Mohon tunggu...
ade armando
ade armando Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Ade Armando adalah dosen Universitas Indonesia dan Direktur Komunikasi Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC)

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Mengapa KPI Terus Menyalahkan Nielsen?

10 September 2015   17:42 Diperbarui: 10 September 2015   19:53 2297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) kembali menyalahkan lembaga penelitian AGB Nielsen sebagai penyebab rendahnya kualitas acara televisi swasta di Indonesia. Karena itu, KPI berencana mengadakan survei pemirsa tandingan dengan biaya Rp 5 miliar yang diambil dari APBN.

Hal ini terungkap dalam acara dengar pendapat di DPR pada hari Rabu (9 September 2015). Menurut informasi yang saya peroleh, pertemuan itu seharusnya membicarakan soal UU Penyiaran. Tapi begitu tiba pada pembicaraan mengenai isu kualitas tayangan, KPI memusatkan perhatian pada kesalahan Nielsen.

Bagi saya, apa yang dilakukan KPI menunjukkan keterbatasan pengetahuan para anggota Komisi yang seharusnya berperan menentukan dalam hal sepak terjang stasiun televisi Indonesia.

Kita tentu menyadari betapa rendahnya kualitas banyak pogram televisi Indonesia. Namun menimpakan kesalahan pada Nielsen sebagai lembaga penelitian tentu mencengangkan.

Saya memang sering mendengar banyak pihak awam yang menyalahkan Nielsen. Tapi analisis semacam itu hanya layak dilontarkan orang awam. Kalau KPI yang seharusnya diisi orang-orang berwawasan mendalam soal penyiaran juga memiliki argumen serupa, itu tentu memprihatinkan.

Nielsen adalah lembaga penelitian yang mengumpulkan data tentang apa yang disaksikan penonton di sepuluh kota di Indonesia. Untuk itu, Nielsen menyebarkan sekitar 2300 alat people-meter di sepuluh kota untuk merekam perilaku menonton khalayak. Dengan alat itu, Nielsen bisa mengetahui dalam sebuah keluarga yang terplih sebagai sampel yang terdiri dari dua orangtua dan dua anak, siapa menonton apa sepanjang hari. Setiap anggota keluarga harus menekan tombol di alat tersebut seandainya dia sedang menonton televisi. Data yang terekam kemudian diolah oleh kantor pusat Nielsen di Jakarta.

Sebagai contoh data Nielsen menunjukkan bahwa pada 8 September 2015, acara dengan rating tertinggi adalah Pangeran (SCTV) dengan rating 4,5; diikuti oleh Tukang Bubur Naik Haji (RCTI, 4,5), Rajawali (RCTI; 4,2), Preman Pensiun (RCTI; 3,9), Madun (SCTV; 3,8), Ashoka (ANTV; 3,1); Tukang Ojek Pengkolan (RCTI; 3,0), Cinta di Langit Taj mahal (ANTV; 2,9), Tujuh Manusia Harimau (RCTI; 2,8) dan Cansu Hazal (ANTV; 2,8).

Ini berarti acara dengan penonton terbanyak adalah Pangeran (SCTV) dan Tukang Bubur Naik Haji (RCTI) yang keduanya memiliki rating 4,5 pada hari itu. Angka 4,5 tidaklah terlalu besar. Itu hanya berarti 4,5% dari penonton yang di rumahnya ada televisi di sepuluh kota menonton Pangeran dan 4,5 persen menonton Tukang Bubur Naik Haji. Yang lain tersebar menyaksikan program-program lainnya.

Apakah Anda tidak percaya dengan data ini? Silakan saja bicara dengan para penonton kebanyakan di Indonesia. Saya sering mencek apakah keluarga, kerabat, tetangga, mahasiswa saya di rumah masing-masing menyaksikan acara-acara televisi yang disebut Nielsen berada di peringkat teratas. Selalu jawaban yang saya peroleh, acara-acara yang menempati peringkat atas dalam rating Nielsen memang populer di mata masyarakat.

Jadi, di mana letak kesalahan Nielsen? Tidak ada. Penonton Indonesia memang menyukai acara-acara itu. Dan jangan salah mengira penonton Indonesia hanya menyukai acara-acara ‘berselera rendah’. Beberapa waktu lalu acara-acara televisi impor dari India, seperti Mahabharata yang tidak bisa dibilang rendahan, menempati peringkat teratas.

Nielsen hanya menyampaikan fakta yang mungkin tidak terlalu menyenangkan buat kita. Tapi Nielsen tidak bisa disalahkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun