Label 'santri' yang dilekatkan Presiden PKS Sohibul Iman pada Sandiaga Uno adalah kekeliruan besar.
Sebulan berselang, label santri tersebut di-up grade lagi menjadi 'ulama' Â oleh Hidayat Nur Wahid, Wakil Ketua Dewan Majelis Syuro PKS pada 17 September 2018. Langkah HNW semakin memperparah kekeliruan sebelumnya yang dilakukan Presiden PKS.
Mengapa keliru?
Karena label santri dan ulama tidak cocok untuk profil Sandi. Jika sejak awal framing yang dibentuk adalah sosok  Sandiaga sebagai pengusaha muda dan muslim, maka itu lebih tepat dan tidak bertentangan dengan konsep diri Sandi. Landasan etimologis mungkin cukup aman  bagi pelabelan tersebut, tetapi aspek sosial budaya juga harus dipertimbangkan.
Dengan citra santri yang dipikulnya, tak ayal perilaku dan pendidikan Sandi kemudian menjadi sorotan. Sandi memang tidak pernah mengenyam pendidikan di sekolah Islam atau pesantren.
Kritik atas label santri menemukan  momentumnya ketika video Sandi melangkahi makam sesepuh Nahdhatul Ulama ketika berziarah tersebar. Selain itu beredar pula foto Sandi yang melayat almarhum mantan Kapolri Awaloedin Jamin dengan mengenakan pakaian jogging. Kedua peristiwa itu menjadi sasaran empuk serangan netizen pendukung Jokowi-Ma'ruf Â
Walaupun demikian, PKS bukannya tanpa sebab berusaha membangun citra Islami pada diri Sandiaga Uno.
Langkah tersebut merupakan buah dari ambiguitas manuver Prabowo yang dilematis.
Di satu pihak Prabowo ingin meraup dukungan dari kelompok muslim pro Rizieq Shihab dan massa 212, di pihak lain mantan Danjen Kopassus ini harus pragmatis dalam urusan logistik partainya, Gerindra.
Dengan kondisi tersebut di atas mudah bagi kita memahami sebab musabab melekatnya label santri pada diri Sandi. Sandiaga Uno memang sulit memenuhi tuntutan etos santri karena tidak berasal dari kultur pesantren tetapi soal dana logistik Sandi lebih siap.
Kesulitan lain yang akan dihadapi Sandi sebagai santri adalah ketika harus berhadapan dengan K. H. Ma'ruf Amin pada debat Cawapres 17 Maret 2019 nanti.