Mohon tunggu...
Adipati Rahmat
Adipati Rahmat Mohon Tunggu... Pengajar Pascasarjana di Kajian Pengembangan Perkotaan, Universitas Indonesia -

Pengajar Pascasarjana di Universitas Indonesia, Pengamat Perkotaan, Peneliti Kelautan dan Perikanan, Penulis, dan Petualang. https://twitter.com/thatgarlicguy

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Yogyakarta yang Manusiawi

6 Juli 2015   14:11 Diperbarui: 6 Juli 2015   14:23 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Yogjakarta, 25 Juni 2015

Beberapa bulan yang lalu ada mahasiswa S2 yang sempat mengata-ngatai Yogyakarta dengan kata-kata yang tidak pantas, seperti miskin, tolol dan tidak berbudaya. Well, dalam satu sudut pandang bisa saja berpendapat demikian, karena pada kenyataanny sebagai Ibukota Provinsi Kota Yogyakarta memang terkesan kuno dan tidak modern.


Namun menurut saya, karakter Yogyakarta yang benar adalah "apa-adanya". Dalam arti ini, sebagai sebuah Ibukota Provinsi, Yogyakarta tetap dalam prinsip nya untuk tidak ikut-ikutan sok global, modern dan mewah. Bukannya tidak bisa, tapi lebih kepada... tidak perlu.


Cobalah berjalan-jalan di seputaran Yogja naik becak, harganya masih murah, makan nasi kucing yang juga murah harganya atau bersantai-santai bareng penarik delman. Di Yogja masih bisa kita temui orang yang sehari-hari hanya buka kios servis payung dan merasa sudah cukup utk hidup keluarganya. Mereka tidak "ngoyo" (bener engga milih katanya?). Tidak maksa harus begini begitu untuk hidup. Lain dengan di Jakarta yang harus bekerja segitunya sampai terpikir, kok begini banget sih hanya untuk hidup. Atau di Tokyo yang jalan kaki saja sudah setengah berlari.


Di Mega cities, kita selalu belajar dan mengembangkan banyak konsep Sustainable (berkelanjutan), karena gaya hidup kita memang tidak berkelanjutan. Setidaknya data trend berkata demikian. Makanya selalu dikembangkan macam-macam teori dan konsep agar kota-kota kita bisa survive. Padahal, mungkin gaya hidup kita yang salah. Kita lebih banyak memakan benih yang seharusnya kita tanam, kita juga ingin banyak menghasilkan namun lahan dan sumberdaya cuma disediakan sisa-sisa. Kita banyak kemauan padahal di Yogja mereka terbiasa hidup secukupnya dan menghargai apa adanya. Disini satu sama lain tidak tergoda dan tidak saling menggoda untuk berlomba-lomba lebih mewah, yang tidak ada habisnya dan melahirkan gelombang kapitalis.


So, Florence salah. Yogyakarta terlihat seperti ini karena yang seperti ini yang paling mendekati tujuan akhir sebuah kota yang manusiawi.

  

 

 

 

 

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun