Mohon tunggu...
Agus Santosa
Agus Santosa Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Guru Sosiologi pada SMA Negeri 3 Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Radikalisme Agama

15 Agustus 2012   16:46 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:43 1045
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pada kelas Sosiologi yang saya ampu, muncul satu pertanyaan dari murid saya, "Bapak, mengapa agama yang seharusnya menjadi sumber ketenangan dan kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat, tetapi tak jarang  justru menjadi sumber dan legitiamasi untuk berbuat kekerasan?" Saya terhenyak oleh pertanyaan salah seorang murid saya. Setelah berdiam sejenak, saya menjawab pertanyaan itu sambil memanggil-manggil apa yang ada di memori otak saya tentang radikalisme agama. Dan jadilah jawaban yang ketika saya tuliskan kembali menjadi seperti berikut ini!

Setelah tragedi 11 September 2001, di mana dua pesawat dengan penumpang penuh menabrak gedung kembar WTC (World Trade Center) di New York, AS, istilah radikalisme agama yang sering diidentikkan dengan terorisme banyak digunakan, lebih-lebih setelah peristiwa Bom Bali 12 Oktober 2002.

Dan penggunaan istilah radikalisme atau terorisme sering sengaja atau tidak dialamatkan kepada umat Islam, yang menurut Dr. Ahmad Syafii Maarif, hal ini merupakan semacam kecelakaan sejarah. Menjadi demikian karena memang posisi Islam sebagai kekuatan peradaban sedang berada di buritan.

Umat Islam sangat tersudut, karena pelaku teroris mayoritas beragama Islam dan dalam aksinya selalu menggunakan simbol-simbol Islam. Bahkan, media massa yang didominasi oleh media Barat menuduh Islam sebagai basic Idea dari terorisme, dan pesantren-pesantren yang banyak tersebar di Indonesia dituding sebagai sarang teroris.

Sebenarnya apa yang dimaksud dengan radikalisme?

Dalam sebuah buku sederhana berjudul Islam dan Radikalisme (2004), Rahimi Sabirin menjelaskan bahwa radikalisme adalah pemikiran atau sikap keagamaan yang ditandai oleh empat hal, yaitu: (1) sikap tidak toleran, tidak mau menghargai pendapat dan keyakinan orang lain, (2) sikap fanatik, yaitu selalu merasa benar sendiri (paling benar), menganggap orang lain salah, (3) sikap eksklusif, yaitu membedakan (memisahkan) diri dari kebiasaan umat Islam kebanyakan, dan (4) sikap revolusioner, yaitu cenderung menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan.

Umumnya radikalisme muncul dari pemahaman agama yang tertutup dan tekstual. Kaum radikal selalu merasa sebagai kelompok yang paling memahami ajaran Tuhan, karena itu mereka suka mengkafirkan orang lain atau menganggap orang lain sebagai sesat. Dalam sejarahnya, terdapat dua wujud radikalisme, yaitu (1) radikalisme dalam pikiran, yang sering disebut sebagai fundamentalisme, dan (2) radikalisme dalam tindakan, yang sering disebut sebagai terorisme.

Sejak kapan radikalisme muncul?

Sikap fanatik, intoleran dan eksklusif dalam masyarakat Islam pertama kali ditampakkan oleh Kaum Khawarij sejak abad pertama Hijriyah.  Kaum Khawarij pada mulanya merupakan pengikut Khalifah Ali bin Abu Thalib (sering disebut sebagai kelompok Syi’ah). Sejarah tentang Khawarij berawal dari perang Shiffin. yaitu perang antara pasukan Ali melawan pasukan Muawiyah, pada tahun 37 H/648 H.

Ketika perang berlangsung dan kelompok Ali hampir memenangkan perang, Muawiyah menawarkan perundingan sebagai penyelesaian permusuhan. Ali menerima tawaran Muawiyah. Kesidaan Ali untuk berunding menyebabkan kurang lebih empat ribu pengikut Ali memisahkan diri dan membentuk kelompok baru yang dikenal dengan Khawarij (artinya keluar atau membelot). Kelompok ini menolak perundingan. Bagi mereka, permusahan hanya bisa diselesaikan dengan Kehendak Tuhan, bukan perundingan.  Karena kelompok Ali melakukan perundingan, maka dianggap sebagai kafir, dan dituduh sebagai pengecut. Kafir dan pengecut dipakai oleh kelompok Khawarij untuk kelompok-kelompok moderat. Kelompok Khawarij pun melalukan teror dan kekerasan terhadap orang-orang Islam yang tidak sependapat dengan mereka. Mereka bahkan memasukkan JIHAD sebagai  RUKUN IMAN.  Dan, Ali bin Abu Thalib pun dibunuh oleh seorang Khawarij –Ibnu Muljam– ketika sedang shalat subuh.

Pemikiran dan sikap keagamaan model Khawarij ternyata diteruskan oleh faham Wahabi di Arab Saudi pada abad ke12 H/18 M yang dipimpin oleh Muhammad bin Abdul Wahab. Gerakan ini bermaksud memurnikan ajaran Islam, dan menuduh kaum muslim yang tidak sependapat dengan mereka disebut sebagai Islam sesat, tidak asli, atau menyimpang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun