Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Polemik Kebun Binatang

22 Januari 2017   21:45 Diperbarui: 22 Januari 2017   22:03 685
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://beritagar.id/

Ini bukan kisah Nabi Sulaiman atau Prabu Anglingdarma. Laki-laki tua yang usianya hampir mencapai seratus tahun itu buyut saya sendiri. Waktu itu saya masih belajar di sekolah dasar. Saban sore saya masuk ke kamar buyut dan melihat beberapa jumput nasi di atas meja. Beberapa tetes air minum teh terlihat juga di sebelah butiran nasi. Terkesan kotor memang, namun ketika nasi sudah kering atau menjadi karak dan pasukan semut tidak doyan lagi, buyut membersihkan meja itu. Hingga sore hari ia akan kembali memberi makan pasukan semut.

Meja di kamar buyut nyaris menjadi meja makan untuk pasukan semut. Bahkan seekor cicak kadang ikut bergabung menikmati sajian makanan ala kadarnya itu. Wajah keriput buyut sesekali saya perhatikan nampak bahagia menyaksikan semut dan cicak “berkenan” menyantap hidangan itu.

Waktu terus berjalan—kita semakin pintar mengendalikan alam. Lalu anak saya menggambar garis lurus di atas meja makan. “Ini kapur semut untuk mencegah pasukan semut mengerubungi makanan,” katanya. Saya tercenung. Saya minta agar anak saya menghapus garis kapur semut itu. “Semut tidak serakah seperti manusia,” kata saya.

Seliar-liarnya hewan, sebuas-buasnya binatang mereka tidak kehilangan proporsi dan takaran dalam mencari atau mengumpulkan makanan. Serba terukur dan pas dengan kebutuhan. Semut merasa cukup merubung beberapa tetes minuman kopi di luar gelas. Mereka tidak lantas menyerbu dan menghabiskan kopi dalam gelas. Seekor burung cukup berbekal “sangka baik” dan sikap “tawakal” setiap pagi—terbang mencari makanan untuk hari itu.

Waktu terus bergerak. Dan manusia, makhluk omnivora, punya seratus piring nasi hari ini dan jutaan piring nasi untuk makan sampai ke masa depan, sementara orang lain hari ini belum pasti akan bisa makan sepiring nasi. Memiliki cadangan seratus hingga sejuta piring untuk hari ini dan masa depan disebut sebagai cita-cita.

Demi meraih cita-cita, 60 persen populasi kera, monyet, lemur, dan lorises terancam punah akibat pelenyapan habitat hingga dijadikan santapan manusia. Monyet liar di Liberia dan negara-negara lain di Afrika menjadi sumber pemenuhan protein sebab membiakkan hewan ternak diklaim susah. Selain beresiko tertular virus Ebola akibat gemar mengkonsumsi binatang liar, perilaku rakus itu akan menyusutkan populasi monyet liar di Afrika.

Tidak kurang 1,5 juta km persegi habitat primata berubah fungsi menjadi areal pertanian dan perkebunan. Di Madagaskar, 87 persen spesies primata menghadapi ancaman kepunahan, bersama dengan 73 persen primata di Asia. Orangutan pun harus mengikuti “sekolah hutan” setiap hari untuk dilatih keterampilan dan perilaku alami yang diperlukan untuk bertahan hidup.

“Mengingat sebagian besar spesies primata saat ini sedang terancam dan mengalami penurunan jumlah populasi, dunia akan segera menghadapi kepunahan raksasa jika tindakan yang efektif tak dilaksanakan dengan segera,” ungkap Anthony Rylands di Conservation International.

Manusia terlanjur memperlakukan alam sebagai obyek eksploitasi. Strukturalisme yang menempatkan manusia sebagai subjek dan alam sebagai objek. Fakta ini berkebalikan dengan yang dilakukan oleh buyut saya atau nenek moyang dahulu. Mereka menempatkan alam dan lingkungan secara sejajar, horisontal, dalam jalinan komunikasi yang saling menguntungkan.

Saya jadi teringat sebuah kalimat yang tertulis pada papan triplek Taman Kanak-Kanak desa Bajulmati Kab. Malang. “Pohon bisa hidup tanpa manusia, tapi manusia tidak bisa hidup tanpa pohon.” Upaya menyelamatkan hewan liar bukan sekadar agar mereka tidak punah—menyelamatkan gorila, orangutan, atau hewan liar lainnya berarti menyelamatkan pegunungan, ekosistem dan habitat di dalamnya.

Gamblang sudah: kebun binatang tidak selalu berhasil menyediakan ekosistem dan habitat yang sempurna bagi hewan. Binatang tidak bisa “di-kebun-kan” karena yang mereka butuhkan bukan sekadar “kebun”. Binatang-binatang itu harus di-hutan-kan kembali, dikembalikan pada ekosistem dan habitat mereka. Ya, mereka harus di-ekosistem-kan dan di-habitat-kan, bukan di-kebun-kan demi “cita-cita” komoditas yang merampas hak hidup mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun