Mohon tunggu...
Ceritamakvee
Ceritamakvee Mohon Tunggu... Freelancer - Agata Vera

"Bersoraklah, dunia ini panggungmu" Selamat datang di akun liputan saya Kompasiana Twitter @makvee_vee Facebook Agata Vera Setianingsih Instagram ceritamakvee www.makveestory.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Sisa-sisa yang Tersisa

27 Mei 2017   11:30 Diperbarui: 27 Mei 2017   13:01 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Makanan dan Identitas diri

Pagi itu, sekitar pukul 06.40 WIB ketika saya sedang mengendarai motor di Jalan Suryodingratan. Saya melihat seorang Ibu memboncengkan anaknya di belakang, anak itu mengenakan seragam Sekolah Dasar. Waktu itu yang saya pikir Ibu itu tidak memakaikan helm pada anaknya, bisa jadi sekolahnya dekat, tapi dekat atau jauh, jalan raya tetaplah jalan raya. Kejadian yang tidak terduga selalu terjadi di jalan raya. Memang banyak orang tua yang tidak memakaikan helm pada anaknya saat mengantar sekolah. Padahal helm sebagai pelindung kepala merupakan hal yang penting dan wajib digunakan saat berkendara. Saya berada di belakang Ibu yang mengantar anaknya tersebut.

Sampai, ada satu hal yang mengejutkan saya. Anak yang dibonceng Ibu itu, nampak membuang roti sarapannya. Roti tawar yang ditumpuk, mungkin saja diolesi mentega dan diberi selai atau cokelat sebagai isiannya. Sedih rasanya memikirkan makanan itu. Dijatuhkan di jalan, tersia-siakan, lalu berikutnya akan diinjak kendaraan. Kalau kita pikirkan ada banyak manusia di bumi ini yang kekurangan makan. Bahkan ada manusia yang makan dari sisa-sisa makanan manusia lainnya. Mungkin anak itu dengan polosnya membuang makanan, ia belum paham bagaimana kerasnya hidup. Dasar pendidikan berasal dari orang tua. Akan menjadi apa negeri ini, kalau generasi mudanya kurang menghargai makanan. Padahal makanan merupakan kebutuhan dasar manusia. Alahkan tidak bijaknya tidak bertanggung jawab terhadap makanan.

Makanan kini juga erat kaitannya dengan identitas manusia. Semakin mahal makanan yang dipesan, maka status orang itu akan naik.Ia dianggap seseorang yang berkelas. Makanan bukan lagi menjadi kebutuhan dasar, namun kini makanan menjadi semakin seksi untuk menunjukkan kekuatan dan identitas diri.

Nasib Para Sisa

Beruntung saya,bertemu dengan komunitas yang mempelajari tentang makanan. Komunitas ini adalah Komunitas Bakudapan. Pemantik diskusi di komunitas ini adalah Elia Nurvita. Di jaman yang serba cepat diantara orang-orang yang produktif, masih ada orang-orang yang mau berdiskusi dan kritis mengenai makanan yang dijadikan sebagai media diskusi.

Apa yang kita lakukan jika menyisakan makanan? Lebih banyak tiada harapan. Seperti membunuh sesuatu kemudian selesai. Sisa makanan juga ada yang diberikan kepada hewan, manusia tidak peduli makanan sisa itu baik untuk hewan atau tidak. Hewan dan tumbuhan selalu menjadi tokoh yang termarjinalkan dalam siklus kehidupan manusia. Sisa adalah sisa. Sisa adalah ampas. Sisa adalah residu. Sisa adalah sesuatu yang dianggap tidak memiliki nilai guna setelah melalui proses konsumsi. Sisa adalah bagian entah besar entah kecil, yang tertinggal dari suatu sistem. Sisa tak hanya makanan saja. Sisa juga berupa kenangan, masa lalu. Sisa manusia, orang-orang tua yang sudah tidak lagi produktif.

Sisa budaya kompetitif yang berorientasi pada hasil dan menyisakan pengangguran yang dianggap tak punya keterampilan. Yogyakarta sebagai kota wisata juga memiliki banyak sisa. Sisa pertumbuhan hotel, lahirlah para warga yang bertahan kemudian menyesuaikan diri kemudian mencari peluang dari perubahan tempat tinggalnya. Sisa produksi pangan, lahirlah ampas dengan wujud buruk, namun memiliki pembeli yang segmented, ampas tahu, ampas tempe menjadi bentuk tempe gembos. Masyarakat menengah ke bawah mengonsumsinya sebagai tambahan tumis dan bentuk makanan lainnya. Sisa pembangunan saluran listrik meninggalkan sawah-sawah yang terlantar, karena tumbuhan tak bisa tumbuh baik di bawah tegangan tinggi. Sisa-sisa perjuangan masa lalu pun masih kita rasakan, bahkan sampai kini kita masih berjuang. Kemudian sisa pelayanan hotel berbintang; lahirlah sisa sarapan yang tak bertuan. Sisa aktivitas konsumtif yang sehari-hari kita lakukan melahirkan bahan makanan yang kemudian rusak dan menumpuk di kulkas. Sisa-sisa cinta juga meninggalkan bekas, trauma, kehilangan, rasa sakit, kegalauan dan kebimbangan.

Di era kampung global ini alangkah baiknya kita memikirkan mengenai sisa-sisa. Mulai dari hal kecil. Jangan anggap remeh sisa. Karena sisa sampah pun bisa didaur ulang. Maka salah satu sisa yang pasti dan masih bertahan adalah sisa hidup. Sisa hidup inilah yang kita kenal sebagai masa depan. Masa depan selalu aktual, untuk perubahan-perubahan yang terjadi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun