Mohon tunggu...
Syarief-Ahmad
Syarief-Ahmad Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Rakyat pada umumnya, biasa-biasa saja, nggak ada yang istimewa.. bocahsore.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Menulis Adalah Merekam Sejarah

5 April 2017   06:23 Diperbarui: 5 April 2017   14:00 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menulis Adalah Merekam Sejarah

Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. --Pramudya.

Menulis adalah suatu proses perekaman sejarah, begitulah kiranya yang sampai hari ini saya asumsikan. Bagaimana tidak merekam sejarah? Ketika kita menulis maka secara tidak langsung terjadilah proses perekaman dari apa yang kita lihat, apa yang kita rasakan, dan apa yang kita dengar, semua terekam dalam bentuk catatan. Itulah sebabnya saya katakan menulis adalah merekam sejarah.

Kenapa hari ini kita mengenal Bung Karno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka, Kahlil Gibran, Rendra dan para orang hebat lainnya yang mengabadikan sejarah hidupnya dalam literasi. Jawabanya Cuma satu: karena mereka menulis. Mereka merekan sejarah hidup mereka, maka kemudian nama mereka abadi bersama dengan ‘karya rohani’ yang usianya lebih panjang dari sang penulisnya.

Sampai hari ini kita masih bisa menikmati karya rohani Bung Karno berjudul ‘Dibawah Bendera Revolusi’ yang masih sangat enak dibaca dan menjadi santapan kaya nutrisi untuk generasi kita maupun setelah kita nanti. Begitu juga dengan karya bapak bangsa yang terlupakan yakni Tan Malaka, kita bisa tahu semasa hidupnya beliau habiskan dalam pengembaraan demi terwujudnya indonesia yang merdeka 100 persen. Beliau keluar-masuk penjara tanpa jera, kelliling eropa dan di kejar-kejar pada intelegen. Sampai akhirnya dalam penjara itulah beliau masih sempat menulis, merekam sejarahnya dengan baik, terciptalah Dari Penjara ke Penjara, Madilog, Aksi Massa, Naar Republik dan masih banyak karya rohani beliau,  suara nya sampai hari ini masih terasa nyaring di telinga kita dan bahkan untuk anak cucu kita nanti. 

Lantas kemudian pertanyaan yang menghantui batok kepala kita, jika kita sampai hari ini tidak menulis, siapa yang akan merekam sejarah kita?

Itulah sebabnya, saya iri dengan meraka, para founding father di tengah keterbatasan alat untuk menulis, masih sempat menulis dan mencurahkan semua kegelisahnnya dengan sangat apik dan tentu mencerahkan. Kita bisa sama-sama bayangkan di tengah era sebelum kemerdekaan, amat begitu sulit mencari kertas dan alat tulis, mesin untuk menulis pada waktu itu kira-kira mungkin yang paling canggih hanya mesin ketik jadul, itu pun seribu satu orang yang memiliki, apalagi posisi mereka berada pada keadaan yang tidak sebebas hari ini, lantas, kenapa mereka masih bisa menulis beratus-ratus halaman. Sementara kita, satu halaman saja masih mood-mood-an.Bahkan terkadang timbul tenggelam tak menentu.

Berangkat dari kegelisahan itulah, kemudian saya mencoba untuk menggiatkan diri menulis, kebetulan entah mujur atau barangkali alam raya mendukung, saya dipertemukan dengan Pak Bramma Aji Putra (semoga beliau selalu sehat-amin), penulis buku menembus koran dan artikel layak jual ini selama menjadi mahasiswa dulunya adalah penulis artikel yang paling produktif, banyak artikel beliau yang melanglang buana di berbagai media massa baik lokal maupun nasional, baik online dan cetak. Saya bertemu beliau dengan kapasitasnya sebagai dosen mata kuliah penulisan artikel. Saya banyak menimba ilmu dari beliau.

Masih jelas teringat dalam tempurung kepala, saat itu saya tercatat sebagai mahasiswa semester lima di salah satu kampus Negeri berlabelkan Islam di kota Jogja. Salah satu doktrin yang waktu itu benar-benar ‘menghantui’ saya adalah ketika beliau berujar “kalian sekarang sttusnya adalah mahasiswa, jika kalian tidak menulis, siapa yang akan mencatat sttatus kemahasiswaan kalian, menjadi mahasiswa itu, minimal nama kalian pernah masuk di koran”, pertanyaanya, sudahkah nama kalian di muat di media massa?

Waktu itu saya hanya diam, dan membenarkan dalam hati. Selama ini belum pernah ada media massa yang mencatut nama saya, belum pernah ada yang merekan sejarah kemahasiswaan saya, saya ini mahasiswa loh bukan hanya sekedar siswa. Mahasiswa kan gelar prestisenya tinggi, coba kita telaah, selain tuhan dan mahasiswa yang memiliki gelar ‘Maha’ siapa lagi coba?  Tidak ada maha dosen, atau maha menteri. Yang ada hanya mahasiswa dan Maha Esa. Hehe.

Dalam hati kemudian saya bertekad untuk menyumbangkan nama di media massa, Mas Bram (panggilan untuk Pak Bramma Aji Putra) membimbing dengan sangat telaten, setiap di akhir mata kuliah selalu memberikan tugas berupa satu artikel yang layak terbit di media massa. Mulanya berat, teringat di mata kuliah sebelumnya yang tulisan saya gagal terbit. Belajar dari kegagalan itulah, kemudian saya memperbaiki tulisan saya dari mulai penempatan diksi dan tanda baca, dan sebelum dikirim saya diskusikan dengan beberapa teman. Ternyata atas dorongan Pak Bram, kemudian saya berani mengirim lagi naskah ke meja Redaksi. Saat itu naskah yang saya kirim berjudl ‘Palu Kematian Demokrasi’, dalam artikel itu saya mengkritisi tentang demokrasi di negri ini yang ternyata memiliki sejuta kepentingan. Sudah seperti politikus yaa.. haha.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun