Blog #7
Dulu saya pernah punya murid yang pinternya kebangetan. Pinter banget lah pokoknya. Semua materi dari saya ia lahap habis tanpa salah. Bahkan materi yang jauh melampaui grade kelasnya pun ia habisi tanpa kesulitan berarti. Ini anak hebat. Begitu batin saya kala itu. Hal ini diteguhkan dengan komentar beberapa teman seangkatannya yang memang mengakui bahwa ia adalah salah satu anak terpintar di sekolahnya.
Namun entah kenapa saya merasakan ada sedikit yang kurang pas dari anak ini. Entah apa itu. Saya masih positif thinking saja.
Hingga pada suatu hari ia mengirimkan pesan pendek kepada saya. Ia meminta tolong saya untuk membantu menyelesaikan tugas sekolahnya. Seingat saya itu adalah kali pertamanya mengirim pesan pendek kepada saya.
Saat saya baca pesan itu, saya merasa ada yang aneh.
Saya sudah sering sekali menerima pesan pendek dari anak anak saya. Ada yang menanyakan soal tugas, meminta bantuan tentang materi, atau apapun. Dan semua pesan pendek tersebut bernada sopan.
Namun tidak dengan satu anak ini. Ia seolah lupa jika saya adalah mentornya yang juga berusia jauh di atasnya. Dan karena saat itu saya memang juga sedang sibuk, permintaan bantuannya saya pending dulu sebentar. First come, first served.
Dan yang terjadi diluar dugaan saya. Ia meledak. Ia tidak mau tahu, yang penting saya harus bisa membantu dia. Saat itu juga. Saya hanya tersenyum.
Ternyata apa yang saya rasakan benar. Ada sesuatu yang off dengan anak ini.
Saya jadi inget perkataan almarhum bapak saya bertahun silam. Beliau berkata: “Saiki iki okeh wong pinter, tapi ora pangerten.” Yang kurang lebih artinya : di jaman sekarang ini banyak orang pinter, tapi tidak pengertian (kurang empati).
Saya rasa perkataan bapak saya ada benarnya. Di era yang semakin canggih ini, menjadi pintar sangat mudah. Semua fasilitas dan kecanggihan teknologi memudahkan kita untuk belajar menjadi ahli di bidang apapun. Namun yang menjadi pertanyaan, mau jadi apa kita jika hanya kepintaran saja yang kita punya? Robot?