesin tik lapuk. Apakah lantas ia berputus asa? Sungguh, bukan Pak Pram namanya kalau penjara dan kerja paksa di ladang Buru membuatnya lantas mati dalam hidup. Semangat humanisme dan altruisme yang ia transformasikan ke dalam novel-novelnya tetap berkobar hebat. Tetralogi Buru, roman Arus Balik dan beberapa karya yang telah disita sipir penjara adalah buah pena yang ia lahirkan selama dalam pengasingan di pulau Buru. Satu pelajaran berharga dari Pak Pram untuk generasi muda, alienasi bukan halangan untuk berkarya. Seringkali kita mendapati betapa mudahnya keterbatasan fasilitas dan mobilitas membuat kita cengeng dalam mewujudkan cita-cita. Pak Pram telah menyadarkan kita bahwa kondisi dan situasi di titik nadir sekalipun bukanlah alibi yang pantas diungkapkan untuk tidak berkarya dan mewujudkan cita-cita.

Evolusi Pak Pram

Pak Pram mengalami evolusi tersendiri. Ada peristiwa dalam hidupnya yang tak terhitung ragamnya. Perjalanan yang tak menjanjikan ketenteraman ia lakoni. Ia yang dianggap bodoh dan pernah tidak naik kelas sampai tiga kali sewaktu kecil, pada tahun 1999 meraih Litterarum humanarum doctor atau Doctor of Humane Letters dari Univer-sitas Michigan. Puluhan penghargaan sastra dari berbagai negara di antaranya Amerika Serikat, Belanda, Filipina, Perancis, Jepang, Norwegia, Chili, Swedia, Swiss, Inggris, serta Jerman menjadi bukti bahwa masyarakat dunia begitu mengagumi karya dan perjuangannya. Penghargaan itu adalah sebuah pengakuan untuk pribadi Pak Pram yang begitu jujur mengekspresikan fenomena-fenomena sosial tanpa intervensi pihak-pihak tertentu. Di dalam keberanian, ketegaran dan keteguhannya itulah letak kehebatan Pak Pram. Ia bagaikan edelweiss, sebuah bunga lambang ketulusan, lantaran ia tetap bertahan meski di tempat yang ekstrem sekalipun. Tanpa banyak bicara, ia selalu menerima apa adanya dan berdamai dengan kondisi yang bukan harapannya.

Kisah Pak Pram telah membelajarkan kita bahwa semangat humanisme-altruisme adalah kata hati yang layak diperjuangkan meskipun berbagai tekanan siap menghunjam dari berbagai arah. Apa yang telah ia lakukan pada akhirnya menjadi sesuatu yang membahagiakan pada waktu yang telah ditentukan. Pada Pak Pram kita juga belajar bahwa pada hakikatnya tiada orang bodoh di dunia ini. Meskipun tidak naik kelas ribuan kali pun, seseorang tak layak dilabeli sebagai orang bodoh. Yang ada adalah orang yang kurang peka karena menghakimi seseorang yang belum menemukan potensi dirinya dengan label bodoh. Saya percaya setiap orang ditakdirkan hebat serta istimewa dengan caranya masing-masing. Untuk ini semua, saya terngiang-ngiang kata-kata Pak Pram, “Kehidupan ini seimbang, Tuan. Barangsiapa hanya memandang pada keceriaannya saja, dia orang gila. Barangsiapa memandang pada penderitaannya saja, dia sakit.”

DAFTAR PUSTAKA

Ekawati, D, Purwaningsih, SM. 2015. Hak Asasi Manusia Etnis Tionghoa dalam Karya Pramoedya Hoakiau Indonesia. Jurnal Pendidikan Sejarah Avatara. 3(1):58-68.

Manuaba, IBP. 2003. Novel-Novel Pramoedya Ananta Toer: Refleksi Pendegradasian dan Interpretasi Makna Perjuangan Martabat Manusia. Jurnal Humaniora. 15(2): 276-284.

Toer, Pramoedya Ananta. 2009. Bukan Pasar Malam. Jakarta: Lentera Dipantara.

____________________. 2001. Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun