Memasuki usia dewasa (sekira umur 18), saya pernah merasa seperti "dibuang" ibu dan ayah. Pasalnya, beberapa hari setelah kelulusan SMA, saya berangkat merantau ke Jogjakarta sendiri. "Bismillah," berbekal selembar tulisan alamat kost kakak kelas, tekad yang belum bulat dan kaki didera gamang ini terpaksa melangkah.
Kepergian itu, menjadi pengalaman pertama bepergian jarak jauh seorang diri. antara yakin dan bingung, saya duduk di kursi bus jurusan kota gudeg. Ketika roda bus perlahan bergerak, dada ini bergemuruh, hati semakin ciut dan terpaut apalagi saat beranjak meninggalkan terminal.
Saya berusaha menguasai diri, meyakinkan bahwa ini adalah jalan terbaik, Â sudah waktunya saya meninggalkan kampung halaman untuk pencapaian lebih. Â "Tapi nggak gini juga caranya" protes batin ini.
sepanjang perjalanan saya merutuk "ayah ibu tega banget, diantar kek" dua bola mata basah tak berkesudahan -- hahaha lucu kalau ingat ini. Tidak seperti bepergian biasanya, saya sama sekali tidak menikmati perjalanan, mata tidak bisa merem meski kepala pusing (akibat kelamaan nangis)
Sampai di Jogja menjelang senja, saya membuka kertas catatan, merunut rute dan kendaraan harus dinaiki menuju daerah Wirobrajan. Siapa nyana, langkah-langkah kecil itu menjadi tonggak, kini menjelma untuk langkah lebih jauh bahkan sampai negeri seberang.
Tanpa terasa masa lewat seperempat abad (duh makin tua saja umur nih), mengenang kejadian awal merantau, selalu saja mengembangkan bibir ini. Saya mensyukuri apa yang telah saya lalui, pahit dan getir sebagai perantauan, setidaknya telah membentuk diri sampai seperti sekarang.
Kalau dulu ayah dan ibu memberati langkah (atas alasan sayang), mungkin sampai sekarang saya masih berdiam diri di kampung halaman. Enggan bepergian jauh seorang diri, ragu mengambil keputusan, tak gegas berinisiatif dan jangan-jangan tidak punya mimpi.
-------
Sungguh, cara mengungkapkan rasa sayang memang unik dan komplek. Ada saatnya, kita dihadapkan pada situasi yang dilematis. Bahwa sayang bisa saja berwajah tega (kalau tidak mau dibilang kejam), Â sekilas terkesan tak punya hati, padahal semua demi kebaikan yang disayangi.
"Ayah selalu sayang kakak, sampai kapanpun" saya meyakinkan anak lanang. Sebagai orangtua, saya tetap menyayangi anak, bahkan sampai kelak anak dewasa, berkeluarga dan menjadikan saya seorang kakek.