Mohon tunggu...
Adeline Albine
Adeline Albine Mohon Tunggu... lainnya -

aku yang berjalan di jalan-jalan yang dibuat para pembangun

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Adikku...

6 September 2013   13:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:16 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13786134792053299963

Matahari di ufuk timur sudah terbit. Hari hampir siang tapi tidak cerah seperti kemarin. Pagi ini kabut tebal, hujan turun semakin deras. Jalanan basah, orang-orang yang lewat di jalan kecil ini memegang payung untuk melindungi tubuh mereka dari hujan yang semakin deras. Ada juga yang tidak memiliki payung, mereka berlari-lari kecil mencari tempat berteduh dan ada yang terus melanjutkan perjalanan di bawah derai hujan yang semakin deras. Mungkin mereka mengejar sesuatu yang harus dikerjakan pagi ini.

Adik duduk di bangku kayu tua bercat coklat kemerahan. Bangku panjang itu sudah lama diletakkan di belakang kamar adik. Biasanya adik duduk di situ setiap kali selesai sarapan. Kadang adik duduk sambil membaca buku Proverbia Latina kadang hanya memandang pohon pinus yang dari hari ke hari semakin rimbun dan tinggi. Sekali-kali adik berdiri mendekat ke arah tembok koridor, menjulurkan kepalanya memperhatikan orang-orang yang lewat di halaman. Kalau malam adik duduk di bangku usang itu sambil membaca novel Paulo Coelho. Adik pernah bilang kalau dia sangat senang dengan novel-novel Coelho dan adik pun ingin menulis novel. Memang adik sangat suka menulis dan melukis. Kalau sedang bosan adik biasanya duduk di situ mendengarkan alunan lagu-lagu lembut sambil menulis atau melukis.

Pagi menjelang siang itu tidak satu bukupun ada di tangan adik, tidak ada alunan lagu seperti hari-hari sebelumnya. Adik tidak menulis, tidak melukis. Wajah adik tidak seperti biasa. Adik duduk di bangku kecil itu dan tampak kesedihan mendalam di wajahnya. Aku mengenal adik, dia biasanya ceria dan tetap tersenyum sekalipun kadang hatinya dipenuhi duka dan tubuhnya disinggahi virus-virus yang mengharuskan adik rajin bertemu dokter. Memang adik sudah lama sakit. Pelbagai penyakit singgah di tubuhnya tetapi adik bisa menerimanya dengan tenang. Kadang aku lebih sedih dari pada adik sendiri. Kalau aku tanya tentang sakitnya adik selalu menjawab dia baik-baik saja dan memang tampak dari wajahnya yang selalu berusaha tersenyum. Kalau orang yang baru bertemu dengan adik pasti mereka tidak akan pernah menyangka kalau adik sakit. Bahkan orang yang setiap haripun melihat adik tidak tahu kalau adik sakit. Adik jarang bercerita tentang sakitnya. Adik lebih mudah membagikan senyum dan kebahagiaannya dari pada berbagi tentang rasa sakitnya. Hanya kepada orang-orang tertentu saja adik menceritakan sakitnya.Adik pernah bilang: “Kita mestinya memberitakan kegembiraan bukan penyakit”. Aku tahu adik berkata demikian karena berusaha menghibur dirinya sendiri karena sakit yang kadang tidak tertahankan oleh adik.

Aku sendiri ragu apakah aku dapat sepenuhnya memahami perasaan adik. Kadang tanpa sepengetahuan adik aku melihatnya meringis menahan sakit kadang memegangi kepalanya tetapi setiap kali aku lewat adik pasti langsung tersenyum. Tapi sudah dua hari ini wajah adik tidak seperti biasa. Adik banyak diam. Adik lebih sering memandang langit dan embun yang sedang bergantungan sejak beranjak dari bangku kayu yang mulai rapuh itu dua hari yang lalu.

Adik masuk kamarnya. Aku mengintai adik lewat jendela kamarnya. Aku khawatir sesuatu terjadi pada adik. Jangan-jangan sakit adik makin parah dan terlalu sakit untuk ditahan. Adik mendekati meja kamarnya. Jemarinya meraih plastik putih berisi obat-obatan yang sudah biasa diminumnya sejak tahun lalu. Sejenak adik memperhatikan obat-obatan dan kemasan kosong yang adik kumpulkan di sebuah mangkok putih kecil. Adik melayangkan pandangannya ke kesebelah timur jendela kamarnya. Mungkin adik menanti mentari menyapanya. Adik suka mentari pagi. Adik senang memuji laut dan mengagumi danau. Adik suka menulis tentang embun, tentang langit. Adik senang mendengar rintik hujan dan desau angin. Adik bilang kalau dia selalu bersyukur karena semuanya itu diciptakan Tuhan menjadi sumber inspirasi bagi adik.

Aku pernah bertanya bagaimana adik merasakan sakitnya. Adik bilang kadang terasa sangat sakit dan tidak terungkapkan. Tapi adik juga bilang rasa sakitnya dia persembahkan untuk semua orang yang mengasihinya dan terutama mereka yang adik kasihi. Karena itu adik selalu mengingat orang yang dia kasihi dan yang mengasihi adik. Adik selalu memahami dan memaafkan orang yang melukai dan menyakitinya.

Adik memilliki banyak teman baik yang sangat mengasihi adik.Adik juga sangat mengasihi orang-orang yang pernah dia kenal. Salah satu hal yang sangat aku senangi dari adik, adik selalu membuat sesuatu yang berguna bersama orang yang dia kenal. Hati adik mudah terusik dengan kebutuhan orang-orang, tapi adik juga bilang kalau sendirian adik tidak sanggup memenuhi harapan orang-orang itu. Maka adik selalu berusaha memiliki teman yang dapat membantu adik mewujudkan mimpi-mimpinya.Adik bilang mimpinya adalah memberikan seluruh anugerah Tuhan yang ada dalam dirinya untuk kebahagiaan orang lain karena mereka juga ciptaan Tuhan. Adik juga menyadari kekurangan dan kelemahannya. Adik bilang dia tetap membutuhkan bantuan orang-orang yang memiliki kemampuan yang adik tidak miliki untuk mewujudkan mimpi-mimpinya.

Hari sudah berganti tapi adik masih kelihatan sedih. Sepertinya adik menyembunyikan sesuatu yang membuat hatinya sedih. Aku mengenal adik, tidak mudah baginya untuk berterus terang untuk mengatakan apa yang sesunguhnya dia alami. Adik selalu menjaga perasaan orang lain, banyak pertimbangan adik untuk mengatakan yang sesungguhnya. Tapi aku tahu hati adik sungguh tersiksa meskipun di depanku dan di depan orang lain adik berusaha tersenyum. Aku pernah bilang pada adik agar mengatakan apa yang dia alami, tapi adik bilang kalau tidak semua kebenaran itu harus diungkapkan. Adik memandang lagit, tapi aku tahu adik memikirkan sesuatu dan hatinya meneliti jalan-jalan yang pernah dia lalui. Kulihat adik merogoh baju biru mudanya. Adik membaca pesan sigkat di ponselnya, adik diam dan mengembalikan ke sakunya. Aku ingat sikap adik mulai berubah dua hari lalu setelah dia membaca pesan singkat di ponselnya.

Aku mendekati adik yang tetap memakukan pandangannya pada langit biru. Adik tidak bergeming meskipun dia merasakan kehadiranku. Kudekati adik, kuberanikan bertanya meskipun dengan hanya sedikit harapan dapat mendengar adik berterus terang tentang apa yang sedang dia alami. Aku tidak tega membiarkan adik terlalu lama tenggelam dalam kesedihan dan kepedihan. Aku tidak mau ada seorangpun yang menyakiti adik meskipun hal itu kerap terjadi.

Kutepuk bahu adik selembut mungkin agar adik tidak terkejut. Adik menatapku dan memaksa bibirnya tersenyum. “Apa yang terjadi?”, tanyaku dengan hati-hati. Adik diam. Aku berdiri tepat di depan adik agar adik melepaskan matanya yang terpaku pada langit. Berlahan adik menggerakkan tangannya memasukkannya ke saku bajunya. Adik memberikan ponsel tuanya. Aku melihatnya dan membaca pesan singkat. Adik menunjukkan beberapa pesan singkat lainnya. Adik menunduk mengatupkan bibirnya menahan tangis. Adik membalikkan badannya membelakangiku agar aku tidak melihat duka di wajahnya.

Adik lalu meninggalkan aku sendirian. Sekarang aku yang memakukan pandanganku ke langit biru dengan sejuta pertanyaan yang berkecamuk dalam hati dan pikiranku. Sekali lagi aku membaca pesan-pesan singkat yang adik simpan sejak dua hari yang lalu. Aku melihat adik sudah jauh dari pandanganku, adik berjalan melalui jalan kecil yang ditumbuhi rumput-rumput liar. Kulihat kedua tangan adik mengusap wajahnya yang basah oleh air mata dan terus berjalan dengan wajah tertunduk.

Ingin rasanya aku menemani adik ikut merasakan kepedihan hatinya. Tapi aku mengenal adik, dia memilih untuk sendirian sampai dia dapat berpikir tenang dengan segala sesuatu yang dialaminya. Kugenggam erat ponsel adik. Aku bertanya-tanya dalam hatiku mengapa adik diperlakukan orang-orang demikian. Mengapa orang-orang yang tampaknya lebih dewasa dari adik malah memperlakukan adik tidak adil. Mereka menyebar kabar-kabar angin yang membuat hati adik sedih. Mereka memandang adik hanya dengan sebelah mata.

Dari jauh kupandangi adik duduk di rerumputan taman tepat di depan salib yang terpancang gagah. wajahnya tertunduk ditopang dengan kedua tangan mungilnya. Adik sangat sedih. Matahari semakin tinggi, embun-embun yang bergantungan semakin hilang dan aku masih bertanya-tanya tentang semua yang dialami adik. Aku berdoa agar adik tidak terlalu lama tenggelam dalam kesedihan karena aku khawatir sakit adik semakin parah dan terlalu sakit untuk ditanggung adik. Semoga hati adik tetap kuat dan tidak dikalahkan dengan kepahitan yang dialaminya saat ini. Aku ingin adik tersenyum, bercerita lucu denganku dan teman-teman adik. Aku sangat mengasihi adik meskipun kami terlahir dari rahim yang berbeda.

Untukmu yang saat ini bersama-sama dengan aku mengalami kenyataan hidup yang sangat tidak mudah untuk kita pahami dan mengerti.

Adeline Albine Sitepu FSE

Sudut La Verna-Delitua - Minggu terakhirJuni’ 2013

Ketika senja menjemput siang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun