Mohon tunggu...
Sri Rohmaningsih
Sri Rohmaningsih Mohon Tunggu... Karyawan Swasta -

Menulis Untuk Mengubah Dunia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"Entong Tolo" Jagoan Batavia 1910

7 Juni 2011   01:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:47 2389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Entong Tolo” Jagoan Batavia 1910

(Mengenal Jagoan Batavia Melalui Peristiwa Sejarah)

Tidak hanya Pitung, ternyata Batavia juga pernah punya jagoan lain. Namanya Entong Tolo, jagoan yang punya banyak anak buah dan selalu membuat ketar-ketir polisi serta pihak keamanan di masa itu. Konon Entong Tolo senang merampok para juragan atau tuan tanah, hanya saja hasil rampokannya tidak dimanfaatkan Entong Tolo sendiri melainkan dibagi-bagikan untuk rakyat kecil yang tidak mampu. Sebenarnya sudah banyak buku atau tulisan singkat tentang sepak terjang jagoan yang satu ini, bahkan Kompaspun pernah membuat tulisan yang bertema Entong Tolo dan Tuan Tanah. Kali ini tulisan tentang Entong Tolo dibuat dengan sumber referensi sebuah laporan dari surat Sekretaris Karesidenan Batavia (J. Van Gigch) kepada Gubernur Jendral (A. W. F. ladenburg) yang di dapat dari Arsip Nasional Jakarta tahun 1981.

Cerita ini berawal dari surat Sekretaris Karesidenan Batavia (J. Van Gigch) yang ditujukan kepada Gubernur Jendral (A. W. F. ladenburg) tertanggal 17 September 1910. Surat itu mendukungan usul pejabat-pejabat pemerintahan Distrik Bekasi, Afdeeling Meester Cornelis agar Gubernur Jendral membuang ke luar Jawa seorang jagoan bernama Entong Tolo. Keputusan itu diambil dengan dasar pasal 47 R.R. Semua pejabat pemerintahan setempat dan penduduk, bahkan polisi tahu bahwa gangguan keamanan dan ketertiban yang terjadi di wilayah itu dilakukan oleh Entong Tolo. Terkadang Entong Tolo melakukannya sendiri, terkadang pula ia menyuruh anak buahnya untuk beraksi.

Tidak mudah menangkap Entong Tolo. Apa yang dilakukan Entong Tolo sulit diajukan ke meja hijau dengan beberapa alasan sebagai berikut:

1.Polisi tidak dapat mencari bukti untuk semua perbuatan pidana Entong Tolo. Kesulitan itu dikarenakan semua perbuatan pidananya tidak langsung dilakukan sendiri, tetapi dilakukan oleh anak buahnya.

2.Tidak ada orang yang dapat dijadikan saksi. Pejabat-pejabat pemerintahan setempat, bahkan polisi tidak berani menjadi saksi karena takut akan mendapat balas dendam dari anak buah Entong Tolo. Terlebih penduduk, sekalipun mereka terancam dan diperas terus-menerus dan seolah-olah membayar pajak untuk menghidupi Entong Tolo dan seluruh anak buahnya, tapi penduduk tidak berani melawan keberadaan Entong Tolo.

3.Perbuatan Entong Tolo juga tidak dapat dianggap sebagai pengacau politik, sebab di daerah Batavia dan sekitarnya ketika itu tidak ada penguasa-penguasa tradisional seperti raja atau kepala desa adat. Batavia dan sekitarnya dapat dikatakan daerah partikelir. Pejabat-pejabat pemerintahan pribumi yang baru terbentuk sesudah reorganisasi pada tahun 1908 belum banyak berpengaruh dan wibawanya masih sangat kurang.

Konon berdasarkan laporan Administratur Pemerintahan Dalam Negeri (J. A. Van Arcken) tertanggal 14 November 1910, Entong Tolo akhirnya dibuang ke Manado. Hanya saja anehnya residen Manado diberi kuasa menyedikan tunjangan kepada Entong Tolo sebesar f 10 sebulan, selama 6 bulan kepada Entong Tolo. Setelah 6 bulan residen Manado diharap mencarikan pekerjaan untuk penghidupannya.

Mengambil hikmah dari peristiwa di atas, ternyata masalah sosial yang berkaitan dengan keamanan di masyarakat sudah ada dari dulu di wilayah nusantara ini. Kemungkinan masih banyak lagi jagoan-jagoan seperti Entong Tolo di tempat lain yang tidak didokumentasikan melalui tulisan sejarah. Hal itu wajar adanya, karena sejarah memang identik dengan orang besar. Seolah-olah hanya orang besarlah yang memiliki sejarah atau sejarah hanya dimilik orang besar saja. Sejarah hanya menempatkan pejuang-pejuang kemerdekaan yang berasal dari golongan rakyat kecil dengan sebutan pahlawan tak dikenal. Bukankah mereka punya nama? dan seharusnya sejarah juga mencatat mereka sebagai sesuatu yang harus dihargai.

Hikmah yang kedua adalah bahwa ternyata pihak aparat keamanan juga manusia. Sah-sah saja jika aparat keamanan memiliki selera seni (seperti Briptu Norman Kamaru), memiliki keinginan memimpin organisasi (seperti G. Toisutta) dan juga memiliki rasa takut (seperti aparat keamanan di Batavia ketika itu). Aparat keamanan yang takut menjadi saksi atas kejahatan Entong Tolo dan anak buahnya, karena kuatir menjadi korban balas dendam dari anak buah Entong Tolo.

Hikmah ketiga adalah bahwa gerakan messianistik seakan akrab dalam kehidupan sosial masyarakat kita. Entong Tolo muncul sebagai messias yang berusaha menolong rakyat kecil akibat penindasan penguasa di masa itu. Dikaitkan dengan keadaan bangsa kita yang sekarang telah terjadi ketimpangan sosial, bisa saja muncul orang-orang yang menaruh perhatian kepada kesejahteraan rakyat. Tidak perlu berbuat anarkis seperti Entong Tolo, lakukan dengan cara-cara yang lebih bersahabat seperti berzakat, beramal dan bersedekah.

Semoga tulisan ini menjadi sumber referensi untuk mengatasi hal-hal di bidang keamanandalam masyarakat, sebagai upaya untuk memaksimalkan peran aparat keamanan dalam melaksanakan tugasnya serta upaya pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Apabila pemerintah tidak dapat mewujudkan keadilan dan kesejahteraan dalam masyarakat, tidak menutup kemungkinan jika nanti bermunculan orang-orang seperti Entong Tolo yang menjadi messias dalam menciptakan keadilan.

(Sumber Referensi: Arsip Nasional Republik Indonesia Jakarta 1981)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun