Mohon tunggu...
Aska Karim
Aska Karim Mohon Tunggu... Pendidik -

Berusaha berbagi lebih indah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tiga Ratus Enam Puluh Lima Magrib

28 Juli 2017   09:33 Diperbarui: 28 Juli 2017   09:51 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: fotomelia.com

Hidup bukan hanya soal perut. Kalaupun ada uang lebih, sebaiknya disimpan saja. Yati mengeluarkan belanjaan dari kresek. Dua batang sabun mandi, sampo sachet lima buah dan satu odol. Satu sampo dipakai untuk bertiga. Disimpannya belanjaan itu di rak kayu yang berdebu. Rak usang pemberian suaminya membawa dirinya ke peristiwa magrib saat itu.

Punya suami atau tidak baginya sama saja. Karena dia harus membiayai kedua anaknya. Lelaki yang disebut kepala keluarga itu, sudah bosan hidup miskin. Memutuskan minggat. Lantas menikah dengan juragan angkot yang lebih tua. Hubungan Yati dan suaminya hanya status di atas kertas belaka.

Kadang Yati berpikir, kalau menikah hanya untuk hamil dan melahirkan, apa bedanya dengan sapi atau kambing. Tapi dia dulu tidak tahu apa-apa. Perempuan yang cuma lulusan SD, tidak pantas membantah orang tua. Takut kualat. Maka begitulah hidupnya mengalir.

Arman lahir setahun kemudian. Disusul Arka di tahun berikutnya. Dia kapok punya anak lagi. Karena kedua anaknya dulu ditahan rumah sakit karena tidak bisa membayar persalinan.

Suaminya pembual besar. Jikalau temannya datang main kartu dan minta masukan, lelaki itu berbicara dengan bijak. Bagi Yati, semuanya cuma omong kosong . Teori tidak bisa membuat perut kedua anaknya kenyang.

Hutangnya menumpuk. Dan Yati tidak punya muka untuk meminjam lagi kepada sanak saudara. Lagipula anak-anaknya sudah cukup besar. Yati mulai mencari pekerjaan.

Untung kampungnya dekat perumahan. Disanalah Yati menjemput rezeki di tiga rumah. Selesai mengepel rumah Bu Hartono, Yati menuju rumah Bu Wanda untuk mencuci. Menjelang sore giliran setrika di tempat Ummi Harun.

Satu hal yang dibenci Yati, melewati rumah suaminya untuk sampai tempat Ummi Harun. Lelaki itu bermain kartu sambil menengak bir. Tertawa terbahak-bahak saat melihat dirinya.

Suatu hari menjelang magrib, Arman mengadu melihat bapaknya di warung bakso Haji Soleh. Arman dan adiknya menatap bakso besar yang dilahap Bapaknya. Lelaki itu sebenarnya melihat kedua anaknya. Tapi dia menghardik agar pergi.

Ibu mana yang tidak menangis melihat anaknya diperlakukan seperti itu. Selepas isya dia membawa kedua anaknya makan di warung bakso Pak Sabar. Baksonya memang tidak sebesar yang dimakan Bapaknya. Tapi yang penting anaknya senang.

Magrib berikutnya warga kampung heboh membicarakan suaminya yang hampir tewas terlindas truk. Gagal tewas bukan peristiwa besar. Dan tidak pantas menjadi trending topic di kampungnya. Seharusnya lelaki itu dilindas saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun