Laki-laki yang mengikat janji, satu detik saja selepas ijab dan dinyatakan syah, otomatis bertanggung jawab kepada perempuan telah dinikahi. Suami bertanggung jawab, memberi nafkah lahir batin, memperlakukan istri dengan perlakuan baik, tidak semena-mena dan tidak berlaku aniaya.
Namanya nafkah keluarga pasti banyak macamnya, yang sudah jelas tiga kebutuhan pokok tak bisa diabaikan, seperti sandang pangan dan papan (jadi ingat pelajaran IPS jaman saya SD). Kemudian berderet kebutuhan lainnya seperti, kesehatan, hiburan, rasa nyaman, perlindungan dan lain sebagainya -- masih banyak kalau mau diteruskan.
Terkait papan atau tempat tinggal menjadi kebutuhan mendasar, ada beberapa alternatif bisa dipilih pasangan pengantin baru. Pada prinsipnya kebutuhan papan, bisa menjadi tempat berlindung dari terik dan hujan, sebagai tempat berkumpul dengan keluarga.
Maka ada yang memilih tinggal di rumah kontrakan, biasanya kalau suami istri perantau, mau tidak mau suka tidak suka musti ngontrak (tapi ada juga yang bukan perantau pilih ngontrak). Ada juga memilih (sementara) tinggal di rumah mertua, sembari menabung untuk bisa membayar DP rumah (semoga tidak keterusan).
Ada yang mempersiapkan diri, membeli rumah sebelum menikah, jadi ceritanya setelah menikah langsung tinggal di rumah sendiri --keren nih. Ada laki-laki yang (ibarat mendapat durian runtuh) menikahi anak tunggal, si laki-laki digandoli mertua tetap tinggal di rumah yang nantinya akan menjadi milik istrinya.
Semua keputusan (mau tinggal di mana setelah menikah) yang dipilih pasangan suami istri, pasti dengan pertimbangan dan diskusi matang. Masing-masing pilihan akan membawa konsekwensi bagi pemilihnya, susah dan senang harus dilalui sebagai bagian dari perjalanan hidup.
-------
"Gue pindah, kalau anak mbarep sudah SMP"
Seorang sahabat di kantor lama, menikahi perempuan anak tengah, dari keluarga menengah yang tinggal di pinggiran ibukota dibangun jelang awal 80-an. Kompasianer (mungkin) sudah bisa mengira, bagaimana tren bangunan rumah di komplek perumahan di tahun 80-an. "Dulu, daerah ini dibilang orang-orang, tempat jin buang anak" kisah ibu sepuh, pada saat saya diajak mampir sahabat lama.