Seri tulisan TUHAN APAKAH AKU MENCINTAIMU? (12)
12 – RAMADHAN 1438
Tulisan sebelum ini diakhiri dengan pertanyaan, “Apakah Iman adalah Delusi?”
Bila Anda hanya membaca tulisan bagian ini, maka untuk memahami rangkaian benang merah yang ada bacalah tulisan sebelumnya tentang desa Fatimah dan juga tentang Siti yang pindah agama.
Sebelumnya marilah kita lihat definisi dari Iman. Menurut beberapa sumber, Iman adalah sesuatu yang dibenarkan dalam pikiran dan hati, diucapkan dalam lisan dan dilakukan dalam perbuatan atau tindakan.
Kita juga melihat definisi dari Delusi. Menurut beberapa sumber, Delusi adalah sikap seseorang yang tidak dapat membedakan antara kenyataan dan imajinasi. Ia sangat meyakini sesuatu yang tidak ada di alam realitas dan sesuatu tersebut di yakini ada dalam alam keyakinannya.
Sebagai tambahan, bahwa psikiater kadang sulit untuk membedakan antara keyakinan yang dipegang teguh (iman) dengan delusi.
Dalam tulisan sebelumnya saya juga menulis pertanyaan, “Apakah pengalaman Musa di bukit Sinai yang merasa bertemu Tuhan (cahaya yang sangat terang) mungkinkah sebuah delusi?” Atau hanya karena Musa sebagai Nabi maka kitapun kemudian berdelusi bahwa Musa tidak mengalami delusi? Coba kalau yang mengalami adalah manusia jaman sekarang, apa yang terjadi? Ada yang mengaku rutin didatangi oleh Jibril dan menerima wahyu sehingga ia pernah menulis buku, “Perkenankan aku menjelaskan sebuah takdir”. Kemudian ia dikatagorikan mengalami delusi sehingga dinyatakan bersalah dalam agama.
- Atau mungkin saja apabila kita hidup di jaman Ibrahim dan mendengar bahwa Ibrahim mendapat perintah menyembelih anaknya, maka kita mungkin akan bilang bahwa Ibrahim mengalami delusi.
- Atau bila kita hidup di jaman Musa dan mendengar bahwa Musa baru saja turun dari bukit Sinai bertemu cahaya yang sangat terang, maka mungkin saja akan bilang bahwa Musa mengalami delusi.
- Atau bila kita hidup di jaman Muhammad dan mendengar Muhammad mengalami perjalanan malam (isra miraj) sampai ke langit ke tujuh, maka mungkin saja saat itu kita mengatakan bahwa Muhammad mengalami delusi.
Kita menganggap bahwa cerita yang kita dapatkan dari kitab suci bukanlah pengalaman delusi dari para nabi, karena atas dasar iman. Ya, hanya iman yang kemudian membebaskan kita dari keraguan atas delusi tersebut. Padahal kalau kita melihat sejarah, hampir semua Nabi yang dituliskan sejarahnya ditolak oleh masyarakatnya saat itu, dianggap gila dan bahkan ada yang diusir dari daerahnya. Apakah karena saat itu masyarakat menganggapnya mengalami hal-hal yang tidak sesuai dengan kenyataan atau delusi?
Kalau mungkin saja ada dua tipe delusi, yaitu delusi kesehatan dan delusi agama. Delusi kesehatan berkaitan dengan pikiran dan mental yang berhubungan dengan kesehatan seseorang, sedangkan delusi agama berkaitan dengan iman yang tidak dapat diganggu gugat dan cenderung menyalahkan yang lain bahkan memaksa orang lain meyakini apa yang diyakininya.
Kalau dalam sepuluh malam terakhir puasa adalah sebuah nikmat “Akan dijauhkan dari api neraka”, apakah puasa akan menambah teguh tentang keyakinan adanya neraka? Apakah mungkin neraka hanya sebuah delusi? Bukankah keyakinan neraka hanya dapat dinyatakan dalam iman dan tidak dapat dibuktikan realitasnya?