Mohon tunggu...
Ade Kadarisman
Ade Kadarisman Mohon Tunggu... -

spirit, love, patient & passion

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Lolos dari Tsunami, Menimba Ilmu di Perancis

1 April 2015   23:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:39 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_407121" align="aligncenter" width="630" caption="sumber foto: Kompas / Admin"][/caption] Catatan tahun 2013 yang mengingatkan akan arti sebuah syukur, perjuangan dan keagungan Illahi. Lolos dari maut Tsunami 2004, kini menimba ilmu di Perancis Sebuah pertemuan sederhana di negeri rantau, berbincang tentang negeri, perjalanan hidup, dan pengalaman seringkali memberikan semangat sekaligus pencerahan dan rasa syukur akan nikmat dan kehidupan yang tengah dijalani. Begitu pula yang saya rasakan saat bertemu dengan seorang mahasiswa berprestasi asaltanoeh rencoeng,Aceh beberapa waktu lalu. Heri Samhudi, pria lulusan Universitas Syah KualaAceh peraih Beasiswa Eiffel 2012 yang saat ini tengah menuntut ilmu pada program

Master in Finance - Universite de Rennes 1, Perancis. Saya berbincang-bincang dengannya dalam dua kesempatan terpisah saat liburan musim semi baik di Paris maupun di kota Lille bersamaan dengan olimpiade olahraga mahasiswa PPI Perancis beberapa waktu lalu. Banyak hikmah dari tuturan pengalamannya saat menghadapi tragedi Tsunami Aceh yang menelan korban jiwa hingga ratusan ribu orang, semangatnya dalam menggapai cita-cita, hingga perjuangannya meraih beasiswa Eiffel dan study di salah satu universitas terkemuka di kawasan Bretagne Perancis. Tsunami 2004 Minggu, 26 Desember 2004 sekitar pkl 7.30 pagi menjadi hari yang tidak akan pernah terlupakan oleh Heri Samhudi. Pemuda yang masih duduk di kelas tiga SMA Negeri 3 Meulaboh saat itu tengah mandi pagi ketika bencana Tsunami tiba tiba menghantam bumi Serambi Mekkah. Pagi yang mencekam bagi ratusan ribu rakyat Aceh, tak terkecuali bagi Heri remaja yang masih belum menyadari sepenuhnya apa yang tengah terjadi saat itu. Selain kemudian dengan cepatnya air masuk ke rumah kakaknya lalu menghantam dengan keras semua benda yang ada didepannya. Secara spontan dia masih sempat memakai pakaian dan bergegas keluar rumah secepatnya, lari sejauh-jauhnya setelah mendengar jeritan tangis serta hiruk pikuk masyarakat yang berjuang menyelamatkan diri. Yang terlintas dalam pikiran Heri saat itu adalah bagaimana caranya menyelamatkan diri sesegara mungkin. Lalu ia memanjat sebuah pohon “Jaloeh’ sebagai tempat pertama menyelamatkan nyawanya. Namun ia tidak bisa lama bertengger dipohon tersebut, karena pohon yang dinaikinya terlalu kecil. Ia pun segera turun dan berenang sekuat tenaga diatas derasnya arus demi menggapai pohon lainnya yang berukuran lebih besar dari pohon yang pertama. Beberapa saat berada di pohon yang kedua, betapa terpananya melihat pohon yang pertama dinaiki tersebut akhirnya tumbang hilang entah kemana terbawa terjangan tsunami. Di pohon yang kedua ini, ia berjumpa dengan dua orang warga yang merupakan pasangan suami istri ditambah seorang bayi yang baruberumur dua hari. Bayi merah itu digantungkan dalam ayunan yang terbuat dari kain sarung oleh kedua orangtuanya. Dengan sekuat tenaga Heri berpindah dengan jalan berenang mengikuti arus air tsunami. Bukanlah hal mudah berpindah dari satu pohon ke pohon berikutnya yang masih tampak bagian atasnya. Dia mencatat sempat memanjat 4 pohon “Kesia” dalam rentang waktu saat menyelamatkan dirinya sendiri. Dalam masa perpindahan dari satu pohon ke pohon lain inilah, dia menyaksikan dengan tragis bagaimana bencana Tsunami memporakporandakan apa saja yang dilewatinya. Ribuan rumah dan sarana prasarana hancur, tak terhitung jumlah nyawa yang melayang dan ragam duka pilu sepanjang waktu dihari itu hinggq hari hari berikutnya. Kejadian yang tak akan pernah dilupakannya adalah saat ia berada di pohon ketiga. Di pohon Kesia tersebut sudah ada 3 orang lainnya yang sudah duluan menyelamatkan diri. Saat itulah,dia melihat seorang ibu dan anak kecilnya hanyut terbawa arus di atas tumpukan kayu. Sang ibu melambai-lambaikan tangan yang mengisyaratkan memohon pertolongan. Jarak ibu paruh baya dan anaknya itu lumayan jauh dari posisi Heri yang berada di atas pohon. Ia tak mampu membendung rasa sedih ketika tiba-tiba melihat si ibu dan anaknya tenggelam terbawa arus. Masih dalam kondisi syok, ia diam terpana melihat kejamnya terjangan air bah. Keajaiban datang, tak lama berselang, ia melihat ibu dan anak yang sebelumnya sempat tenggelam entah kemana tiba-tiba muncul ke permukaan. Saat itu, posisi kemunculan mereka lumayan dekat dari posisi pohon yang dinaiki Heri. Kemudian ia dan salah seoarang warga bergegas turun untuk menyelamatkan si ibu beserta anaknya. Dengan sekuat tenaga,mereka langsung mengangkatnya ke atas pohon bergabung bersama dipuncak Kesia hingga beberapa jam sambil menunggu air surut. Tsunami 2004 yang menghantam pesisir samudra Hindia di 8 negara sekaligus menjadi perhatin serius dunia. Kejadian ini menjadi tragedi traumatik kita semua terlebih lebih bagi para keluarga korban diberbagai negara. Ratusan ribu nyawa melayang dan hingga kini kenangan akan peristiwa pilu tersebut masih terekam kuat  khususnya bagi yang mengalaminya langsung. Tak terkecuali bagi Heri Samhudi remaja. Meski ia masih bersyukur orang tua dan keluarganya di Nagan Raya selamat dari maut karena tinggal di lokasi yang lebih jauh dari pesisir pantai. Bertekad hingga jenjang doktoral Lahir dari keluarga petani di Kabupaten Nagan Raya, berjuang keras untuk melanjutkan study ke bangku perguruan tinggi.Keterbatasan ekonomi tidak menyurutkan langkahnya untuk bertarung dengan siswa lainnya. Kerja kerasnya di SMA 3 Meulaboh membuahkan hasil saat ia diterima di Fakultas Ekonomi Unsyiah,Aceh. Semangatnya yang pantang menyerah,pengalaman dramatiknya saat menghadapi tragedi Tsunami 2004 dan keinginannya yang kuat memperbaiki kehidupannya di masa depan, ia wujudkan dengan tekad meraih sekolah setinggi-tingginya. Mimpi besar yang tak mungkin terwujud tanpa kerja keras. Setelah berjuang sekitar 3 tahun dengan mencoba melamar berbagai jenis beasiswa, mengirim aplikasi lamaran ke puluhan profesor dan puluhan universitas di luar negeri, akhirnya sekitar pertengahan Maret 2012 kabar membahagiakandatang dari Perancis. Ia dinobatkan sebagai salah satu penerima Beasiswa Eiffel Pemerintah Prancis tahun 2012. Menjadi salah satu peraih beasiswa Eiffel merupakan bagian penting perjalanan hidupnya. Di benua Eropa ia menancapkan cita-cita besarnya untuk kemajuan diri dan kontribusi bagi tanah air di masa depan. Jauh dilubukhatinya terdalam, ia menyimpan harapan bisa melajutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi hingga tingkat doktoral. Bagi Heri, kesempatan emas belajar di bumi Napoleon ini tidak akan dilewatkannya sia-sia. Dia menyakini bahwa Allah SWT memberikan tanda kehidupan dengan kekuasaan-Nya saat nyawanya selamat dalam musibah Tsunami. Dia memaknai peristiwa Tsunami sebagai sebuah rahasia Illahi yang harus dijawab dengan bentuk pengabdian terbaik untuk masyarakat dan bangsa di masa depan. Baginya, kesempatan berharga masih menghirup nafas di dunia betul betul disadari sebagai mukjizat yang luar biasa dan menembus batas logika akal manusia saat ia menyelamatkan diri dalam tragedi Tsunami. ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun