Mohon tunggu...
Afrizal Ma'arif
Afrizal Ma'arif Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketahanan Pangan, Harus Menjadi Fokus Utama

7 Januari 2014   06:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:04 1440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Indonesia terkenal sebagai negara agraris. Negara agraris merupakan negara yang memiliki latar belakang pertanian. Dan sudah seharusnya, sebuah negara agraris bisa mandiri dalam memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri

Namun faktanya berbanding terbalik. Indonesia pada saat ini masih belum mampu memenuhi kebutuhan pangannya sendiri. Bahkan, Indonesia diprediksi akan mengalami krisis pangan pada tahun 2017. Dengan laju pertumbuhan penduduk penduduk 1,3 hingga 1,5 persen, sementara luas lahan pertanian tidak mengalami penambahan, dikhawatirkan Indonesia akan mengalami krisis pangan beberapa tahun ke depan.

Banyak hal yang menyebabkan hasil pertanian Indonesia menurun, diantaranya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian (perumahan, industri dan sebagainya) yang angkanya mencapai 106.000 Ha/tahun. Ditambah lagi permasalahan alam. Kondisi sumber air di Indonesia sangat memprihatinkan. Daerah tangkapan air kondisinya sudah sangat kritis akibat pembukaan hutan yang tak terkendali. Belum lagi masalah perubahan iklim yang menyebabkan pergeseran masa tanam.

Akibat tak mampu mencukupi kebutuhan pangan dalam negeri, Indonesia terpaksa impor. Ketergantungan pangan bangsa Indonesia terhadap negara lain amatlah tinggi. Saat ini, bangsa Indonesia masih mengimpor gula mencapai 30 persen dari kebutuhan nasional. Selain itu, kita juga harus mengimpor 25 persen dari total konsumsi daging sapi nasional. Begitu pula dengan garam. Kita masih mengimpor rata-rata 50 persen dari kebutuhan garam nasional. Impor pangan yang meningkat ini akan memperlemah perekonomian bangsa. Harga pangan menjadi tidak stabil. Bahan makanan pokok dengan gizi yang cukup tak dapat dinikmati semua kalangan masyarakat akibat daya beli masyarakat yang kurang.

Padahal, sudah jelas bahwa kondisi konsumsi pangan suatu bangsa mempengaruhi kualitas penduduknya. Bila ingin memperbaiki kualitas sumberdaya manusia, perbaiki dulu gizinya. Dengan gizi yang tercukupi, banyak manusia-manusia cerdas yang akan tercetak di Indonesia.

Melihat sejarah Indonesia beberapa tahun yang lalu, sebenarnya Indonesia punya prestasi membanggakan di bidang pangan. Pada masa pemerintahan orde baru, Indonesia pernah mengalami swasembada pangan pada tahun 1984. Ini tidak lepas dari kebijakan dan strategi yang dibuat pemerintah pada saat itu, yaitu mulai dari Repelita I hingga  Repelita IV. Repelita I menitikberatkan pada pemenuhan pangan dan pengembangan sarana pertanian. Melihat potensi Indonesia yang besar di bidang agraris, hal ini sangat mungkin untuk dilakukan.  Dengan kondisi ketahanan pangan yang bagus, kegiatan-kegiatan yang lain dapat dilaksanakan dengan baik, seperti misalnya pembangunan sarana-prasarana, pengembangan teknologi dan pemerataan pendapatan. Mulai dari Repelita I hingga Repelita IV, semuanya memiliki kebijakan untuk mengembangkan sektor pangan. Dan pada saat itu, Indonesia bisa dibilang sukses melakukan pembangunan di berbagai sektor. Semua keberhasilan tersebut berawal dari satu hal, yakni pemenuhan kebutuhan pangan dalam negeri.

Indonesia membuktikan bahwa dengan kondisi pangan dalam negeri yang baik, kualitas penduduknya dapat ditingkatkan. Masyarakat memiliki daya beli yang cukup untuk memenuhi kebutuhan gizinya. Dengan gizi yang baik, anak-anak Indonesia bisa berpikir lebih cerdas. Harga pangan dalam negeri stabil, masyarakat tidak dipusingkan lagi untuk membeli bahan makanan pokok. Harga pangan stabil, masyarakat bisa hidup dengan tenang, bisa lebih fokus pada bidang lain untuk memperbaiki taraf hidupnya.

Dewasa ini, banyak permasalahan pelik di Indonesia yang belum terselesaikan, seperti misalnya: ekonomi, lingkungan, ketenagakerjaan dan masih banyak lagi. Kita bisa ambil contoh bidang ketenagakerjaan. Di bidang ini, bisa dikatakan bahwa kualitas tenaga kerja kita masih rendah bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Tenaga Kerja Indonesia (TKI) selalu diidentikan dengan tenaga kasar dan pembantu rumah tangga. Pola pikir seperti ini sudah seharusnya kita ubah. Tenaga Kerja Indonesia (TKI) seharusnya adalah tenaga ahli cerdas yang mampu bersaing dengan tenaga-tenaga asing. Untuk mencapai kondisi itu, banyak yang harus diperbaiki. Bila ingin kualitas sumberdaya manusia Indonesia lebih baik, perbaiki dulu kualitas pangannya.

Isu kemandirian pangan sudah seharusnya dijadikan fokus utama pada rencana pengembangan ke depan. Karena sejarah Indonesia telah membuktikan bahwa dengan kondisi pangan yang stabil, kegiatan pembangunan yang lain dapat dilaksanakan dengan baik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun