Mohon tunggu...
Faqih Ashri
Faqih Ashri Mohon Tunggu... Teknisi - The Revolutionist

Bima City, 06-02-1990 Menulis untuk mengetahui rahasia tak tertulis, mendamba setiap pengalaman baru yang tak terlupakan.. City Planner, Content Writer, YouTuber. www.faqihashri.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta Clara dari Kaki Tambora (Chapter 1)

3 April 2016   03:37 Diperbarui: 3 April 2016   03:54 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Clara sedang duduk dengan posisi kaki diselonjorkan depan teras rumahnya. Rintik hujan dengan damai jatuh perlahan, sesekali meraih ujung-ujung jemari kakinya. Daun mungil dari spesies paku-pakuan menyambut hangat tetesan air hujan dengan senyum merekah. Bagi mereka hujan adalah karunia alam yang sempurna, sebuah hadiah bagi keteguhan melawan hantaman sinar matahari seharian penuh.

Bagi daerah dengan iklim tropis, sinar matahari tidak pernah berkurang. Intensitasnya yang tinggi sangat cocok untuk dimanfaatkan dalam berbagai bidang, seperti pertanian, perikanan, dan juga energi terbarukan. Suara sekawanan katak yang saling bersahutan menjadi simponi kehidupan khas malam hari di musim penghujan. Beberapa keluarga katak --yang entah itu mereka sedang berdiskusi, bernyanyi, atau saling bertengkar-- menghasilkan suara paling menjengkelkan, setidaknya bagi gadis yang hatinya sedang dilanda kegalauan seperti Clara. Sesekali mulutnya bergumam sendiri, tak jarang dia meludah kecil "cihh" ke arah tanah yang sudah digenangi air hujan. Baginya bayangan yang sedang bermain dalam pikirannya saat ini teramat menjengkelkan, sehingga membuat sebuah kondisi yang apabila dipikirkan maka akan semakin menyakitkan. Anehnya, jika ingin dilupakan, maka akan semakin membuat penasaran. Suara jangkrik sekarang mulai masuk menyelingi jeda suara katak-katak yang saling bersahutan, bagaikan suara kelompok backing vocal dalam konser akbar peringatan hari besar di sebuah gedung pertunjukan. Suara jangkrik-jangkrik itu tentu saja muncul sebagai intimidasi tambahan bagi Clara. Tentu saja suara-suara itu menyatu dengan kompak membentuk sebuah idiom ejekan bagi perasaannya yang tengah terluka. Kakinya yang kini terlentang hampir kaku terkena ratusan tetes air hujan tetap dibiarkan seperti itu.

Tatapannya tak berubah, mengarah pada salah satu pilar rumahnya yang berdiri kokoh menopang berat rumah sederhana mereka. Mereka? Ya, Clara masih tinggal bersama kedua orang tuanya. Mereka tinggal di sebuah desa terpencil di bawah kaki Gunung Tambora. Kini hampir 25 tahun sudah dia lahir dan tumbuh dewasa. Clara salah satu bunga desa yang digilai semua pria di sekitarnya, baik yang masih jejaka, duda, atau yang masih mencari istri muda. Clara tidak pernah menjadi besar kepala dengan kenyataan itu. Sangat sopan caranya dalam menolak satu persatu niat para pria memiliki hatinya. Hatinya seonggok daging yang tak mampu dibayar dengan harta, rupa, atau tahta. Sebuah pemikiran yang tertanam kuat dalam otak bawah sadarnya oleh sebab pendidikan tinggi yang telah dia tempuh selama bertahun-tahun.

Tinggal di desa terpencil tidak pernah menyurutkan langkahnya untuk mencapai pendidikan tertinggi. Sejak menginjak SMA dia sudah merantau di kota. Kemudian perguruan tinggi pun dia khatamkan di daerah orang dengan predikat yang cukup memuaskan serta membanggakan kedua orang tuanya. Menarik baginya untuk tetap tertarik menjalin cinta dengan pria dari daerah asalnya. Baginya hujan emas di negeri orang lebih baik hujan batu di negeri sendiri. Sadar bahwa dirinya wanita, Clara yakin suatu saat nanti jika dia mencari mencari pasangan dari luar daerah, maka kemungkinan besar dia akan dibawa serta untuk meninggalkan daerahnya, orang tuanya, beserta segala kenangan manisnya. Setidaknya inilah yang sedang terbersit dalam pikirannya, seraya memandang kosong pilar rumahnya yang berwarna putih bersih.

Wajah pria itu sedang menari dan berdendang di pelupuk matanya, tentu saja diiringi suara katak dan jangkrik di sekitar telinganya. Pria idaman yang sudah selama 2 tahun terakhir dipacarinya, atau mungkin memacarinya. Usianya terpaut 6 tahun dari usia Clara. Wajahnya tampan, hitam manis, hidung mancung, garis wajahnya tegas, bermuka agak bulat. Dia pria dari kota. Saling mengenal lewat media sosial Facebook, setelah dibukakan jalan oleh sahabat Clara yang kebetulan juga mengenal pria itu. Sebuah perkenalan yang terjadi dengan tidak instan. Clara termasuk sosok wanita yang sulit untuk mulai jatuh cinta. Pria itulah yang pertama kali tertarik dan begitu menggilai Clara.

Ivan, begitu dia mengenalkan nama panggilannya saat itu pada Clara. Sangat berhati-hati Ivan menjaga ucapannya di hari-hari pertama perkenalan. Baginya sebuah kemajuan yang sangat pesat saat Clara mau menerima friends requestnya di FB. Mereka berdua kemudian bisa berkomunikasi tanpa melulu harus melalui perantara teman. Clara awalnya sangat dingin menanggapi jurus-jurus komunikasi yang dilancarkan Ivan. Pikiran selektif dan preventif menjadi tameng bagi Clara untuk tidak langsung menanggapi terbuka pembicaraan yang dilempar oleh Ivan. Tentu saja karena Clara sudah berpengalaman dalam meladeni beberapa model pria yang ingin mendekatinya. Ivan belum bekerja, dia sudah lulus kuliah sejak tahun 2008. Kuliahnya terhitung lama, hampir 6 tahun. Clara sedang sibuk dengan urusan tugas akhir saat takdir langit menggerakkan hati Ivan untuk mulai mendekati Clara. Ada yang berbeda dalam diri pria ini, pikir Clara. Jika dari sekian banyak lelaki yang coba mendekatinya bersikap terburu-buru dalam mengungkapkan perasaan mereka, maka Ivan buka tipe pria seperti itu. Ivan dengan sabarnya merajut hari demi hari dengan komunikasi kecil. Komunikasi kecil yang minim paksaan, tidak berambisi, dan tidak melibatkan nafsu birahi. Sedikit demi sedikit, sejengkal demi sejengkal, sangat berhati-hati. Tak sadar kemudian Clara sesekali mengetik chat yang berisi keluhan-keluhan dalam perkuliahan dan dikirim ke Ivan.

Ada sedikit rasa nyaman yang tidak terbahasakan saat balasan dari keluhan tersebut adalah kalimat-kalimat bijak nan menenangkan dari Ivan. Walau Clara hanya membalas chat selanjutnya dengan senyuman tanpa diketik, Ivan tetap setia membantu sebisanya. Beberapa bulan lamanya proses penjajakan itu bergulir cepat, hingga Clara sampai pada kesimpulan pria ini berbeda dari yang lainnya!


Bersambung........ (Chapter II)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun